KISAH DUA SAMPAI EMPAT

Minggu, Oktober 23, 2016
Saya mau cerita (lagi). Masuk ke kisah dua. Kisah satunya, sudah diposting di fb di sini :
Kisah dua:
Suatu pagi yang gelap, matahari belum bersinar. Aku melaju menembus kabut dingin. Dingin sekali. Suasana mencekam. Hihihihihi. Siapa, kuntilanak? Bukan laaah Kuntilbibi? Emang ada kuntilbibi? Ah, kamu mah ngaco!
Di tepi jalan tertentu, saya berhenti.Ada penjual sayur mayur yang sudah siap berjualan sejak pukul empat pagi. Ibu dan anak ini mengampar jualannya di atas trotoar. Semula di depan sebuah toko busana, lalu pindah ke sebelah selatannya. Konon ketika masih di depan toko busana itu, mereka sering mendengar suara-suara asing dari dalam toko. Entah suara apa, yang pasti bukan suara saya. Beneran.
Pagi itu, saya membeli ayam untuk sarapan anak-anak. Sang ibu menghitung total belanjaan.
“Itu ada pisang Bu, eh , kok Ibu. Mbak-mbak kok dipanggil Bu, seh. Itu Mbak, pisangnya bagus-bagus,” katanya, sambil tangannya sibuk merogoh tasnya mencari uang untuk kembalian.
Saya senyum-senyum dipanggil Mbak. Terima kasih, Bu. Tersanjung sekali ikke..
Abaikan bahwa itu shubuh yang sepi, dan lampu penerangan separuh-separuh.


beginilah penampakan di waktu malam..

Kisah tiga:

Suatu hari, dikala kita duduk di tepi trotoar.
Dan memandang, es degan yang menggugah seleraku.
Air gula dituang ke  gelas yang besar.
Getar seluruh haus, melenyap saat itu.
Es deganku ini, janganlah engkau habiskan...

Sebentar, waktu baca kalimat diatas, pakai nada lagu ‘kemesraan’? Haha. Sama edannya sama saya, ternyata.
Namanya warung es degan Mbah Yo. Saya dan anak-anak sesekali mampir ke sana sepulang sekolah. Adanya di dekat perempatan SMA 2, ke selatan. Sebelah situ, iya. Tahu, kan? Kalau gak tahu, gak usah sedih.
Suatu siang, berdua dengan Hafidz, saya mampir. Waktu itu, saya pakai batik ungu, dengan kerudung ungu. Saya sampaikan ini, untuk memberikan info bahwa hari itu saya tampak cerah. KArena batik dan kerudung ungu, saya tampak unyu-unyu.Tampak, lho. Jangan tertipu.
Saya tengah mengantri, berdiri, sambil memperhatikan ibu penjual mewadahi es pesanan saya. Sebuah  mobil menepi, di selatan warung. Lalu bapak-bapak separuh baya keluar. Beliau berdiri di sebelah saya.
Saya merasa sang bapak sejenak mengamati saya. Bukan ge-er, tapi memang beliau memandangi saya. Saya tidak balas memandang. Kalau kami saling pandang, kok seperti cerita-cerita jatuh cinta.
“Putrinya, Bu?” tiba-tiba beliau menanyai ibu penjual, sambil menunjuk saya.
Kali ini, saya saling pandang. Dengan bapak itu? Bukanlah, dengan ibu penjual. Sama-sama tersenyum. Senyum geli dan terkejut.
“Bukan, Pak. Ini Bu Umi. Anak saya belum pulang, kampusnya belum libur,” jawabnya.
“Semester berapa?” Sang Bapak tanya lagi.
“Semester lima.”
What? Mahasiswi? Saya dikira putrinya yang masih mahasiswi?  Aih, saya salto jangan? Jangan? Tapi saya kege-eran luar biasa. Mahasiswi? Aih, terima kasih Bapak. Hari ini Bapak berpahala, karena sudah membahagiakan saya.
Ketika saya  cerita suami, sambil ketawa  dia bilang :
”Bapak itu lupa gak pakai kacamata.”
 Wekekekek... Abaikan saja fakta itu. Yang penting hepiiii!

Kisah empat:
Kisah di sekolah, nih. Sabtu, adalah hari berseragam pramuka. Sebetulnya tidak ada jam mengajar di hari itu. Tapi saya, sebagai guru yang baik dan rajin, tetap masuk dan mendekam di perpus.
Pertama kali memakai seragam pramuka, saya masuk ke kelas. Anak-anak terkejut, dan tertawa. Mereka mengira saya siswa.
Siang itu, jam pulang sudah berbunyi. Anak-anak lalu lalang menuntun sepeda motornya menuju gerbang. Saya hendak  menuju toko sekolah. Biasa, siang hari, waktunya alarm perut berdering.
Ketika turun dari undak-undakan, di depan saya, berjarak sekitar enam meter, bapak waka berjalan ke arah saya. Di samping saya, para siswa melintas bergantian.
Saya tersnyum sambil mengangguk pada bapak Wakil kepala sekolah itu. Dia tersenyum tipis, tipis sekali.
Ketika berpapasan, senyumnya melebar.
“Tak kira siswa, Bu,” katanya, sambil tertawa.
Nah, nah. Yang ini shohih. Sebab ini siang hari.

Salto jangan? Jangan, ah. Malu. Masa ibu-ibu salto.

5 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.