ABUBO INGIN BERGURU

Jumat, Desember 25, 2015


Prajurit  Abubo adalah salah satu pengawal raja. Ia  terkenal kuat. Pukulannya dahsyat.  Abubo suka menantang siapa saja untuk bertanding. Semakin sering ia menang, semakin sombong hatinya.
Hari  ini, Abubo berjalan-jalan sekeliling istana. Seseorang tiba-tiba melintas di depannya.  Abubo terkejut.  Tangannya melayang hendak memukul.
“Hey, jangan!” Prajurit Beiko menahan tangannya.
“Dia murid   Umama,” Beiko menjelaskan.
“Siapa  Umama?” Abubo heran. Nama itu belum pernah didengarnya.
“Umama, masa  kau tidak tahu? Dulu dia panglima yang terkenal kuat,” Beiko  mengacungkan dua jempolnya.
“Kuat mana denganku?” tanya Abubo penasaran.
“Umama tidak pernah kalah dalam adu  tanding!” kata  Beiko bersemangat.
Abubo kesal mendengar ucapan Beiko. Tidak terkalahkan, berarti Umama jauh lebih hebat dari Abubo.
Beiko mengantarkan Abubo ke pondok Umama. Pondok yang kecil, tak istimewa. Umama juga biasa saja. Badannya memang tegap, kulitnya legam. Wajahnya ramah, tidak segarang yang Abubo bayangkan.
“Mungkin nanti malam kau mulai latihan ,” kata Umama.
Abubo senang bukan kepalang. Umama pasti sudah mendengar kehebatannya, sehingga langsung menerimanya. Tidak ada syarat berat seperti yang dikatakan Beiko.  
Malam hari, Abubo muncul.
“Mari kita mulai dengan bercerita,” kata Umama sambil duduk bersila. Mereka duduk berhadap-hadapan di halaman rumah Umama.
“Bercerita?” Abubo bingung.
“Ya, ceritakan  apa  yang kau lakukan seharian tadi. Jangan ada yang terlewatkan,” jawab Umama.
Aha, mudah saja. Abubo menceritakan pertandingannya. Tentu bagian kehebatannya diceritakannya dengan bangga.  Umama mendengarkan tanpa menyela.
“Itulah semua yang terjadi hari ini,”kata Abubo mengakhiri ceritanya.
“Kalau begitu, pulanglah. Kau belum siap berlatih. Mungkin besok malam,” kata  Umama dengan tegas.
Abubo tentu saja heran. Ia tak mengerti apa yang salah.
“Ssst… Abubo, pulanglah!” itu suara Beiko. Ia muncul dari balik pohon di belakang Abubo.
“Kenapa? Tadi siang kata Umama aku bisa berlatih!” kata Abubo kesal.
“Dia bilang ‘mungkin’,” Beiko mengingatkan.
“Apa salahku?” tanya Abubo penasaran.
“Kau harus mencari sendiri salahmu!” kata Beiko sambil pergi. Abubo bingung sekaligus jengkel.
Namun esok malamnya, Abubo  datang lagi. Abubo bertekad ia harus  bisa berlatih pada Umama. Dan jika disuruh cerita kembali malam ini, Abubo sudah siap.
“Ada kejadian istimewa apakah hari ini?” tanya Umama.
“Tidak ada,” jawab Abubo hati-hati.
“Kau tidak bertugas?” tanya Umama lagi.
“Tidak, aku duduk-duduk saja. Saat bosan dan jenuh, aku tidur-tiduran,” kata Abubo. Ia memang tidak menantang siapa pun. Ia takut kesombongannya akan muncul jika menang. Sepertinya kemarin malam Umama tidak suka dengan sikapnya itu.
“Pulanglah, kau masih belum siap!” kata Umama. Abubo benar-benar tidak mengerti. Apa lagi salahnya malam ini?
Esok hari, Abubo tidak bersemangat. Ia sangat ingin menjadi murid Umama. Tapi dua malam berturut-turut Umama mengusirnya tanpa memberi tahu alasannya.
“Ikut aku,” ajak Beiko.
“Kemana?” tanya Abubo sambil memacu kudanya. Beiko diam saja. Mereka menuju pasar.
Di pasar, tidak ada kejadian hebat.  Abubo dan Beiko hanya melakukan beberapa hal kecil. Membantu mendorong gerobak yang terperosok. Mengangkatkan sayur-sayuran seorang laki-laki tua ke atas keledainya. Menjagakan kios buah yang ditinggalkan pemiliknya sebentar dan menguburkan kucing liar yang mati. Semua itu Abubo lakukan  dengan terpaksa, karena Beiko memintanya.
“Nanti malam, Umama pasti memintaku bercerita lagi,” keluh Abubo.
“Ceritakan saja semuanya,” kata Beiko santai.
“Apa istimewanya? Kita hanya melakukan pekerjaan remeh sepanjang siang ini,” sanggah Abubo.
“Biar remeh, asal berguna bagi orang lain. Apa hebatnya melakukan hal besar tapi untuk kesombongan?” jawab Beiko.
Baiklah,  Abubo melaksanakan nasihat Beiko. Malam hari,  ia ceritakan kepada Umama. Walau tidak sesemangat malam sebelumnya, Abubo menyampaikan  pengalamannya dengan lengkap.
“Nah, Abubo, kau kuterima.Pulanglah dulu. Besok malam kita mulai berlatih,” janji  Umama. Oh, oh, sungguh diluar dugaan! Abubo hamper melonjak karena senangnya.
Abubo pulang dengan semangat. Ia percaya; besok, besoknya, dan besoknya lagi  Umama  pasti melatihnya. Kini Abubo mengerti maksudnya. Umama mau menerima jika Abubo benar-benar siap . Siap menjadi murid yang tidak sombong  karena kuat. Abubo menyadari, tak ada gunanya kekuatan jika tidak digunakan untuk kebaikan.
Bukankah begitu, teman?

Note: lagi-lagi aku lupa di edisi berapa ini dimuat.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.