SHOUMI MENANGIS

Rabu, Desember 30, 2015
Kemarin Ahad, dua puluh tujuh Desember (pakai huruf ya, sebab angka tujuhnya gak keluar..hehehe), saya dan krucil-krucil ke Plandaan.

Full team, empat anak saya dan empat anak Acil Nurul: Muthia, Yasmin, Hilwah dan Hanin. Hebohnya pasti. Tujuh anak usia SD di dalam mobil, dengan suara cuit-cuitya yang nyaring.
Satu bertepuk dan bernyanyi, maka yang lain akan mengikuti. Tidak perlu membunyikan mp3, sudah cukup mendengar suara-suara cempreng mereka. Hihi.

Di rumah Acil Tintin, bergabunglah mereka dengan tiga anak lainnya: Icha, Shoumi dan Khansa. Icha yang sudah kelas satu SMP bergabung bersama Najma dan Muthia. Mereka mojok di kamar, menutup pintu, dan berhahahihi. Diusir dari kamar satu, mereka pindah ke kamar lain.

Yasmin, Zahra, juga sibuk sendiri. Berdua-dua kesana kemari. Sesekali bersama Icha and the gank, sesekali bersama Hafidz and the crew.  Mungkin bingung, karena cuma berdua.

Hafidz and the crew punya permainan lain: perusutan di kasur. Dua kasur busa disandarkan pada tangga di ruang tengah. Oh ya, tangga itu mengarah ke lantai dua yang belum jadi. Dua kasur itu menempel pada tangganya, lalu mereka meluncur dari atas menggunakan bantal angin kecil. Seru!! Hahaha. Kadang salah satu kasur melorot, dan tidak bersambung dengan kasur lain. Yang diatas berteriak-teriak memberikan komando pada yang dibawah.

Acil Tintin mengeluarkan es krim duriannya. Huaaaa, para krucil tu langsung menyerbu. Duduk manis di sekitar mangkok es krim, menunggu pembagian. Antri dengan tertib, dan Nabila yang bertugas melayani. Cone es krimnya mungil, sehingga tidak cukup satu anak satu cone. Kerumunan bubar setelah es krim habis.

Saat duduk bersama, Acil Tintin menceritakan tentang Shoumi yang masih sering tantrum dan sulit dikendalikan.

"Gimana caranya, ya Teh? Kalau sudah tantrum, aku tinggalkan saja sampai dia capek," katanya. Kami lalu berdiskusi, serius dan dalam.. Haha.

Shoumi dikenal sulit dibelokkan jika sudah punya keinginan. Pernah dia bersikeras ikut kami, dan berjanji tidak akan menangis atau minta pulang. Janji tinggal janji. Dia menangis keras-keras dan minta pulang malam hari. Mas Budi sampai perlu menggendong dan membujuknya hingga ia tertidur.

Akhir diskusi, tak ada solusi, hihi. Bukan ahlinya sih, jadi hanya mengira-ngira dan menduga-duga cara mengatasinya.

Tiba waktu makan malam, para krucil itu antri lagi. Dengan piring masing-masing, mereka berdiri depan saya. Nabila bagian memberi nasi, saya baksonya. Prosesi makan juga punya suasana sama: heboh dan riuh dengan cuitan mereka.

Setelah sholat isya, kami berpamitan. Shoumi ingin ikut, tapi meminta Umminya atau mbak Icha ikut juga. bak Icha menolak ikut. Umminya jelas tidak mungkin, karena banyak pekerjaan rumah yang harus ditangani. Shoumi mulai ngambek. Dia mengurung diri di kamar sambil menangis.

Kami masuk mobil. Tiba-tiba Abinya bilang bahwa Shoumi mau ikut. Okeh lah, tariikkkk!

Di perjalanan pulang, suasana sepi. Sebagian besar tertidur karena lelah. Mereka bermain seharian, lari sana lari sini. Bersepeda keliling kompleks. Aktifitasnya tidak ada jeda.

Sampai di rumah, Mas Budi menggendong Hafidz, Hanin, Hilwah bergangtian. Meletakkan mereka di kasur yang dihamparkan di ruang tengah. Saya menyediakan satu kasur lagi, menaruh bantal diatasnya dan berkata pada Shoumi yang masih terjaga: "Nanti tidur sini, ya." Shoumi hanya mengangguk.

Saya dan Mas Budi berbaring dan menonton televisi. Tiba-tiba terdengar suara seperti orang pilek. Sekali, dua kali.

"Nabilaaaa, ih, jijik ah!" kata saya. Suara itu memang berasal dari tempat Nabila duduk.

Terdengar lagi, lagi, dan lagi.

"Nabilaaa, buang ke kamar mandi!" kata saya lagi, tanpa menoleh. Tak ada suara Nabila menjawab. Lalu terdengar lagi, lagi, lagi, lagi...

"Siapa sih?" Mas Budi menoleh. Saya duduk, dan melihat ke arah Nabila. Oowww... Ternyata Shoumi yang berdiri dekat Nabila sambil menangis. Nabila menunjukkan ekspresi 'bukan-aku-tapi-dia-neeeh' sambil cengar-cengir.

Saya bangkit, mendekati Shoumi. Tangisan Shoumi pecah, dia mewek secara maksimal, berteriak-teriak.

"Ibuk-e...Buk-e... Pulaaaaang... Huaaaaa, huaaaaa..."

Haha. Shoumi memang suka memanggil ummi dan abinya sesukanya. Sekali waktu  panggilan normal,  ummi abi. Lain kali tiba-tiba jadi ayah-bunda. Kapan-kapan jadi ibu-e. Seenaknya dia lah, sedapatnya wangsit. Wehehe.

"Sini, sama Bunda. Tidur yuk, Bunda temani disini," saya merentangkan tangan, mencoba membujuknya. Shoumi menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Kakinya dihentak-hentakkan kuat-kuat juga.

"Emooh... Telpon Buk-e, telpon saiki, telpoooooon," Shoumi berteriak-teriak lagi.

"Mboten, mboten telepon. Sudah malam,Mbak Shoumi tidur sama Bunda sini. Yuk, sama Bunda, disini," saya menunjuk kasurnya. Shoumi menghentak-hentakkan kakinya lagi sambil menangis dan berteriak-teriak.

"Kalau masih berteriak, Bunda tinggalkan dulu. Nanti, kalau sudah selesai nangisnya, baru Bunda temani lagi,"saya berkata begitu sambil membungkukkan badan, menyejajarkan kepala saya dengan kepalanya. Tidak bisa saya dekati, karena setiap saya maju, dia akan mundur sambil marah-marah.

Saya dan Mas Budi kembali tidur-tiduran. Kami sengaja bersikap seolah-olah tidak peduli dengan amukan Shomi. Suara tagisan dan omelannya memenuhi ruangan. Hebatnya, anak-anak yang tidur seperti tidak terganggu. Mereka tidak terbangun sama sekali.

"Ayo telpon buk-e.. Telpon... Aku mau telpon Buk-eee... Buk-eeeeeee..," Shoumi mendekati kami.

"Mboten, Bunda mboten telpon. Sekarang tidur saja yuk, sini sama Bunda," saya merentangkan tangan, siapa tahu dia mau saya peluk.

"Emooooh... huaaaaa, huaaaa... Mau pulang, pulaaaaaaaaaang!" Shoumi mancal-mancal lagi.

MasyaaAllah, tambah banter! Piye, jal?

Mas Budi bangkit, mengambil hapenya dan mengulurkan  pada Shoumi.

"Ini, telpon sendiri ya. Ayah tidak tahu nomornya," katanya. Shoumi terdiam sebentar, memandang hape yang disodorkan itu.
 Tak lama kemudian...  "Huaaaa...telponkan...telponkaaaaaan. Buk-eeeeee, telpon buke-eeeee," dia berteriak-teriak lagi.

Walah. Mas Budi dan saya kembali berbaring bersebelahan.
"Gak usah diajak bicara lagi, tambah keras nangisnya," bisik saya.

Tiba-tiba Nenek keluar. Nenek berdiri sebentar, memandang Shoumi yang asyik teriak-teriak sambil menangis.

"Nanti ditelepon ya,sekarang tidur dulu," bujuk Nenenk.

"Ih, Nenek.. Jangan dibohongi begitu," kata saya. Nenek tertawa, lalu masuk kamar lagi.

"Sudah ya, kalau capek nangis, duduk sini," saya menunjuk kursi.

"Kalau mau tidur, disini," saya menunjuk kasur.

Sekian belas menit kemudian, suara tangisannya masih terdengar keras. Lalu, melemah. Lalu, yang ada hanya isaknya saja. Saya melihat ke arah suara itu. Shoumi  sudah duduk di kursi. Sepertinya dia capek dan menyadari bahwa tangisannya sia-sia.

Sekian waktu kemudian, dia sudah tidur memeluk guling. Posisinya memunggungi kami, seolah-olah hendak menyembunyikan wajahnya.

Suasana damai kembali. Esok hari, dia bangun ketika saya mengaji.

"Yuk, wudhu. Sholat, lalu main. Yang lain sudah bangun."

Dia menurut. Saat sarapan, dia mendekati saya dan berbisik-bisik,"Bunda, aku mau telur dadar."

Okeh. Dia sarapan di sebelah saya.

"Kenapa semalam nangis? Takut?" Shoumi menggeleng.
"Kangen Ummi?" Shoumi menggeleng lagi.
"Ditinggal teman-teman tidur ya, tidak ada teman main?" Shoumi tetap menggeleng.

"Lain kali, gak pakai nangis ya.Kalau sudah mau ikut, gak usah cari Ummi."

Shoumi mengangguk saja. Sepanjang hari, tak ada lagi insiden menangis. Alhamdulillah.




Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.