SELAMAT JALAN, MAS RAFA

Sabtu, Desember 26, 2015
Dua hari sebelum ia pergi, saya diberi kesempatan duduk di tepi ranjangnya. Sebenarnya, tidak boleh dia ditengok. Hanya orang tuanya saja yang boleh menunggui di ruang ICU itu.
Abinya menyilahkan saya masuk. Saya menyelinap, dan duduk di sisi sebelah kanannya. Umminya sedang di kamar mandi.
Saya menyentuh tangannya. Dia menoleh, menatap saya. Nafasnya tersengal-sengal. Tampak berat dan sulit.
Badannya sangat kurus. Kurus sekali. Lebam di beberapa bagian badannya. Bintik-bintik merah menyebar.
Saya menahan tangis. Pedih, melihat penderitaannya. Tapi saya malu, tak hendak biarkan air mata dan ekspresi kesedihan menyeruak.Mas Muhamad Rafa saja kuat dan tegar.
Dia menarik tangannya. Tak mau disentuh.
"Itu ada Bunda Umi, salim ya..," kata Umminya. Kepalanya menggeleng.
"Oh ya, Ummi lupa, sudah tidak boleh yaa?" Umminya tersenyum sambil mengelus kepalanya.
"Hari apa sekarang?" bisiknya, Harus dua kali ia mengulang pertanyaan itu, karena kami tidak paham apa yang diucapkannya.
"Sekarang Kamis."
Umminya bercerita beberapa hal tentang sakitnya. Tidak lama saya di sana, karena sudah ditegur perawat yang berjaga.
Di luar, saya dan Mas Budi Hartono mengobrol dengan Abinya.
"Jika dirawat di ruangan ini, semua harus siap dengan segala kemungkinan.," katanya.
"Mohon doa, yang terbaik bagi mas Muhamad Rafa," katanya.
Menurut cerita teman-teman, Mas Muhamad Rafa sangat ingin syahid. Rindu Palestina. Ingin syahid di sana.
Ramadhan tahun lalu kami bertemu di masjid Jami', saat i'tikaf. Luar biasa semangatnya.
Kelemahan dan rasa sakit tak membuatnya surut mengejar keutamaan malam Ramadhan.
Saya suka menatapnya diam-diam kala itu. Malu hati. Iri pada ghirah yang Allah berikan padanya.
Pagi tadi, mas Muhamad Rafa dimakamkan. Umminya memeluk saya erat-erat sambil berbisik: "Dia sudah bisa tersenyum di sana sekarang."
Pelukan terakhir, Umminya kembali berbisik: "Perjuangan panjang..."
Izinkan saya menuliskan ulang apa yang diceritakan Umminya dengan bahasa tulisan saya, tanpa mengurangi kandungannya:
'Pada saat kesadarannya masih bagus Selasa dini hari sebelum wafat, Rafa minta wudhu sekitar jam 2 malam.
Ketika ditanya: " Memang mas rafa mau sholat apa?"
Ia menjawab ," Ntar ta Mi, aku sudah diajari."
Kemudian dia acungkan satu jari dan mengucapkan dua kalimah syahadat dengan lancar sampai diulang dua kali.
Lalu katanya sambil tersenyum: "O ya, memangnya aku mau mati sekarang apa,ya?"
Setelah itu kami ajak berdzikir dan kami menanyakan surat dalam al Quran yang disukainya. Kami melantunkan surat Al Bayyinah.
"Ummi aku minta maaf ya, Ummi juga sudah tak maafkan. Abi, aku minta maaf yaa, Abi juga sudah tak maafkan,"katanya.
"Hai semuanya, aku minta maaf, ya," katanya sambil tersenyum dan melambaikan tangan.
( Ini wasiat kepada semuanya, Rafa minta maaf atas segala khilaf, mohon diiklhaskan.)
"Mi, aKU mau belajar sama Rosulullah dan Abu Huroiroh," katanya lagi.
"Memangnya mas Rafa belajar apa sama Rosulullah dan Abu Huroiroh?," kami bertanya.
"Lho, aku kan belum ketemu," jawabnya.
Shubuh itu, dia berteriak-teriak ingin ikut abinya ke masjid. Setelah dibujuk dan ditenangkan, Mas Rafa bersedia berwudhu dan sholat shubuh.
Ternyata Rafa sudah memberikan tanda bahwa dia akan dipanggil Allah.
Ya Allah, mudah-mudahan ini adalah kematian yang indah untuk anakku yang telah berjuang kurang lebih tiga tahun berjuang menghadapi ujian sakit.
Semoga Allah menggantinya dengan pahala dan kenikmatan syurgaNya. Aamiin. ..'
Selamat jalan, mas Muhamad Rafa...

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.