KERANJANG

Selasa, Januari 26, 2016


Siang tadi, menghadiri pertemuan pustakawan di sebuah sekolah.
Pertemuan rutin bulanan ini dihadiri para pustakawan level SD, SMP/MTS, SMA/SMK/MA se kabupaten Jombang.

Acara berlangsung hingga pukul sebelas. Saya berencana langsung takziyah, ayah mertua mbak Iva meninggal tadi pagi.
Seorang ibu, yang belum saya kenal namanya, mendekati saya yang sudah siap di atas sepeda motor.

"Panjenengan ke utara?" tanyanya. Seorang ibu separuh baya, berwajah lugu.

"Injih."

"Langsung pulang?" tanyanya lagi. Saya tidak yakin dia hafal nama saya. Pertanyaan langsung pulang, tidak saya pahami kemana arahnya.

"Mboten, saya mau takziyah."

"Kemana?"

Tidak nyaman rasanya ditanya terus menerus begini,

"Ke belakang pasar Legi, bu."

Ibu itu semakin merapat, mendekat.

"Saya bareng, nggeh? Sampai..," dia menyebutkan satu tempat yang saya lewati. Saya memandangnya ragu-ragu. Bukan apa-apa, pertama,  dia tidak membawa helm. Saya agak khawatir jika ada operasi.
Kedua, badannya agak gemuk. Saya khawatir kurang 'tegen' memboncengnya.

"Saget, nggeh?" tanyanya lagi, sambil memutar menuju belakang saya. Ya sudah, bismillah. Kalau ditilang karena dia tidak pakai helm, saya kasihkan aja dia. Hehehe.

Perjalanan hanya sekitar 15 menit hingga menuju tempat yang dimaksud. Namun selama 15 menit, dia bercerita panjang lebar tentang masalahnya, penderitaannya. Ceritanya melompat-lompat. Saya berusaha merangkainya agar bisa memahami.
Kadang saya bertanya, dan dia akan menjawab dengan semangat. Suaranya bergetar, terdengar menahan tangis.

Saya banyak diam, speecehless.

Ini bukan hal aneh bagi saya.

Pernah mengunjungi seorang rekan untuk akupunktur. Saya mengantri. Teman saya itu masih menangani pasien lain.
Lalu muncul seorang ibu, usianya sedikit di atas saya. Pasien yang di dalam adalah ibundanya.

Duduk sebentar, dia membuka percakapan. Menanyai saya sedikit tentang beberapa hal. Lalu, mengalirlah ceritanya.
Bahwa ia kini tengah mengurus perceraiannya yang kesekian. Bahwa suaminya bla, bla, bla. Pernikahaannya yang terdahulu bli, bli, bli.

Saya hanya mendengarkan. Mengangguk, merespon sebisanya, tapi lebih banyak diam. Bingung, harus komentar apa.

Waktu lain lagi, mengunjungi teman. Dia tak ada. Ibunya menemui saya sendirian. Lalu mengalirlah keluh kesah sang ibu. Panjang kali lebar. Dengan tangis yang muncul sesekali.

Kalau saya bercerita tentang curhatan orang-orang yang baru saya kenal, mas Budi biasanya senyum-senyum.

"Wajah Bunda itu jangan-jangan seperti keranjang curhat... Penampungan masalah banyak orang. Sekali lihat, orang ingin curhat," katanya sambil tertawa kecil.

*Apa wajah saya mirip keranjang curhat?


(gambar dari http://www.santirahmawati.com)

4 komentar:

  1. tidak semua mampu untuk menjadi tempat curhat orang lain loh Mbak :)
    mungkin Mbak dinilai bisa memberi solusi, makanya orang-orang suka curhat pada Mbak :)

    BalasHapus
  2. Biasanya orang ngak mau loh mbak jd keranjang apalagi isinya curhatan orang heheheheh berarti semakin bnyak yang isi keranjangnya semoga makin bnyak berkah buat mbak :)

    BalasHapus
  3. Mbak Irawati Hamid : iya, mungkin. Semoga bisa memberi solusi terbaik... KAdang-kdang masih kaget saja kalau ada yang ujug-ujug curhat begitu. Hehehe. MAkasih sudah mampir di blog saya ya Mbak.

    BalasHapus
  4. turiscantik.com : aamiin... Hehehehe. KAdang-kadang terasa lucu saja, gak kenal sama sekali tapi diberi cerita masalahn pribadinya...

    Terima kasih ya Mbak, sudah mampir. Blog mbak cakep...:)

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.