MENOLAK MALU (POSITIF Bagian 2)

Kamis, Februari 04, 2021

  


  "Yang berat dari Covid ini adalah tekanan psikisnya," kata teman, sebut saja Mawar,  yang terpapar di bulan September 2020. Eh ganti, jangan Mawar. Kok jadi nama korban di berita kriminal. Beri nama Astuti saja. 

    Saya hanya mengangguk-angguk. Saat itu, kami para guru ASN harus mengikuti tes rapid antibodi. Kami dikumpulkan di satu sekolah, antri di samping dan belakang  aula. Ketika kami tiba di sana, kursi sudah dijajar berjarak satu meter. Problemnya adalah: jumlah guru ASN SMA/SMK se-Kabupaten tidak cukup tertampung dengan cara duduk model protokol demikian. Semakin siang, jumlah guru membludak. Kursi maju, mepet, berdesak-desakan. Tak ada lagi physical distancing. 

    "Ambyaaaaaar! Ngene kok disuruh pshyiscal distancing! Nggapleki!" omel seorang ibu guru. Omelannya menggelikan, dan benar adanya. Panitia gagal mengantisipasi jumlah guru. Ditambah lagi, kami orang Endonesah aseli. Tak ada sistem mengantri, kami ingin  cepat-cepat masuk ke deretan  samping aula. Di bagian ini, kursi lebih tertata. Kenapa ingin buru-buru? Alasan utama, panaaaas! Tak ada terop di belakang aula. Jadi seperti dijemur.

    Panas itu alasan saja, sih. Kalau memang mental tertib sudah dimiliki, menahan panas sedikit mestinya tak apa. 

    Dari sekolah kami, ada 5 orang guru yang reaktif. Dua diantaranya sahabat dekat. Mereka menjalani tes SWAB. Hasilnya, 3 diantaranya positif. Kesemuanya tanpa gejala, alias OTG.

    "Aku gak mau dijemput ambulans," kata Astuti melalui WA. 

    "Lho, kan enak, ada sirinenya. Nguuiiing, nguuuiiiing, nguuuiiing... Sebelum naik, pose dulu," goda saya. Dia suka sekali bercanda, kalau bicara losss, khas Surabaya.

    "Sempel," tulisnya. Bhahaha.

    "Aku takut petugas puskesmas datang dengan baju APD lengkap," katanya lagi.

    "Selfie dulu sama mereka, kenang-kenangan!" 

    "Sempel!"

    Beu, saya disempel-sempel-in. Mengertikah Anda apa itu sempel? Ituu, yang biasanya dicapkan di bagian tanda tangan pada surat. Tak sah surat menyurat tanpa ada sempelnya.

**

    Merasa  malu terpapar Covid itu normal. Wajar. Masyarakat masih banyak yang bereaksi berlebihan. Mengucilkan, mencibir, bahkan mengusir. Sempat ramai di kota saya, seorang tokoh yang diusir oleh sebagian masyarakat di lingkungan tempat dia isolasi mandiri. 

    Jika masyarakat sekeliling mengerti sekaligus mensupport, sungguh beruntung. Saya termasuk yang beruntung demikian. Beberapa tetangga mengirim makanan dengan menggantungnya di pagar. Kami menerimanya dengan suka cita. Sebab keterbatasan keluar rumah ini memang mengganggu dan potensial  memunculkan rasa  jenuh, nelongso. 

    Tidakkah merasa rendah diri diberi bahan atau makanan dengan cara  demikian?   Kami tidak. Kami memahami itulah standar amannya. Walau bisa saja membuka pagar, dan menyimpan kiriman di teras. Tapi gerbang rumah itu kami sentuh, sehingga bisa jadi ada virus yang menempel di sana. Berhati-hati lebih baik. 

     Saya sendiri tidak selalu berlaku demikian pada teman-teman yang terpapar. Pernah menyimpan beberapa hantaran di meja tamu; sekadar bertemu dan mengobrol dengan tuan rumah sejenak. Pernah juga mengantarkan belanjaan ke penderita yang titip, menunggunya membuka pintu rumah, lalu menyimpan tas belanja di kursi. 

    Yang paling penting, ketika menjadi penderita, atau ada anggota keluarga yang terpapar dan mau tidak mau harus ikut isolasi mandiri, adalah penerimaan. Kelapangan dada mengikhlaskan  semuanya. Kesadaran menjalani dengan hati yang luas, menyisihkan pertanyaan 'WHY ME?'. Lebih fokus pada penyembuhan, pada bagaimana menaikkan  dan mempertahankan level kebahagiaan. 

    "Aku kaget Bunda mengumumkan di grup," kata seseorang. Saya menolak merasa malu, minder atau nelongso berkepanjangan. Covid ini penyakit, bisa menimpa siapa saja. Gak pilih-pilih orang. Ada dosen PTN di Jatim yang sering menasihati mahasiswanya agar waspada dan berhati-hati. Beliau terpapar lalu wafat. Ustaz Ali Jaber almarhum juga aktif mengedukasi masyarakat. 

    Menjaga diri dari terjangkit wabah ini bagian dari ikhtiar. Terpapar tidaknya, serahkan pada Allah Subhanahu waTa'ala. Terkena, ya tidak bisa mengelak. Rasa malu dan minder hanya akan menambah tekanan psikis, mengurangi rasa bahagia. 

    Bagaimana kasak kusuk yang mungkin terjadi? Ah, tak apa. Tak mau kami memusingkan itu. Saya lapor Bu RT, mengumumkan di grup dasa wisma, sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Mereka perlu tahu, karena bisa jadi kami pernah berinteraksi sebelum ada kepastian positif. 

    "Aku berjalan dengan menunduk, tak berani mengangkat kepala. Di kepalaku ada dua cap covid, satu Bapak wafat dan satunya Ibuku, " curhat sahabat, yang ayahnya wafat terpapar covid dan Ibunya sempat dirawat lebih dari dua pekan.

   "Jika melihat data kematian covid, aku berpikir: ada Bapakku di sana. Di data penderita yang sembuh, ada ibuku. Sesekali muncul pertanyaan, kenapa Bapakku? Kenapa kami? Aku butuh waktu untuk menerima ini," katanya lagi.

    It takes time, tentu. Dukungan dan sokongan moral sekeliling sangat bermanfaat. Kesedihan, kehilangan yang menghimpit, harus diatasi bersamaan dengan rasa malu yang mendera. 

    "Saat susah begini, tampak siapa teman sejati," begitu katanya. Akan ditemui satu, dua orang yang menampakkan reaksi berlebihan dan mengganggu perasaan.

    "Jika sudah kena sendiri, mereka  baru akan menyadari bagaimana beratnya," ini kata Astuti.

    "Ada tetangga yang terpapar setelahku. Aku kirim makanan padanya. Dia menyesal, katanya, karena ketika aku dinyatakan  positif, dia tak acuh, menjauh. Dia getun tidak empati.," tambahnya. 

     Kepedulian itu obat imun yang manjur, saya setuju dengan ini. Terbayang seseorang yang menarik kursinya menjauh dan memakai maskernya buru-buru ketika saya mendekat. Saya tahu, tapi tidak peduli. Tak apa, dia sedang ketakutan, mungkin. Mungkin  karena tidak well-informed, atau mungkin juga sengaja melakukan untuk mengintimidasi. I don't care. Eh, suudzan. Astaghfirullah..

    Sempat muncul  lintasan usil dalam kepala: bagaimana jika dicolek saja, lebih  mendekat,   mepet-mepet  sama dia! Sekalian dikagetin! Bhehehe

**

    Intinya, jika terpapar (semoga tidak, aamiin), stay cool. Konsentrasi penuh pada penyembuhan, pengobatan intensif. Ikuti nasihat dokter. Makan minum yang banyak, istirahat. Banyak berdoa, kencangkan salatnya. Minta pada ALlah Subhanahu wa Ta'ala agar limpahi kekuatan dan kesabaran melewai semuanya dengan sikap terbaik.

    Netijen jangan digape. Kasak kusuk jangan diambil hati. Something happens by reason.

    Jika ada saudara, kerabat, tetangga atau teman,  ada yang terpapar, bantulah sebisanya. Doakan diam-diam semoga segera diangkat penyakit dan jadi jalan yang mengundang ridho dan cintaNya. Kebaikan empatimu akan mengundang keberkahan hidupmu. InsyaaAllah.


 Note: foto dari Pixabay


Jombang, 4 Feb 2021; 13.25 WIB

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia. 

2 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.