MENGAPA TIDAK DI DUNIA?

Sabtu, Maret 30, 2019


Kamis malam, 28 Maret 2019, seperti biasa, saya menjemput Mas Budi. Masih dengan pakaian batik, sepatu dan tas kerja komplit. Berangkat dari sekolah menuju Masjid Baitul Mukminin, atau Masjid Agung. Mas Budi masih sholat. Saya parkir di dekat gerbang, sembari menajamkan telinga.
Ada suara khas seorang ustadz yang saya kenal. Saya lho yang kenal beliau, beliau mah tidak kenal saya. Pernah mengisi acara IKADI dan saya suka dengan gaya ceramahnya. Ringan, menggelitik. Kalau tidak salah, dari pondok Tambak Beras, pondok di sebelah utara Jombang. Salah satu dari empat pondok besar.

Materi yang dibahas, kalau tidak salah dengar, seputar kebaikan atau pahala menyambung silaturahmi. Beliau mengutip hadist ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya (kata) rahmi diambil dari (nama Allah) ar-Rahman. Allah berkata, “Barangsiapa menyambungmu (rahmi/kerabat), Aku akan menyambungnya; dan barangsiapa memutuskanmu, Aku akan memutuskannya.” (HR. al-Bukhari).


Tapi bukan itu yang akan saya bahas di sini. Bapak Kyai menyatakan balasan menyambung silaturahmi itu besar. Nah, kemudian pembahasan sampai pada pahala. Pahala yang Allah janjikan itu akan terbuka di hari kiamat kelak. Segala amal kebaikan yang sudah dilakukan akan menampakkan kejutannya. Maka dari itu, sebab tak tampak mata dan tidak dirasakan langsung di dunia, berburu pahala menjadi tantangan tersendiri. Hanya orang beriman dan percaya pada hari akhir yang akan sungguh-sungguh mengejar pahala dengan memperbanyak amal.

“Mengapa pahala tidak diberikan di dunia? “
Ini menarik. Saya anteng menunggu penjelasannya. Ada dua hikmah mengapa pahala dibayarkan di akhirat.
Pertama, agar dunia tidak kehilangan dinamikanya.
“Bayangkanlah, kalau semua pahala diberikan di dunia, orang-orang tinggal duduk diam di rumah. Lakukan sholat, dzikir, maka hadiah amal sholihnya sudah dapat. Ibu-ibu mau masak bingung, tidak ada yang jualan elpiji. Penjual elpijinya berhenti berjualan, sibuk shalat di rumah.” Kurang lebih begitu kata Pak Kyai tersebut.
Saya terkekeh geli sendirian. Ish, semoga tidak ada yang melihat saat itu.
Dinamika hilang, berarti dunia akan berhenti bergerak. Kehidupan akan padam perlahan. Transaksi bisnis tidak diminati lagi. Tidak ada cita-cita tinggi dan mimpi besar dibangun. Sudah cukup dengan pahala amal sholih. Yang menyedihkan, siapa yang akan mengurusi sampah-sampah kita? Siapa yang akan berpayah-payah berjualan di pasar? Siapa yang akan menjadi satpam? Siapa yang akan menjadi dokter, guru, hakim, dan profesi lainnya? Siapa yang bersedia menjadi kuli membangun rumah dan gedung-gedung? Kalau saya tidak bisa antar anak sekolah, adakah ojek online yang bisa dikontak? Ah, membayangkannya saja menyedihkan. Kehidupan yang tidak ada dinamikanya tentu tidak seru. Seluruh isi dunia jadi orang baik. Kita tidak bertemu orang jutek yang menguji kesabaran. Tidak ada penipu yang menguji ketabahan. Tidak ada juga orang rakus yang melatih keyakinan. Tidak seru, bukan? Tidak asyik, ah. Sama tidak asyiknya dengan menonton film yang tidak punya tokoh antagonis. Alurnya akan datar, manis selalu, happy forever. Usaha film akan gulung tikar ditinggal penontonnya.
MasyaaAllah, satu hikmah saja sudah menambah wawasan. Mari pindah ke hikmah kedua.

Kedua, kata Pak Kyai, dunia terlalu sempit untuk menampung pahala dari Allah Subhanahu waTa’ala.
“Contoh sederhananya, pahala sholat Jumat. Satu kali sholat di masjid di shoff terdepan, Allah janjikan pahala seekor unta merah,” katanya.
Saya kembali terkekeh geli, sendirian. Aduh, refleks. Maaf.
“Kalau satu rumah ada satu lelaki, berapa ekor unta yang dia dapat dalam sebulan?”
Wait, wait. Di rumah saya ada dua lelaki. Anggap saja mereka berdua rajin datang awal dan dapat shoff terdepan. Sekali shalat Jumat, dua unta merah. Sebulan, delapan unta. Setahun? Dua tahun?
Hitung juga, berapa jumlah masjid dalam satu desa? Satu kecamatan? Satu kabupaten? Untuk pahala shalat jamaah saja, sudah berapa unta merah yang dibawa pulang? Saya tertawa lagi, membayangkan suasananya. Para lelaki akan bingung dengan kandang, makanan, dan pemeliharaannya. Bisa jadi tidak ada yang mau menyediakan jasa memelihara hewan sebagaimana biasanya menjelang Idul Adha. Riweuh dan kacau.

Itu baru shalat Jumat. Belum pahala lainnya. Dunia memang terlalu sempit, tidak bisa memuat berbagai pahala yang Allah janjikan bagi hambaNya. MasyaaAllah.
Maka pahala yang ghaib itu, adalah stimulus bagi umat manusia untuk berkompetisi. Ghaibnya adalah tantangan tersendiri bagi keteguhan, kesabaran, keyakinan dan kekuatan istiqomah. Dalam kompetisi yang jelas piala dan hadiahnya, kita bisa lihat bagaimana perjuangan peserta mengejar kemenangan. Rela berpeluh, berlatih dengan giat, bahkan berdarah-darah. Bagaimana dengan pahala yang Allah SWT janjikan akan diberikan di akhirat kelak? Apakah sama usaha dan kegigihan untuk meraihnya?
Itu sebab, percaya pada hari akhir masuk dalam rukun Iman. Hanya mukmin yang bisa meresapi kepercayaan terhadap hari akhir dengan cara yang benar.
Allahumma, masukkan kami dalam golongan orang-orang mukmin, aamiin.

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia
Rumah ABaTa, 30 MAret 2019, pukul 15.44 WIB


Note: Gambar dari https://pixabay.com/id/users/Clker-Free-Vector-Images-3736/?

1 komentar:

  1. jadi inget alm. Bapak pernah kutanya, "pak, kapan kiamat datang?". Jawab beliau, "kapan, ya.. Hanya Allah SWT yg tahu."
    Panjang lebar beliau jelaskan, kalau manusia tahu kapan kiamat akan datang, pasti dunia jadi sepi, karena gak ada yg mau bekerja. Ibadaaaahhh thok isine.

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.