IBU ITU..

Jumat, Desember 25, 2015
Kamis kemarin, 24 Desember, kami mennegok mas Rafa, di RSUD Dr SUTOMO, Surabaya. Dengan menaiki kereta KRD (Kereta Rakyat Djelata...hahaha), kami tiba di stasiun jam tujuh pagi. Masih terlalu pagi, memang. Berjalan kaki dari stasiun menuju rumah sakit memakan waktu cukup untuk berkeringat.

Oh ya, tentu sebelumnya kami beli sarapan dulu di warung depan stasiun. Sepiring rawon dan segelas teh hangat, alhamdulillah. Semoga lemaknya rontok oleh sebab berjalan kaki menuju rumah sakit. Hehehe.

Tiba di pintu masuk IRJ (instalasi rawat jalan), kami dihadang tulisan pengumuman : jam besuk pukul 09.00. Wah, masih dua jam lagi.
Kami mencoba bertanya-tanya pada satpam yang berjaga. Berharapnya sih diijinkan masuk, sebab datang dari luar kota. Hm, Indonesia banget. Melanggar peraturan, meminta permakluman.
Untunglah bapak satpam tidak tergoda. Tetap saja kami tidak diijinkan masuk, diminta menunggu hingga pukul sembilan.

Oh, menunggu dalam waktu cukup lama, mau apa? Akhirnya mas Budi kembali menelepon Pak Imam Syufaat, Abi Rafa. Beliau memberi tahu bahwa kami bisa lewat IGD.
Berita itu menggembirakan. Ah, jangan berkerut begitu lah dahi kau. Kan sudah kubilang, kami Indonesia asli. Terlatih untuk menyiasati keadaan buruk dan mencari jalan keluar.

Maka, berputarlah kami, berjalan kembali menuju IGD. Sekitar 500 meteran kami berjalan. Masuk IGD, melewati beberapa perawat, dokter,pasien.
Seorang perempuan berlari mendekati orang tuanya, mungkin, yang sedang dibantu alat pernafasan. Alhamdulillah, tidak melihat yang ngeri-ngeri disitu. Maksud saya, korban kecelakaan yang berdarah-darah.

Sepanjang lorong menuju ruang UPI Bona, kami bertanya berkali-kali pada CS atau petugas yang ada. Saat hendaak berbelok, dari kejauhan tampak seorang perawat mendorong bed berisi pasien yang telah ditutupi seluruh tubuhnya. Dibelakangnya, mengikuti perempuan dan laki-laki. Mereka berjalan dalam diam. Saya menahan nafas.

Kami akhirnya sampai di kamar mas Rafa. Sebenarnya tidak dijinkan masuk, tapi Abi As Rafa menyilahkan saya.
Mas Rafa tampak lemah, Dengan badan yang kurus kering, dan kulit lebam-lebam akibat pendarahan. Saya sempat memegang tangannya. Hanya sebentar, karena mas Rafa menarik, menolak menyentuh. Saya baru ingat, di sdit, anak-anak dibiasakan tidak bersalaman dengan lawan jenis sejak kelas empat.

Kami, saya dan Umminya, berbincang-bincang. Umminya bercerita bahwa mas Rafa merasa depresi karena ditempatkan di ICU ini. Suasananya tidak nyaman dan dia tegang serta tertekan.
Tapi kondisi tubuhnya terus drop, dan butuh pengawasan intensif.

Dua kali saya ditegur karena melanggar aturan. Saya malu dan sungkan; tapi keinginan melihat Rafa sejenak saja, membuat saya menebalkan muka. Asli orang Indonesia, kan? Saya memang tidak punya darah peranakan, kok.
Sebentar, saya keluar.

Saya melewati jajaran bed, dan anak-anak yang sedang dalam sakit serius itu. Diluar, saya bergabung dengan Mas Budi yang mengobrol dengan Pak Imam.

Tiba-tiba, terdengar tangisan dari dalam ruang ICU. Teriakan-teriakan panik dan gegas-gegas langkah. Semua terperangah. Pak Imam berlari-lari menuju jendela, yang menyisakan bagian sudut kacanya yang tembus pandang.

"Saya kira Umminya Rafa," katanya, dengan sorot mata lega.

Saya bergegas menuju jendela tempat pak Imam mengintip tadi.

Di bed sudut itu, aah diagonal dari bed mas Rafa, seorang ibu menjerit-jerit sambil menghentak-hentakkan badannya. Seorang laki-laki entah siapanya, berusaha membopong dan menenangkannya.

Tetap saja sang Ibu histeris. Lutut saya 'kemrotok', lemas, dada sesak. Saya menahan tangis. Ibu itu dibawa keluar. Dia menangis menggerung-gerung, dipeluk sang bapak, diusap-usap kepalanya.

Saya mengintip ke bednya lagi. Para petugas medis berwajah panik, menyeret-nyeret alat ini ke sini, ke situ. Mereka seperti berkejar-kejaran, memburu kesempatan dan waktu.

Dua ibu yang bersimpati, memeluk sang Bunda.

"Sabar..istighfar.." saya mendengar salah satu mereka mengucapkan itu.

"Anakku... Anakku, Buuu.. Itu anakku. Emooh.," sang Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Edoooo..," dia meraung-raung kembali. Tangannya menggapai-gapai.

Saya tercekam oleh sedih. Kegembiraan seperti tidak diberi tempat di sekeliling kami. Hanya ada warna abu-abu yang semburat, dan diintai warna hitam kelam.
Tak peduli ada cahaya, kami semua merasa sangat tidak berdaya.

Kami pulang, sebelum tagisan itu reda.

Tabahlah, Bunda.



1 komentar:

  1. semoga yang pergi dengan khusnul khotimah dan yang ditinggalkan diberi kesabaran...mengenang kpergian mama tepat dimalam tahun baru 2012...smoga mama ditempatkan dsisi Allah dan di ampuni dosanya...amin

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.