SAYUR TAS

Rabu, Desember 21, 2016
         
Ini tas hadiah juga
                Beberapa hari lalu, Nabila berkata  pada saya.
                “Beli tas, ya, di Rumah Warna,” katanya.
                Adik-adiknya, yang berada di sekeliling kami, ikut-ikut berbicara.
                “Aku juga. Tasku  sudah kekecilan.” Itu Zahra.
                “Aku mau juga!” Hafidz turut juga.
                “Ooowwww,” jawab saya. “Rumah Warna? Wow!” Saya berkata begitu sambil berlagak orang pingsan.
                “Lha, tasku sudah jelek. Tas Bunda tuh, banyak!” protes Nabila.
                “Iya, ayo kita hitung tas Bunda!” Zahra berlari ke lemari penyimpanan tas. Saya menelungkupkan badan, menutup wajah. Ayah Budi tertawa-tawa geli. Sudah lama Ayah mengomentari koleksi tas saya yang (katanya) banyak itu.
                “Naaaa, ini dia!” Zahra mulai mengeluarkan satu persatu tas itu.
                “Tas ini!” Tas warna coklat kombinasi kuning diangkatnya.
                “Itu dikasih orang!” jawab saya. Nabila, Najma, dan Hafidz duduk manis sambil terkekeh geli.
                “Yang ini!” kali ini tas hijau.
                “Itu hadiah murid Bunda, waktu ulang tahun!” saya menjawab lagi.

Hadiah murid saat ultah
                               “Kalau ini?” Berikutnya adalah tas coklat susu.
                “Itu, hadiah dari Teh Mida, waktu ketemu di Jakarta!” saya kembali menutup wajah, ngeri melihat  tas-tas itu digeledahi satu-satu. Waduh, setelah ini bisa-bisa bakal didemo di toko tas nih!

hadiah Teh Mida
                                                             
                Oh ya, teh Mida itu kakak angkatan di kampus dulu. Waktu diklat kepala perpus di Jakarta, beliau menyambangi saya. Membawakan hadiah tas tersebut.
                “Tas biru!!” kali ini, tas biru tua polos yang diangkat.
                “DIkasih Julak Tetet di Bandung!”
                “Yang ini?” tas hitam, merek yang sama dengan tas hijau itu.
                “Itu….beli,” suara saya tidak selantang tadi. Masih ingat, tas itu adalah korban lapar mata. Akibat dari mupeng. Hiks.
                “Naaaah, simpan sini,” Zahra meletakkannya terpisah dari tas-tas hadiah tadi.
                Selesai? Oh, tentu belum. Eksekusi masih berlanjut, hadirin!
                “Kalau  ini?” Zahra mengacungkan tinggi-tinggi tas biru. Saya suka memakainya dengan seragam korpri. Mecing!
                “Beli…hiiy,” saya menutup wajah lagi.
                “Berapa harganya, hayo?”
Alamak, diam saja deh. Saya terus menutup wajah. Gak mahal  sebenarnya, jika dibanding tas-tas sejenis. Tapi, tas anak-anak seringkali   dicari yang berharga   sedang. Jika mereka membandingkan harga tas  saya dan tas mereka,  bisa didemo nih!
“Habiisss!” Zahra selesai membongkar isi satu lemari.
Alhamdulillaaah… Saya lega.
“Eh, Zah, masih ada di lemari satunya!” Najma berteriak dari sebelah saya.
Waduh, Mbak Jemaaaa! (Najma, punya banyak panggilan. Jema, Zuma, Joma, suka-suka saja. Saya sendiri, kalau gemas, memanggilnya Macan, Najma Cantik! Wehehehe…).
Zahra tertawa terbahak-bahak sambil bergeser ke lemari sebelah. Mulailah ia beraksi.
“Tas oreeeen!” dia mengacungkan tinggi-tinggi tas oranye menyala dengan tali hitam. Saya suka warnanya. Keren!
“Dikasih julaaaak,” saya ikut berteriak. Was-was mengingat-ingat, satu tas coklat kesukaan saya. Sepertinya tidak saya simpan di lemari. Ada di kamar Hafidz. Amaaaan!
“Naaah, kalau ini?” dia mengangkat tas selempang, coklat yang manis.
“Itu hadiah, tas ayah!” saya girang.
“Itu taskuuuu!” Hafidz berlari, mendekap tas bagus dan (tampak) mahal itu. Saya suka pakai, sebetulnya.  Tasnya simple, ringkas, dan nyaman dipakai.
Aman deh, satu tas diakui Hafidz miliknya. Hihihi.
Berlanjut terus, hingga habis tas kerja di  lemari itu. Gak usah disebut semuanya disini. Bahaya! Wahahaha.
“Yang beli ada tiga!” katanya. Saya senyum-senyum saja. Yang diabsen tas kerja. Masih ada tas santai, tas kondangan. Kalau  tas kondangan  ini, asli, saya cuma punya satu! Kondangan itu, gak penting tasnya. Penting hadir, bawa angpau, lalu makan. Begitu, kan?
“Kalau Bunda punya tas banyak, aku juga mau begitu,” kata Zahra.
“Setuuujuuuuu!” yang lain bersorak.
Saya meringis. Jika seperti saya, untuk empat anak, bakal habis berapa?
“Tas segini banyak, kasihkan orang, Bunda. Jangan dipakai sendiri,” entah siapa, berkata begitu. Dan saya, speechles. Skak mat. Mati gaya.
Mereka benar. Sangat benar. Dipikir-pikir, punya tas segitu banyak, buat apa? Kudu insaf ini, gak boleh lagi beli tas. Semoga tidak tergoda oleh hadiah, semoga tidak lagi  khilaf.
“Tas bundamu itu, mungkin mau disayur,”celetuk Ayah.
Boleh juga. Sayur tas. Talinya di iris memanjang, badan tasnya potong dadu. Rasanya? Tak tahulah. Saya kan belum pernah makan  sayur tas.

2 komentar:

  1. haaa, unik nih anak2nya bikin mesem2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe. Iya Mba, bikin emaknya nyut2 kepala, takut didemo. Makasih sudah mampir ya Mba.. Salam kenal/

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.