IA INGIN SEGERA PULANG
Sofi memasuki gate 86. Bergegas melepas sandal, memasukkan ke dalam tas khusus yang sudah diberi pihak travel. Ana menjajari langkahnya. Mereka menyusuri Masjidil Haram menuju lantai dua.
Tiga puluh menit lagi menjelang adzan Dhuhur. Sudah terlambat jika ingin mendapatkan tempat di depan Ka’bah, pasti sudah penuh. Sofi sungguh ingin merasakan shalat langsung di depan Ka’bah. Bukan di bagian dalam masjid, sehingga hanya tampak Ka’bah dari kejauhan saja..
Ini hari kedelapan
perjalanan umroh. Empat hari pertama dilewati di Madinah. Sofi, Ana, Farhan, Hanan dan Sarman sama-sama diberangkatkan oleh lembaga
zakat tempat mereka bekerja. Umroh gratis, dibiayai oleh salah satu donatur.
Para lelaki berangkat bersama isteri dengan biaya tambahan sendiri. Farhan bersama Maryam, Hanan
dan Nurul, dan Sarman dan Habibah. Ada tiga puluh orang yang berangkat bersama mereka melalui travel
ini.
Sofi tergagap ketika Ana menggamit lengannya. Ana menunjuk satu bagian
di sisi kanan, dekat pagar batas. Sebagian besar yang ada di tempat salat bagian ini berwajah Turki.
Beberapa seperti dari Bangladesh atau India.
“Di sebelah sana, insyaaAllah cukup untuk kita berdua.”
Sofi mengangguk. Hati dan pikirannya sedang risau. Terserah Ana saja, pasrah.
Sofi mengangguk ke perempuan berwajah India di dekatnya. Perempuan itu mengangguk juga sambil tersenyum. Sofi salat sunnah, dan duduk diam menunggu iqomah. Bibirnya melantunkan dzikir, sementara pikirannya melompat-lompat.
Perjalanan ini membuat Sofi mengenal para isteri rekan kerjanya lebih dekat. Masing-masing punya ciri khasnya sendiri. Yang paling ‘fenomenal’ adalah Farhan dan Maryam. Farhan yang penyayang, Maryam yang manja. Romantisnya mereka selama perjalanan menjadi perbincangan jamaah. Kemana-mana selalu bergandengan. Farhan merangkul pundak Maryam, sedang Maryam melingkarkan tangannya ke pinggang Farhan. Tubuh Maryam yang kecil seperti tenggelam dalam rengkuhan Farhan.
Sofi jengah dengan pemandangan itu. Kemesraan baginya tidak biasa ditonjolkan. Mas Gatot, suami Sofi, tidak pernah seekspresif itu. Jika berjalan kaki berdua, tak ada istilah bergandengan. Malu, katanya.
Ana membuka gawai, membaca pesan di group WA.
“Pak Hanan dan Pak Farhan di dekat Hijr Ismali. Bu Maryam dan Bu Nurul pasti sekitar sana juga. Beruntung mereka, bisa melihat Ka’bah langsung,” Bu Ana menunjuk percakapan yang dimaksud. Sofi tersenyum.
“Nanti Ashar, bagaimana jika bareng mereka?” Ana memandang wajah Sofi.
“Kita lihat nanti saja,” pendek jawaban Sofi. Sejak awal para pasangan suami isteri itu lebih
sering berkegiatan sendiri. Hanya saat prosesi umroh dan tour keliling masjid Nabawi saja
mereka bergabung.
Sofi semakin resah. Ingin mengambil mushaf, namun hatinya enggan. Ia mulai beristighfar. Sungguh merugi jika momen umroh dikalahkan oleh galau yang tak perlu. Tapi ricuh hati sungguh tak tertahankan. Wajah lelaki itu membayang lekat.
Semua bermula setahun lalu. Saat Sofi mulai menyimpan rasa kagum. Lelaki
itu, ketua departemen pemberdayaan,
dikenal pendiam, berbicara seadanya, dan menjaga jarak dengan perempuan.
Sofi mengamati diam-diam. Dia punya
kesempatan berinteraksi lebih ketika dipindah ke departemen yang sama. Lelaki cuek dan dingin itu ternyata menyimpan
kehangatan. Sofi mengetahui saat bersama-sama mengunjungi panti asuhan bayi dan
balita.
Dia menggendong
bayi-bayi tanpa canggung. Ada satu
balita yang memegang kain celananya, membuntuti ke manapun lelaki
itu pergi. Namanya Krisna.
Lelaki itu mendudukkan
Krisna di pangkuannya. Anak-anak lain ikut duduk di sekeliling. Mereka sama-sama mendengarkan kisah yang
dibacakan Ana saat itu. Sofi terpesona pada bagaimana lelaki itu menyentuh
kepala anak-anak, melingkarkan lengannya pada bahu satu dua anak di dekatnya.
Tetap tidak banyak bicara, tapi bahasa tubuhnya memancarkan kasih sayang.
Sofi jatuh cinta?
Rasanya memang begitu. Ini kali kedua dia jatuh cinta dengan rekan sekantor.
Yang pertama terjadi tiga tahun lalu.
Namanya Wira.
Bendahara lembaga yang kebapakan dan tenang. Rasa suka ini bersambut. Wira
mengiriminya bunga, puisi, dan pesan-pesan romantis. Mereka saling memberi
perhatian lewat WA. Hingga suatu waktu, Mas Gatot membaca pesan yang lupa
dihapus. Sofi berkilah bahwa Wira yang
memulai, WIra yang mendekatinya. Ia
bersikeras tidak punya perasaan apa-apa.
Mas Gatot bicara empat mata
dengan Wira. Belakangan Sofi baru tahu bahwa
Wira menutupi kesalahan Sofi. Ia
menyatakan dirinyalah yang menggoda Sofi sejak semula.
Mas Gatot percaya. Sofi
lega, sementara Wira menjauh dan sangat menghindari komunikasi dengannya. Entah
apa yang dirasakan Wira, Sofi tidak lagi peduli. Beruntung Mas Gatot tidak melaporkan kejadian
ini pada direktur.
Oleh sebab itu, ketika
lembaga memberangkatkannya umroh, Sofi terkejut. Kalau saja direktur tahu yang sebenarnya, belum tentu Sofi dipilih.
“Jaga kesehatan, fokus
ibadah,” itu pesan Mas Gatot saat berangkat. Fokus ibadah? Sofi justru
tersaruk-saruk menata hati. Bayang-bayang cintanya pada lelaki itu memporandakan
perasaan.
Enam bulan lalu Sofi nekat memberikan sinyal-sinyal halus, menggoda secara samar. Tak disangka, lelaki itu menangkap sinyalnya. Mereka bertukar perhatian lewat WA, persis yang dilakukan Sofi pada Wira. Bedanya adalah, lelaki ini tidak seekspresif Wira. Tidak menghujani dengan apapun. Hanya perhatian-perhatian kecil sehari-hari. Seputar apakah sudah makan, bagaimana pekerjaan, pujian tentang manisnya Sofi dengan gamis biru muda, misalnya. Atau sanjungan pada mancung hidungnya. Ah, Sofi menjelma sebagai putri cantik dalam dongeng. Ia mendapatkan cinta lelaki yang sejak lama dipujanya diam-diam .
Sayang, hubungan
khusus itu hanya berjalan tiga bulan
saja. Akhirnya lelaki itu mundur teratur, merasa bersalah karena mengkhianati
isteri. Sofi tidak hendak menyudahi, sebenarnya. Bukankah isterinya tidak tahu?
Bukankah Mas Gatot juga tidak tahu? Bukankah
mereka hanya TTM, teman tapi mesra? Semua aman, jadi tidak ada alasan
mengakhiri. Apalagi Sofi menyukai
kehangatan sederhana lelaki itu. Kasih sayangnya. Perhatiannya.
Tapi tetap saja lelaki itu memutuskan berakhir. Benar-benar selesai.
Panggilannya pada Sofi sudah kembali formal. Tak ada Cantik, Say, atau Dik. Sofi yang kelimpungan, mencoba
mencuri hati lelaki itu kembali. Sayang, dia tetap kukuh dengan keputusannya. Sofi patah hati.
Iqomah terdengar
lantang. Air mata Sofi mengalir. Jiwanya
terasa kerdil. Ia kini berdiri di Masjidil Haram, melihat Ka’bah secara
langsung, namun hatinya tak bisa khusyuk. Mengapa gelisah ini tak jua berlalu? Badan Sofi
bergetar hebat saat sujud. Ia memohon pertolongan Sang Khaliq. Leraikan kesah. Jauhkan
resah. Padamkan bayang cinta tak halal ini.
Ana menyentuh bahunya.
Sofi bangkit dari sujud dan mendapati
tatapan heran Ana. Sofi tidak
ambil pusing, ia membereskan sajadah dan melipat mukena. Berdua mereka menyusuri Masjidil Haram dalam
diam.
“Bu Ana!” Sebuah
panggilan terdengar dari arah kiri. Farhan dan Hanan, beserta isteri
masing-masing berjalan ke arah mereka.
Hanan dan Nurul
menjajari langkah Ana dan Sofi. Sementara
Maryam berjalan di depan, di sisi Farhan.
“Nanti malam tahajud
bersama, ya?” Nurul bertanya.
“Berdasar jadwal sih
begitu,” Ana yang menjawab. Sofi menanggapi dengan senyum saja. Farhan dan
Maryam melangkah sambil bercakap-cakap. Tangan Farhan memeluk pundak Maryam,
sementara kepala Maryam bersandar pada bahu Farhan. Beberapa orang tampak
melirik kepada mereka.
Jika umroh dengan Mas
Gatot, apakah akan semesra itu? Mas
Gatot bukan lelaki romantis. Lurus saja. Kurang bisa mengungkapkan cintanya
secara verbal. Sekian tahun menikah, Sofi paham dia harus menerima
ketidakromantisan Mas Gatot. Toh kasih sayangnya sudah dibuktikan lewat
tanggung jawab yang utuh sebagai suami dan ayah. Tapi mengapa Sofi tak kunjung
merasa cukup?
Esok hari, tawaf wada
dilaksanakan pukul sepuluh pagi. Saat tahallul, Abah Yai menggunting rambut
jamaah lelaki. Lalu para suami menggunting rambut isteri masing-masing. Nurul
mencium tangan Hanan, dan mereka berpelukan erat. Habibah juga mencium tangan
suaminya, tanpa pelukan. Mereka saling tersenyum malu-malu. Farhan mencium kening Maryam lama, lalu
memegang wajah Maryam dengan kedua tangannya. Memandang Maryam yang tersenyum,
mencium kedua pipi. Maryam membalas mencium kening dan pipi Farhan. Mereka
menyudahi adegan mesra itu dengan
pelukan.
Ketiga perempuan itu
menuju tempat Sofi duduk bersama jamaah putri lainnya. Sofi bangkit mendekati Nurul untuk memotong rambutnya. Setelah prosesi tahallul, mereka berjalan
bersama menuju hotel. Ana mengajak
berhenti dulu untuk mengambil air Zamzam. Ana membungkuk mengisi botolnya.
Seseorang menepuk bahu.
Sofi terkejut mendapati Maryam sudah berada di depannya. Farhan berjarak dua
meter di sebelah kanan, memunggungi mereka berdua.
Maryam mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Sofi menerima dengan canggung.
“Maafkan kami. Maafkan
suamiku. Tolong jangan dekati dia lagi,”
bisik Maryam ha;us di telinganya.
Sofi membeku. Hatinya
limbung. Dia tidak mampu mengatakan
apa-apa saat Maryam menepuk lengannya, memandang tepat di manik mata. Tatapan Maryam lembut sekaligus
mengintimidasi. Melucuti keberanian dan kepercayaan diri Sofi.
“Jangan sekali-sekali
mencoba kembali,” Maryam berkata lirih. Tepat saat itu Ana berbalik. Maryam
tersenyum, menyalami dan memeluk Ana dengan hangat.
“Kami duluan,” Maryam
melambai. Ia melingkarkan tangannya ke pinggang Farhan. Berdua mereka berjalan
meninggalkan Ana dan Sofi.
“Romantis,” gumam Ana.
Sofi membuang muka. Air mata menggenang di kelopak. Kecamuk kecewa, malu, dan sedih campur aduk dalam
dadanya. Sofi merasa
kalah dan terhina. Tiba-tiba ia rindu
Mas Gatot. Rindu pelukan melindungi. Rindu tatapan penuh maaf. Ia ingin segera pulang.
Suka sekali
BalasHapus