SATU GENERASI

Senin, Agustus 21, 2017

        Ditulis sebagai bagian dari Collaborative Writing, atas artikel  yang ditulis oleh Mba Irly disini. Blog Mak Irly bisa dilihat disini.


Jika punya janji dengan Ibu saya, siap-siaplah bergegas.
Ibu saya tipikal wanita tepat waktu. Jika ada janji pukul sepuluh pagi, setengah jam sebelumnya sudah stand by. Jika kami akan bepergian, dan dijadwalkan pukul delapan, maka pukul tujuh sudah mulai bersiap-siap. Ada yang molor sedikit, beliau akan cemberut dan mengomel.
Acara Dasa Wisma kompleks kami, acara dimulai menjelang pukul lima sore, walaupun undangan pukul empat. Ibu saya akan bergegas berangkat pukul empat, dan seringkali harus kembali pulang karena TKP  masih sepi.
Ada sebuah lembaga PAUD yang mempunyai cara cukup ekstrim untuk membudayakan tepat waktu. Setiap kali mereka mengadakan kegiatan, tepat pada waktu  yang ditentukan, acara akan dimulai. Tak peduli berapapun yang hadir. Atau bahkan belum ada wali murid yang datang. Bisa jadi saat pembukaan yang hadir adalah para guru saja. But, the show must go on.
Semula, tentu terasa menggelikan. MC sudah naik panggung, sebagian besar kursi masih kosong. Namun lama kelamaan, para wali murid mengikuti ritme itu. Mereka jadi merasa yakin bahwa undangan jam delapan, ya mulai jam delapan. Undangan jam sepuluh, ya jam sepuluh tet.

SUDAH MENGURAT AKAR
Budaya ngaret ini, menurut saya, sudah mengurat akar. Celetukan yang sering saya dengar adalah  : “Undangannya dimajukan satu jam saja. Kalau rapat jam dua, undangannya jam satu.”
Hasilnya? Molor lebih dari satu jam. Rapat bisa dimulai pukul tiga.
Pernah sih, saya ngomel-ngomel karena ini. Terutama saat jadwal padat merayap. Saya berhitung waktu : jam sekian melakukan ini, jam segini meeting, jam segini pengajian, jam segini begitu. Pulang dari sekolah, saya terburu-buru menuju tempat pertemuan.
Voilaaa... Tempat pertemuan sunyi sepi. Saya sendiri. Bengong, saya duduk di teras. Rumah pertemuan juga masih terkunci rapat.
Innalillahi. Alhamdulillah.
Nggondok rasanya. Berkelebat daftar list-to-do yang sudah disusun. Wahai mahluk peserta rapat, dimanakah kalian berada?
Lima belas menit kemudian, datang bapak-bapak. Dengan santai dia membuka pintu, dan masuk.
“Pertemuan jadi jam berapa?”
“Pertemuan apa?”
Gubrak. Hello.... iki piye ya?
Setengah jam, datang satu ibu-ibu.
“Jadi nggak?” Saya mulai angot.
“Nggak tahu, Mbak.”
Krik, krik, krik.
Saya menunggu. Lalu, akhirnya, saya tinggal pulang. Sebab jadwal berikutnya menunggu. Good bye, meeting!
Yang bikin dongkol lagi, manakala yang datang terlambat tidak mengonfirmasi. Tidak ada kabar apapun. Apalagi, jika yang telat itu pimpinannya! Aduh, ceka ceka ceka.
Rasanya jika terlambat tanpa mengonfirmasi itu, memalukan. Ada perasaan bersalah yang muncul. Berpamitan jika terlambat hadir adalah bukti komitmen. Kebiasaan ini juga memperkecil peluang munculnya prasangka.
Dalam suatu pelatihan, kebetulan saya mendapat nara sumber yang keren habis. Penyebab kerennya adalah, pertama, Bapak tersebut cerdas. Diskusi-diskusi berjalan dengan dinamis. Pernyataan-pernyataan beliau membuat saya  berdecak kagum. Rasanya semua masalah yang dibahas ada solusinya. Jawaban-jawaban yang muncul membuat kami merasa punya perspektif baru yang lebih komprehensif. Tinjauannya luas, mulai dari aspek filosofis, yuridis, maupun teknis. Yang bikin adem juga, banyak sentuhan-sentuhan agamanya. 
Hal lain yang keren, beliau sangat disiplin. Acara jam delapan, sebelum jam delapan sudah stand by. Peserta yang mengantuk, ditegur secara halus. Yang terlambat, dikondisikan untuk tidak mengulang keterlambatan. Berapapun yang hadir, kegiatan dimulai sesuai jadwal. Alhasil, kami para peserta yang kemudian menyesuaikan. Malu jika datang terlambat. 


SATU GENERASI
        Kebiasaan ngaret yang sudah membudaya ini butuh waktu lama untuk berubah. Seorang kepala sekolah bertanya pada kepala sekolah Jepang dalam satu kunjungan:
” Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat Jepang memiliki kebiasaan membuang sampah pada tempatnya?”
        “Lima puluh tahun.”

        Lima puluh tahun. Satu generasi.
Jika kita mengubah kebiasaan molor sejak sekarang, hasilnya akan baru dirasakan lima puluh tahun mendatang. Lama sekali. Boleh jadi kita sudah meninggal. Tidak bisa menikmati indahnya budaya tepat waktu.
Tapi tidak boleh putus asa, bukan? Kita masih memiliki peluang beramal jariyah; menanamkan kebiasaan tepat waktu. Dimulai dari diri sendiri, lalu dibiasakan pada anak-anak. Merambah pada tempat kerja, masyarakat, dan seterusnya.
 Siapa tahu, amal jariyah tersebut akan mengalirkan pahala sepanjang masa, hingga kiamat tiba.
Dari satu perubahan kebaikan kecil, ada peluang beramal yang besar.


6 komentar:

  1. Ai fiil yuu Bu guruuu..
    Saya tuh paling gampang dongkol urusan tunggu menunggu.. Apalagi yang gak ada kabar.. Siap-siap saja saya sambut dengan muka cemberut, enak banget telat, gak ngabarin trus mau disambut dnegan senyum bahagia.. Hahah

    #AkuMahGituOrangnya LOL

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha...pasang muka jutek, mata galak, senyum sinis, lalu tanya: 'Kok telat?'

      Hapus
  2. Balasan
    1. Betuuul... Terbiasa molor jadi banyak permakluman.

      Hapus
  3. iyah benar juga ya Mak, membiasakan tepat waktu itu bisa jadi peluang kita untuk beramal jariyah juga yah.
    tepat waktu beribadah dan melakukan kebaikan lainnya, misalnya. yaakk, noted. :)

    BalasHapus
  4. Telat bikin agenda kita berantakan. Saya pernah ikut suatu acara, jadwalnya jam 9 pagi. Saya udah tergopoh2 datang sembari nenteng anak eh ternyata acaranya mulai jam 11. Bete banget, mau ninggalin acara kok sayang karena materinya bagus. Mau tetap di situ kok rasanya gimana gitu mana anak bawannya udah rewel. Dan yg kayak begini bukan 1 2 kali saya alami....

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.