AYAH BUNDA ISTIMEWA

Jumat, September 06, 2019
"Derita apa yang sanggup kau tanggung?" Mark Manson

Sabtu, 27 Juli 2019.
Saya dan Mas Budi berbagi tugas.
Saya akan membayar pajak motor ke kantor pendapatan daerah, Mas Budi akan hadiri pelatihan berwudhu dan sholat di masjid Ar Roudhoh, Tugu Jombang. Acara dimulai pukul tujuh. Mas Budi berangkat menjelang pukul delapan.
Pukul delapan Ustadz Amin datang. Beliau pelatih qiro'ah Hafidz. Saya menunda keberangkatan membayar pajak hingga latihan qiro'ah Hafidz selesai.
Sekitar pukul setengah sembilan pagi, saya membuka group. Ternyata pada pukul tujuh tiga puluh ada yang mengabari berita duka. Bu Nikmah dan Zahra, isteri dan puteri Pak Fanani (teman kami), kecelakaan. Zahra meninggal dunia, Bu Nikmah luka ringan.

Innalillahi wa inna Ilaihi raji'un.

Saya kontak teman yang mengabari di group, hendak mencari informasi lebih lanjut mengenai kecelakaan tersebut.
Bu Nikmah berboncengan dengan Zahra, akan berangkat sekolah. Di salah satu perempatan, tak jauh dari rumah mereka, terjadilah insiden itu. Pengendara di depan Bu Nikmah mengerem mendadak, Bu Nikmah pun terpaksa mengerem mendadak pula. Mereka berdua terjatuh. Zahra terlempar ke kanan, masuk ke bawah kolong truk yang melaju dari depan. Ban belakang truk tersebut menjadi wasilah takdirNya.
Robbana, ya Allah. Laa haula walaa quwwata illa billah.
Kalut hati mendengar kabar demikian. Gemetar badan, dan mengalir air mata. Tragisnya, ya Kariim. Beratnya beban kepedihan yang harus ditanggung Bu Nikmah, menyaksikan putri bungsunya menghadapi takdir dengan jalan demikian. Beratnya hantaman kesedihan yang bergumpal dengan kehilangan cepat dan tak terduga. Ya Allah, ya Rabbana... Laa haula walaa quwwata illa billah.
Beberapa waktu saya hanya bisa terdiam. Terisak sendirian, diterkam bela sungkawa yang dalam. Sebagai ibu, saya tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Bu Nikmah menjalaninya.

Saya WA mas Budi, mengajaknya takziyah. Rumah duka di kecamatan Megaluh, desa Sidomulyo.
"Jemput di Raudhoh, bawa helm ya," perintah Mas Budi. Saya meluncur. Di group, ada sahabat yang menemani Pak Fanani di rumah sakit. Dikirimi kami gambar beliau, tengah duduk menunggu. MasyaaAllah, luar biasa tabah.
Kami sampai di rumah duka. Jenazah belum tiba.
"Masih disucikan di RSUD, habis ini meluncur," demikian informasi pukul 09.28.
Saya masuk, dan mendapati bu Nikmah di ruang tengah.
Bu Nikmah memeluk erat sekali, menangis terisak di bahu. Saya tercekat, tak tahu harus bicara apa. Tak akan cukup penghiburan kami untuk mengurai seluruh perasaannya. Hanya Allah SWT yang menjadi sandaran kehilangan.
"InsyaaAllah bisa shabar, insyaaAllah bisa kuat, Allah berikan cobaan sesuai kemampuan, laa hawla walaa quwwata illa billah," bisik saya. Entahlah, saya tidak tahu bagaimana efek kalimat itu. Bu Nikmah ustadzah Al Qur'an. Beliau diamanahi pengajar ekskul tahfidz. InsyaaAllah Al Quran adalah sahabat sehari-harinya. Sahabat Al Quran insyaaAllah orang-orang tangguh dan kuat.

Saya bersimpuh di depannya. Bergiliran para Ibu memberikan ucapan belasungkawa. Tak sedikit diantara mereka yang menangis.
Bu Nikmah duduk diam. Bibirnya bergerak-gerak, berdzikir. Sesekali menangis, hampir tanpa suara.
MasyaaAllah. Sungguh tabah. Sungguh shabar. Tikaman kehilangan tidak membuat beliau lupa dan kalap. Tak ada kontrol diri yang lepas. Terkendali, tenang. Saya kagum, sekaligus khawatir. Khawatir jika kesedihan yang ditahannya sekuat tenaga itu berefek buruk baginya.
"Jika ingin menangis, menangislah. Jangan ditahan.... Menangislah," saya menyentuh kakinya. Bu Nikmah memandang lekat mata saya, lalu air matanya meluncur. Tetap tidak ada suara berlebihan, apalagi ratapan atau raungan.
Pengalaman takziyah, saya melihat rupa-rupa respon terhadap kesedihan. Ada yang meraung-raung hingga berguling-guling, ada yang berteriak dan pingsan berkali-kali.

"Keimanan pada takdir membuat kita menyikapi duka dengan tenang," kalimat itu pernah disampaikan teman saya, seorang aktivis dakwah.
Saya sepakat dengan itu.
Dan kini, saya bertemu bukti nyata.
Pak Fanani dan Bu Nikmah adalah orang istimewa, yang menanggung derita dan kepedihan istimewa. Allah SWT Maha Tahu kadar kekuatan mereka berdua, dan ketetapan Allah SWT tidak pernah salah.
"Saya ditelepon pagi tadi, suara Pak Fanani lemah dan lirih. Kami mendatangi TKP, mereka berdua masih ada di situ. Pak Fanani membersihkan ceceran di jalan menggunakan sapu. Benar-benar tatag ," itu cerita Bu Indah.
"Bu Nikmah sempat mendekap tubuh Zahra," katanya lagi.
Ya ALlah, speechless. Jika saya yang mengalami, rasanya tidak akan sekuat itu.
Mungkin saya akan pingsan berulang kali, menangis dengan suara, memeluk Mas Budi atau siapa pun erat-erat.

Zahra kecil, menurut penuturan ustadzahnya, adalah gadis periang. Dia suka bercerita. Di akhir tahun ajaran lalu, saat naik kelas dua, Zahra mendapat penghargaan sebagai Bintang Al Quran karena memiliki hafalan terbanyak, yaitu dua juz. Hari Jumat Zahra muraja'ah sekaligus setoran.


Kami ikut menyolatkan pada kelompok pertama. Imamnya adalah Pak Junaidi, shahabat Pak Fanani. Doa dilantunkan dengan suara tertahan, para jamaah berurai air mata.
Bu Nikmah meminta melihat jenazah. Hanya dibuka kain batik penutupnya. Beliau bersandar pada bahu seorang ustadzah. Tetap dengan ketenangan yang luar biasa, tanpa tangisan berlebihan.

Pak Fanani dan Bu Nikmah sungguh istimewa, masyaaAllah.
Allah SWT berikan cobaan, dan mereka menyikapinya dengan isyarat keimanan yang kokoh.
Zahra cantik dan sholihat telah berpulang dengan cara yang digariskanNya. Cara yang menyisakan luka dalam karena tragis. Namun, insyaaAllah, luka itu akan pudar dengan siraman iman. Qur'an yang menjadi shahabat akan menjadi hiburan dan penawar. Mukjizat abadi itu adalah pelipur lara terbaik.
MasyaaAllah. Ketahanan menanggung kesedihan itu semoga menjadi wasilah ampunan, ridho dan kasih sayang Allah SWT. Aamiin.


Saya ikut Mas Budi ke makam. Melihat dari jarak yang agak jauh. Bibi Mbak Zahra tiba bersama putrinya.
"Mbak Zahra tidur di mana?" Tanya si gadis kecil paa Umminya.
"Itu, sebelah sana,"Umminya menjawab. Raut mukanya sama tenang, tabah dan terkendali. Mereka keluarga istimewa, insyaaAllah.

Beberapa hari setelah itu, saya membaca story WA pak Fanani. Saya mengcapturenya.
Speechless lagi. Allah SWT sungguh Maha Tahu kekuatan hamba-hambaNya menanggung kepedihan.



Note:
JAzakallah khoir kepada Pak Fanani yang izinkan kami mengupload tulisan ini. Telah sebulan lebih tersimpan di draf blog; tak punya keberanian untuk mempublikasikannya. Semoga tulisan ini menjadi ibarh khusus di hati shahabat semuanya. Tentang ketabahan dan keshabaran menanggung kepedihan dan kehilangan.

Mengenang Zahra, dan Ayah Bundanya yang kokoh.
Jombang, 2 Agustus 2019.

1 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.