IA INGIN SEGERA PULANG

Sabtu, Oktober 09, 2021

 

                Sofi memasuki  gate 86. Bergegas melepas sandal, memasukkan ke dalam tas khusus yang sudah diberi pihak travel. Ana menjajari langkahnya. Mereka menyusuri  Masjidil  Haram menuju lantai dua.

                Tiga puluh menit lagi menjelang adzan Dhuhur. Sudah terlambat jika ingin mendapatkan tempat di depan Ka’bah, pasti sudah penuh. Sofi sungguh ingin merasakan shalat langsung di depan Ka’bah. Bukan di bagian dalam masjid, sehingga hanya tampak Ka’bah dari kejauhan saja..




Ini hari kedelapan perjalanan umroh. Empat hari pertama dilewati di Madinah.  Sofi, Ana, Farhan, Hanan dan Sarman sama-sama diberangkatkan oleh lembaga zakat tempat mereka bekerja. Umroh gratis, dibiayai oleh salah satu donatur. Para lelaki berangkat bersama isteri dengan biaya  tambahan sendiri. Farhan bersama Maryam, Hanan dan Nurul, dan  Sarman dan Habibah. Ada tiga puluh orang  yang berangkat bersama mereka melalui travel ini.

Sofi tergagap ketika Ana menggamit lengannya. Ana menunjuk satu bagian di sisi kanan, dekat pagar batas. Sebagian besar yang ada di tempat salat bagian ini berwajah Turki. Beberapa seperti dari Bangladesh atau India.

“Di sebelah sana, insyaaAllah cukup untuk kita berdua.”

Sofi mengangguk. Hati dan pikirannya sedang  risau. Terserah Ana saja, pasrah.

Sofi mengangguk ke perempuan berwajah India di dekatnya.  Perempuan itu mengangguk juga sambil tersenyum.  Sofi salat sunnah, dan duduk diam menunggu iqomah. Bibirnya melantunkan dzikir, sementara pikirannya melompat-lompat.

Perjalanan ini membuat Sofi mengenal para isteri rekan kerjanya lebih dekat. Masing-masing punya ciri khasnya sendiri.  Yang paling ‘fenomenal’ adalah Farhan dan Maryam. Farhan yang penyayang, Maryam yang manja. Romantisnya mereka selama perjalanan menjadi perbincangan jamaah. Kemana-mana selalu bergandengan. Farhan merangkul pundak Maryam,  sedang Maryam melingkarkan tangannya ke pinggang Farhan. Tubuh Maryam yang kecil seperti tenggelam dalam rengkuhan Farhan.

Sofi jengah dengan pemandangan itu. Kemesraan baginya tidak biasa  ditonjolkan.  Mas Gatot, suami Sofi, tidak pernah seekspresif itu. Jika berjalan kaki berdua, tak ada istilah bergandengan. Malu, katanya.

Ana membuka gawai, membaca pesan di group WA.

“Pak Hanan dan Pak Farhan di dekat Hijr Ismali. Bu Maryam dan Bu Nurul pasti sekitar  sana juga. Beruntung mereka, bisa melihat Ka’bah langsung,” Bu Ana menunjuk percakapan yang dimaksud. Sofi tersenyum.

“Nanti Ashar, bagaimana jika  bareng mereka?” Ana memandang wajah Sofi.

“Kita lihat nanti saja,” pendek jawaban Sofi. Sejak awal para pasangan suami isteri itu lebih sering berkegiatan sendiri. Hanya saat prosesi umroh dan tour keliling masjid Nabawi saja mereka bergabung.

Sofi semakin resah. Ingin mengambil mushaf, namun hatinya enggan. Ia mulai beristighfar. Sungguh merugi jika momen umroh  dikalahkan oleh galau yang tak perlu.  Tapi ricuh hati  sungguh tak tertahankan. Wajah lelaki itu membayang lekat.

Semua bermula  setahun   lalu. Saat Sofi mulai menyimpan rasa kagum. Lelaki itu, ketua departemen pemberdayaan,  dikenal pendiam, berbicara seadanya, dan menjaga jarak dengan perempuan. Sofi mengamati diam-diam.  Dia punya kesempatan berinteraksi lebih ketika dipindah ke departemen yang sama.  Lelaki cuek dan dingin itu ternyata menyimpan kehangatan. Sofi mengetahui saat bersama-sama mengunjungi panti asuhan bayi dan balita.

Dia menggendong bayi-bayi  tanpa canggung. Ada satu balita  yang memegang  kain celananya, membuntuti ke manapun lelaki itu pergi. Namanya Krisna.  

Lelaki itu mendudukkan Krisna di pangkuannya. Anak-anak lain ikut duduk di sekeliling.  Mereka sama-sama mendengarkan kisah yang dibacakan Ana saat itu. Sofi terpesona pada bagaimana lelaki itu menyentuh kepala anak-anak, melingkarkan lengannya pada bahu satu dua anak di dekatnya. Tetap tidak banyak bicara, tapi bahasa tubuhnya memancarkan kasih sayang.

Sofi jatuh cinta? Rasanya memang begitu. Ini kali kedua dia jatuh cinta dengan rekan sekantor. Yang pertama terjadi tiga  tahun lalu.

Namanya Wira. Bendahara lembaga yang kebapakan dan tenang. Rasa suka ini bersambut. Wira mengiriminya bunga, puisi, dan pesan-pesan romantis. Mereka saling memberi perhatian lewat WA. Hingga suatu waktu, Mas Gatot membaca pesan yang lupa dihapus.  Sofi berkilah bahwa Wira yang memulai, WIra yang mendekatinya. Ia  bersikeras tidak punya perasaan apa-apa.  Mas Gatot  bicara empat mata dengan Wira. Belakangan Sofi baru tahu bahwa  Wira  menutupi kesalahan Sofi. Ia menyatakan dirinyalah yang menggoda Sofi sejak semula.

Mas Gatot percaya. Sofi lega, sementara Wira menjauh dan sangat menghindari komunikasi dengannya. Entah apa yang dirasakan Wira, Sofi tidak lagi peduli.  Beruntung Mas Gatot tidak melaporkan kejadian ini pada direktur.

Oleh sebab itu, ketika lembaga memberangkatkannya umroh, Sofi terkejut. Kalau saja direktur tahu  yang sebenarnya, belum tentu Sofi dipilih.

“Jaga kesehatan, fokus ibadah,” itu pesan Mas Gatot saat berangkat. Fokus ibadah? Sofi justru tersaruk-saruk menata hati. Bayang-bayang cintanya pada lelaki itu memporandakan perasaan.

 Enam bulan lalu  Sofi nekat memberikan sinyal-sinyal halus, menggoda secara samar. Tak disangka, lelaki itu menangkap sinyalnya.  Mereka bertukar perhatian lewat WA, persis yang dilakukan Sofi pada Wira. Bedanya adalah, lelaki ini tidak seekspresif Wira. Tidak menghujani dengan apapun. Hanya perhatian-perhatian kecil sehari-hari. Seputar apakah sudah makan, bagaimana pekerjaan, pujian tentang manisnya Sofi dengan gamis biru muda, misalnya.  Atau sanjungan pada mancung hidungnya. Ah, Sofi menjelma sebagai putri cantik dalam dongeng. Ia mendapatkan cinta lelaki yang sejak lama dipujanya diam-diam .

Sayang, hubungan khusus  itu hanya berjalan tiga bulan saja. Akhirnya lelaki itu mundur teratur, merasa bersalah karena mengkhianati isteri. Sofi tidak hendak menyudahi, sebenarnya. Bukankah isterinya tidak tahu?  Bukankah Mas Gatot juga tidak tahu? Bukankah mereka hanya TTM, teman tapi mesra? Semua aman, jadi tidak ada alasan mengakhiri. Apalagi  Sofi menyukai kehangatan sederhana lelaki itu. Kasih sayangnya. Perhatiannya.

Tapi tetap saja  lelaki itu memutuskan berakhir. Benar-benar selesai. Panggilannya pada Sofi sudah kembali formal. Tak ada Cantik, Say,  atau Dik. Sofi yang  kelimpungan, mencoba mencuri hati lelaki itu kembali. Sayang, dia tetap kukuh  dengan keputusannya. Sofi patah hati.

Iqomah terdengar lantang.  Air mata Sofi mengalir. Jiwanya terasa kerdil. Ia kini berdiri di Masjidil Haram, melihat Ka’bah secara langsung, namun hatinya tak bisa khusyuk.  Mengapa gelisah ini tak jua berlalu? Badan Sofi bergetar hebat saat sujud. Ia memohon  pertolongan Sang Khaliq. Leraikan kesah. Jauhkan resah. Padamkan bayang cinta tak halal ini.

Ana menyentuh bahunya. Sofi bangkit dari sujud dan mendapati  tatapan heran Ana. Sofi  tidak ambil pusing, ia membereskan sajadah dan melipat mukena.  Berdua mereka menyusuri Masjidil Haram dalam diam.

“Bu Ana!” Sebuah panggilan terdengar dari arah kiri. Farhan dan Hanan, beserta isteri masing-masing berjalan ke arah mereka.

Hanan dan Nurul menjajari langkah Ana dan Sofi. Sementara  Maryam berjalan di depan, di sisi Farhan.

“Nanti malam tahajud bersama, ya?” Nurul bertanya.

“Berdasar jadwal sih begitu,” Ana yang menjawab. Sofi menanggapi dengan senyum saja. Farhan dan Maryam melangkah sambil bercakap-cakap. Tangan Farhan memeluk pundak Maryam, sementara kepala Maryam bersandar pada bahu Farhan. Beberapa orang tampak melirik kepada mereka. 

Jika umroh dengan Mas Gatot, apakah akan semesra itu?  Mas Gatot bukan lelaki romantis. Lurus saja. Kurang bisa mengungkapkan cintanya secara verbal. Sekian tahun menikah, Sofi paham dia harus menerima ketidakromantisan Mas Gatot. Toh kasih sayangnya sudah dibuktikan lewat tanggung jawab yang utuh sebagai suami dan ayah. Tapi mengapa Sofi tak kunjung merasa cukup?

Esok hari, tawaf wada dilaksanakan pukul sepuluh pagi. Saat tahallul, Abah Yai menggunting rambut jamaah lelaki. Lalu para suami menggunting rambut isteri masing-masing. Nurul mencium tangan Hanan, dan mereka berpelukan erat. Habibah juga mencium tangan suaminya, tanpa pelukan. Mereka saling tersenyum malu-malu.  Farhan mencium kening Maryam lama, lalu memegang wajah Maryam dengan kedua tangannya. Memandang Maryam yang tersenyum, mencium kedua pipi. Maryam membalas mencium kening dan pipi Farhan. Mereka menyudahi  adegan mesra itu dengan pelukan.

Ketiga perempuan itu menuju tempat Sofi duduk bersama jamaah putri lainnya.  Sofi bangkit mendekati Nurul untuk  memotong rambutnya.  Setelah prosesi tahallul, mereka berjalan bersama menuju hotel.  Ana mengajak berhenti dulu untuk mengambil air Zamzam. Ana membungkuk mengisi botolnya.

Seseorang menepuk bahu. Sofi terkejut mendapati Maryam sudah berada di depannya. Farhan berjarak dua meter di sebelah kanan, memunggungi mereka berdua.

 Maryam mengulurkan tangan  mengajak bersalaman.  Sofi menerima dengan canggung.

“Maafkan kami. Maafkan suamiku. Tolong jangan dekati  dia lagi,” bisik Maryam ha;us di telinganya.  Sofi membeku. Hatinya limbung.  Dia tidak mampu mengatakan apa-apa saat Maryam menepuk lengannya, memandang  tepat di manik mata.  Tatapan Maryam lembut sekaligus mengintimidasi. Melucuti keberanian dan kepercayaan diri Sofi.

“Jangan sekali-sekali mencoba kembali,” Maryam berkata lirih. Tepat saat itu Ana berbalik. Maryam tersenyum, menyalami dan memeluk Ana dengan hangat.

“Kami duluan,” Maryam melambai. Ia melingkarkan tangannya ke pinggang Farhan. Berdua mereka berjalan meninggalkan Ana dan Sofi.

“Romantis,” gumam Ana.

Sofi membuang muka.  Air mata menggenang di kelopak.   Kecamuk  kecewa, malu, dan sedih campur aduk dalam dadanya.  Sofi  merasa  kalah dan terhina.  Tiba-tiba ia rindu Mas Gatot. Rindu pelukan melindungi. Rindu tatapan penuh maaf.  Ia ingin segera pulang.

1 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.