TADZKIRAH

Sabtu, Oktober 06, 2018


Beberapa kali amarah ditampar dengan kesakitan dan kematian.

Kisah satu, yang saya ingat. Saat itu Ramadhan.
Seseorang, atau sekelompok orang, memberi saya ‘daftar dosa’. Ada enam. Eh, enam atau lima, ya? Pertama, bahwa saya memakai fasilitas perpus untuk mengajar, alias sering mengajar di perpus. Kedua, bahwa saya mengisi perpus dengan membeli buku-buku ‘aliran saya’. Ketiga, bahwa saya mengajak anak-anak duta perpus bentukan saya untuk ikut ‘aliran’ saya. Keempat, bahwa saya terlalu banyak bercerita dalam mengajar. Yang lainnya saya lupa.
Antara merasa geli dan marah.
Geli, sebab menyadari tuduhan itu mengada-ada dan berlebihan.

Pertama, perpus memang dipakai untuk aktivitas belajar, bukan? Bahkan dalam paradigma belajar yang baru, apa pun bisa dijadikan tempat untuk belajar. Bawah pohon, di lapangan, di pasar. Dianggap tidak sesuai konteks? Sekarang semua tergantung pada tujuan dan materi belajarnya. Dan gaya mengajar guru.

Kedua, mengisi buku dengan aliran saya. Berarti dia tidak kenal saya, kecuali hanya didasarkan pada prasangkanya saja. Berarti makna ‘aliran’ yang dia pahami kurang jelas. Selain itu, berarti dia kurang tahu apa saja isi perpustakaan sekolah.
Ada buku Pramoedya Ananta Toer. Saya jelas-jelas menolak ide sosialis yang diusungnya. Kalau baca satu dua bukunya yang mengambinghitamkan ulama, dengan penggambaran ulama yang negative, saya mangkel pol.
Ada buku Agatha Cristie. Kemana dan lewat mana sambungan antara saya dan Agatha Cristie? Kalau saya dikelompokkan dengannya karena urusan tulisan, aih, bangganya eikkeh!
Ada buku Andrea Hirata. Uh, sukanya saya dengan tulisannya.
Ada buku si Fulan.
Si Fulanah.
Si X. Y. Z.
Kalau dihubung-hubungkan, nama-nama penulis itu terhubung seperti garis ke sana kemari. Tak ada pola. Tak ada kepastian standar. Lalu dihubungkan dengan makna ‘aliran’ yang ambigu, semakin rancu.

Ketiga, bahwa anak-anak duta perpus diajak ke aliran saya. Kembalikan pada makna aliran yang standar ganda. Apa aliran itu? Jika cara beragama dan memahami agama adalah aliran, maka NU aliran. Muhammadyah aliran. LDII aliran. Persis juga aliran.
Lalu bagaimana menentukan mana yang dipilih? Itu hak personal, bukan?
Masalahnya adalah, kebenaran aliran itu didasarkan pada apa? Pada banyaknya pengikut? Pada keumuman pilihan? Atau pada pencarian kebenaran?
Bagaimana jika orang Muhammadyah menganggap aliran mereka paling benar? Bagi saya, sah-sah saja. Setiap orang berhak meyakini bahwa pilihan mereka benar.
Merasa benar dengan merasa benar sendiri itu berbeda. Merasa benar adalah keyakinan yang timbul saat memilih sesuatu.
Merasa benar sendiri, muncul dan nampak dalam proses diskusi, penerapan amal dalam merespon perbedaan , dan lain-lain.
Maka dilihatnya dari titik ini:
- Orang yang merasa benar sendiri, akan sulit menerima pendapat orang lain secara santun. Cenderung memaksakan kehendak
- Orang yang merasa benar sendiri, menyikapi perbedaan dengan sikap-sikap konfrontatif. Lalu akan muncul sikap merendahkan dan menghina ‘aliran’ lain.
- Dll

Jadi, kalau merasa dan meyakini ‘agamaku paling benar’, tidak ada masalah.
Yang masalah adalah ketika memaksakan kehendak dan merespon perbedaan dengan bermusuhan. Atau menjelek-jelekkan agama lain dan menghina tuhan-tuhan mereka.
Jadi, apa masalahnya dengan saya dan tuduhan aliran tersebut? Kurang paham. Kalau bisa sih, mau saya tanyakan ke si pelempar daftar dosa itu. Masalahnya, si pelempar daftar itu tak mau menyampaikan sendiri pada saya. Mereka memilih ‘pinjam tangan orang’ untuk menyampaikannya. Tidak punya keberanian untuk face to face secara langsung, tidak mau menampakkan muka. Lebih nyaman bersembunyi di belakang punggung orang.

Keempat, bahwa saya terlalu banyak bercerita saat mengajar.
Ha. Hihi. Ah. Astaghfirullah. Sungguh saya merasa tersanjung. Si pelempar daftar dosa itu demikian memikirkan saya, hingga urusan mengajar, di kelas, yang saya lakoni sendiri, yang berhadapan dengan saya juga anak-anak, perlu mereka mata-matai. Perlu mereka amati. Perlu dicermati. Perlu diintai.
Betapa istimewanya saya. Terima kasih, Bapak, Ibu. Secara tidak langsung sudah Anda tunjukkan perhatian yang luar biasa pada saya. Terima kasih atas sarannya tentang cara mengajar saya.

SO?
Saat itu saya marah. Kecewa. Tersusun kemudian rencana-rencana untuk klarifikasi dengan berhadapan langsung. Sungguh penasaran saya apa maunya. Saya menyusun strategi dan mencatat apa-apa yang perpus di sampain.
Dengan ledakan emosi yang meletu-letup.
Lalu…
Pukul setengah delapan pagi, ada telpon masuk. Dari Mas Budi. Mengabarkan bahwa Mas Man, kakak kami, ditemukan meninggal dunia di halaman rumahnya.
Kaki terasa lemas. Terkejut, takut, tak percaya. Mas Man yang sehat, dan tidak pernah tampak sakit. Mas Man yang baru saja pensiun dari tugasnya sebagai polisi.

Saya menunggu Mas Budi yang pulang dari Surabaya segera. Satu setengah jam kemudian, kami tiba di rumah duka. Jenazah almarhum disemayamkan di ruang tengah.
Ya Rabb. Betapa dekatnya kematian. Betapa pastinya ia akan datang.
Kemarahan saya menguap, tak bersisa. Saya bahkan malu dengan diri sendiri. Alangkah mudahnya dipalingkan dan disibukkan dengan hawa nafsu, sekedar sakit hati, sekedar kecewa, sekedar mangkel. Untuk apa berpayah-payah menikmati itu semua? Mengapa pula menganggap meladeni kemarahan itu dianggap penting dan perlu dilakukan? Tidakkah kematian menjadi nasihat yang meredam?
Sebab peristiwa kematian jauh lebih dahsyat daripada sekedar tersinggung, sekedar nelongso, sekedar kecewa, atau sekedar merasa tersudut.

Allah SWT mengirim tadzkirah sarat hikmah. Kisah ini saya simpan sebagai kenang-kenangan. One moment in time, kekonyolan daftar dosa pernah ada. Dibanding dengan daftar dosa yang sudah saya lakukan, enam daftar dosa itu tak ada apa-apanya. Apalagi dibanding kematian. So, just be strong. Berbenah, bertaubat. JAuh lebih penting daripada kemrungsung.

BErsambung, yes.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.