KITA DAN RASA MALU

Senin, Desember 14, 2015
Catatan 1 Juli 2015

Seorang teman, ditawari Ibundanya untuk menjadi pns dengan jalan pintas. Bunyi nominalnya sekian ratus juta.

"Ibu punya, kalau kamu mau," kata sang Ibunda. Ayahnya (almarhum) adalah mantan pejabat kabupaten yang tentu punya relasi dan akses yang mudah.
"Saya tidak mau, Bu Umi... Saya takut hidup saya tidak barokah," katanya pada saya.
Sang Ibunda tentu menawarkan itu sebagai reaksi kasih sayang seorang ibu. Melihat puterinya yang mengasuh kedua anaknya sendirian setelah suaminya meninggal tentu membuat rasa iba muncul.
Dengan niat tulus membantu dan meringankan, sang Ibunda rela mengeluarkan dana yang tdiak sedikit.
Sementara, sang puteri lebih memilih menimbang dari resiko dari keburukan yang mungkin terjadi. 


Saya menganggap ia telah berhasil meninggikan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba Tuhan: meninggalkan keburukan.
Niat tulus membantu seringkali samar maknanya ketika berbenturan dengan timbangan kebenaran.

Orang tua yang menyuap agar anaknya terbantu masuk kerja.
Bapak/Ibu guru atau kepala sekolah yang membantu memberikan kunci jawaban pada siswanya agar mereka terbantu lulus dengan nilai tinggi dan bisa bersaing dengan anak-anak sekolah lain.
Kemudian kita menyajikan ketidakjujuran secara gamblang di depan mereka; hingga mereka berpikir bahwa ketidakjujuran adalah wajar dan perlu.
Maka mereka terbiasa dan terlatih untuk berkhianat pada kebaikan secara terang-terangan.

Lalu, ada satu pertanyaan mendasar yang sering menggelitik: benarkah kita, orang tua atau guru, melakukan itu semua benar-benar untuk menyelamatkan mereka?
 Apakah bukan karena menyelamatkan gengsi dan harga diri kita?
Malu punya anak yang tidak pns, sementara orang tuanya pejabat
Malu punya anak atau siswa yang nilainya tidak cukup bagus.

Malu jika nilai rata-rata sekolah tidak tinggi dan tidak dianggap sekolah bonafid.
Jika di akhirat kelak mereka ditanya: "Mengapa kalian lakukan itu"; jangan heran jika telunjuk mereka terarah pada kita.

Bukankan kita yang menjerumuskan?

*duhai Robbi, jika mempertanggungjawabkan seluruh dosa diri sendiri saja sangat berat, manalah sanggup menanggung dosa tambahan dari orang-orang yang belajar keburukan dari kami ?*

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.