DONGENGKU : SELENDANG NENEK CIHUY
Namanya Nenek Cihuy. Nenek bermata kecil, berhidung mungil, dan tubuhnya kerdil. Tingginya tidak lebih dari anak usia sepuluh tahun. Bentuk kepalanya agak lonjong dan rambutnya merah menyala. Walau tampak sedikit seram, Nenek Cihuy sungguh baik hatinya. Ia mau menolong siapa pun yang kesulitan.
Banyak warga desa yang merasakan langsung kebaikannya. Nenek Cihuy mengijinkan pengembara menginap di rumahnya jika kemalaman. Anak yang sakit dibuatkannya ramuan obat-obatan. Ajaibnya, siapa pun yang sakit pasti sembuh setelah meminum ramuannyJika ada yang kekurangan bahan pangan, penduduk mendatangi kebunnya. Mereka bisa memetik apa saja yang dibutuhkan di sana. Ubi, kacang panjang, waluh, dan lain-lain. Pendeknya, Nenek Cihuy selalu punya jalan untuk meringankan orang lain.
“Aku ingin belajar meramu obat-obatan, Nek,” kata Lola, seorang gadis cantik putri seorang panglima perang.
“Aku juga,” kali ini Mamiri yang bicara. Ia gadis manis putri saudagar kaya.
“Kau juga mau, anak manis?” Nenek Cihuy menanyai satu gadis lain di belakang Mamiri. Ia tersenyum malu-malu.
“Namanya Janna, Nek. Ia pelayanku. Kupikir ia bodoh. Tidak mungkin ia bisa belajar tentang hal-hal sulit,”kata Mamiri dengan angkuhnya. Nenek Cihuy hanya tersenyum.
“Siapa pun bisa belajar,” kata Nenek Cihuy. Ia melambai kea rah Janna, memintanya mendekat.
“Belajar denganku syaratnya sangat mudah. Bawalah selendang ini,” Nenek Cihuy mengeluarkan sehelai selendang yang sudah lusuh.
“Setiap orang mendapat kesempatan sehari dengan selendang itu. Besok, giliran pertama untukmu, Mamiri,” kata Nenek Cihuy.
Mamiri sangat senang. Ia ingin memberikan kesan yang baik pada Nenek Cihuy. Rahasia ramuan itu harus didapatkannya. Bapak sudah punya rencana untuk menjual ramuan-ramuan itu dengan harga tinggi. Dengan cara itu, mereka akan punya uang yang lebih banyak.
Mamiri membawa pulang selendang Nenek Cihuy. Selendang itu kusut, dan warnanya pudar. Jika diselempangkan, warnanya yang pudar tidak tampak indah. Mamiri menyimpan selendang itu dalam kantongnya. Ia menghabiskan waktunya dengan berkeliling mengunjungi teman-temannya hanya untuk mengobrol.
Esok harinya, Mamiri mengembalikan selendang itu pada Nenek Cihuy.
“Jangan khawatir, Nek. Selendang itu aku jaga dengan baik. Ia tidak kotor sama sekali,”kata Mamiri bangga. Nenek cihuy tersenyum saja.
Giliran Lola membawa selendang. Lola mencucinya, memberinya wewangian dan melipatnya dengan rapi. Selendang itu jadi harum sekali. Lola menghabiskan waktu yang diberikan untuk berdandan.
“Ini Nek, selendang Nenek tambah wangi,” pamer Lola dengan bangga. Mamiri dan Janna berdiri di sebelah Nenek Cihuy. Nenek Cihuy mencium selendangnya. Hm, memang harum luar biasa!
“Kau ingin mencobanya?” tanya Nenek Cihuy pada Janna. Mamiri memandang tidak suka.
“Tidak apa-apa, Mamiri. Beri kesempatan padanya,” kata Nenek Cihuy lembut. Mamiri terpaksa mengangguk. Dia tidak ingin Nenek Cihuy menilai buruk padanya.
Janna menerima selendang itu dengan senang. Mamiri mengajaknya pulang. Sepanjang hari, dibuatnya Janna sibuk dengan perintahnya. Mamiri bolak-balik menyuruh Janna kepasar. Jannah juga harus mengantar makanan kepada para pekerja kebun. Pokoknya seharian itu Mamiri tidak membiarkannya beristirahat.
Esok hari, Nenek Cihuy menunggu selendangnya. Janna memberikannya dengan cemas.
“Kenapa kotor sekali?” Nenek Cihuy bertanya sambil membalik-balik selendangnya. Selendang itu memang kotor. Ada bercak-bercak noda. Dibagian tengah bahkan sedikit sobek.
“Maaf, Nek. Ketika ke pasar kemarin, ada anak kecil yang jatuh dan terluka. Selendang itu kupakai untuk membebat kakinya yang luka,” kata Janna lirih. Mamiri melotot mendengarnya.
“Lalu, kenapa ini ada bekas tanahnya?” Nenek menunjuk sisi lain selendang.
“Oh, itu… Tetanggaku terjatuh dari kudanya. Gaunnya kotor, padahal ia harus menghadiri acara penting. AKu membantu membersihkan kotorannya dengan selendang itu,” suara Janna semakin lirih karena takutnya.
“Apa penyebab sobekan ini?” Nenek menunjuk bagian lain.
“Maaf, Nek. Aku memakai selendang itu untuk memanggul kayu bakar milik Sania, anak yatim desa sebelah. Kasihan, ia tidak bisa mengangkatnya sendiri karena berat,” kata Janna. Kepalanya menunduk dalam. Ia siap jika akhirnya Nenek Cihuy marah karena selendangnya rusak. Semalam Janna terlalu lelah hingga tidaksempat mencucinya.
“Kamu yang kupilih, Janna,” kata Nenek Cihuy.
“Kenapa dia? Dia sudah merusak selendang itu!” protes Mamiri.
“Aku sudah menjaganya dengan sangat baik,” Lola ikut bersuara keras.
“Kalian berdua tidak melakukan apa-apa. Aku ingin ramuan obat-obatanku jatuh ke tangan yang tepat. Aku mencari orang yang sudah terbiasa menolong dan meringankan orang lain. Kalian berdua terlalu sibuk dengan diri sendiri,” kata Nenek Cihuy sambil tersenyum.
Mamiri dan Lola sangat malu. Tugas menjaga selendang itu ternyata membuat Nenek Cihuy tahu betapa egoisnya mereka. Tidak peduli orang lain, dan mementingkan diri sendiri.
Nenek Cihuy senang karena akhirnya bisa mendapatkan penerusnya.
(dimuat di KUMPULAN DONGENG BOBO NO 78, 12 DESEMBER 2012)
Catatan proses kreatif:
Saya ingat, prose pembuatan kisah ini agak diluar kebiasaan. Saya menuliskan paragraf pertama, mengalir begitu saja, tanpa tahu apa dan ke mana cerita ini akan berjalan. YAng tergambar kuat adalah sosok Nenek Cihuy, dengan fisik yang tak lazim. Setelah itu, yang muncul adalah tokok Mamiri, yang egois dan pemalas. BArulah setelah menemukan tokoh-tokohnya, saya memikirkan konflik. Apa kira-kira yang akan menjadi konflik dan apa pesan moralnya.
Tidak ada komentar: