WAHYUNI DAN INKA
Fauzi
membuka jurnal mengajar dan mulai memasukkan nilai ulangan. Suasana kelas ramai
dengan celoteh para siswa. Mereka baru saja menyelesaikan koreksi bersama.
Ulangan pekan lalu baru bisa diperiksa hari ini, sebab terpotong tanggal merah
di hari Kamis. Hasil ulangan kali ini
cukup menyedihkan. Hampir separuh kelas harus mengikuti remedial.
Pada satu nama, Wahyuni, tangan
Fauzi berhenti. Ia terkejut. Bagaimana bisa nilainya cuma 55? Belum pernah
selama dua tahun mengajar kelas ini, skor Wahyuni demikian rendah. Fauzi
memandang Wahyuni. Tempat duduknya lurus dengan meja guru, di baris ketiga.
Kepala Wahyuni di atas meja, dengan posisi miring. Dia sedang mendengarkan
Inka, teman sebangkunya, bicara.
“Wahyuni, sini,” Fauzi memanggil. Wahyuni
beranjak dengan langkah pelan.
“Tumben nilaimu turun?” Fauzi
menunjukkan kertas ulangan. Wahyuni
meringis, tersenyum malu. Dia hanya beralasan sedang pusing dan tidak enak
badan saat ulangan lalu.
Kelas ini, X Multimedia, adalah
kelas perwalian Fauzi. Ada lima belas siswi dan dua puluh siswa, Hanya di
kompetensi keahlian Multimedia saja yang
jumlah peserta didik putera dan putri hampir seimbang. Di kompetensi keahlian
lain, didominasi putri.
Bel istirahat berbunyi. Fauzi membereskan laptop dan memasukkan
dalam ransel. Peserta didik putera bergantian menyalami sebelum melesat keluar.
Sementara yang perempuan hanya
menangkupkan tangan di depan dada. Mereka tahu Fauzi tidak bersalaman dengan
perempuan bukan mahram, walau murid sendiri.
Fauzi meuju ruang guru. Ia melewati kelas dua belas Bisnis Daring
Pemasaran. Sayup ada suara musik berdentam. Fauzi berbelok ke kelas itu,
melongokkan kepalanya melalui pintu yang terbuka separuh.
Cukup melongok saja, kelas perlahan
jadi sepi. Heru (satu-satunya putera di kelas itu) buru-buru mematikan gawai
dan mencabut kabel pelantang suara. Fauzi geleng-geleng kepala. Bisnis Daring
ini kompetensi yang spesial. Ragam masalah
sering timbul dari sini. Beberapa nama
menjadi langganan pembahasan dalam rapat dewan guru.
Lima tahun mengajar di SMK, Fauzi mengenal ciri
khas setiap kompetensi keahlian. Multimedia kelas yang santai dan kreatif.
Perkantoran, Perbankan, dan Akuntansi lumayan serius, dikenal tekun dan jarang ada masalah
besar muncul. Perhotelan hampir mirip dengan Bisnis Daring Pemasaran.
Fauzi guru populer. Wajah gantengnya
menjadi daya tarik. Apalagi dia masih belum menikah. Beberapa siswi, terutama
yang sudah kelas dua belas, cukup agresif menggoda. Fauzi bersikap sebagaimana layaknya guru:
mengayomi, menjaga dan sekaligus menghargai. Dia menanggapi panggilan manja
dengan senyum saja, tidak berniat meladeni.
Banyak guru berdedikasi tinggi di
sekolah ini. Salah satu yang menjadi perhatian Fauzi adalah Bu Tyas. Guru
senior BK ini benar-benar all-out.
Kunjungan ke rumah siswa kelas yang diampu biasa dilakukan, apalagi jika
bermasalah. Baik bermasalah secara
karakter, maupun masalah ekonomi. Bu Tyas sigap menangani persoalan
sejak dini, sebelum berkembang menjadi masalah serius. Telaten memberikan waktu
khusus konsultasi dan diskusi.
Fauzi mendorong pintu kaca ruang
guru. Tengah hari begini, ruangan sudah
penuh oleh Bapak Ibu guru yang rehat. Fauzi menuju loker, membuka kuncinya dan
menyimpan jurnal di sana. Sudah habis jadwal mata pelajaran Sejarah hari ini. Sepekan Fauzi mengajar sebanyak 28
jam. Sisa waktu di luar jam mengajar digunakan untuk mengoreksi, menulis
artikel atau cerpen, dan bermain badminton di aula sekolah. Sesekali
bercengkrama dengan anak-anak perwalian di gazebo yang ada di halaman tengah.
Auzi selesai salat dhuhur berjamaah, ia kembali ke ruang guru. Dua puluh menit ke depan, bel masuk setelah istirahat kedua akan
berbunyi. Inka muncul di pintu. Ia mengangguk pada Fauzi, lalu menunggu di
luar. Fauzi bergegas ke luar ruangan. Inka meminta izin menyampaikan sesuatu
lewat WA nanti sore. Fauzi mempersilakan.
Inka anak yang aktif. Ia sekretaris OSIS. Sigap dan
cekatan mengerjakan tugas. Ia juga aktif di Pramuka dan Taekwondo. Prestasi
akademiknya juga tidak mengecewakan. Ia disayang para guru dan dihormati
teman-temannya. Apalagi Inka berasal dari keluarga terhormat. Ayah Inka seorang
pengusaha kondang.
Fauzi memandang lapangan. Lantai
semen lapangan basket memantulkan sinar matahahri. Beberapa anak melintas
sambil menenteng nasi bungkus dan mukena. Fauzi terkenang masa SMAnya dahulu.
Saat itu ia tidak pernah bercita-cita
menjadi guru di kota kelahitannya ini. Ia ingin merantau ke Bandung, kota
impiannya. Bandung menjadi perhatian
setelah melihat sepak terjang Hasna,
kakak perempuannya.
Lulus SMA, Hasna belum berhijab
sempurna. Kadang dipakai, kadang tidak. Ia menekuni hobi menyanyi. Hasna tahu Abah
tidak menyukai kegiatannya itu. Hasna
nekat memilih PTN di Bandung agar bisa menjadi penyanyi profesional.
Pilihan Hasna mengecewakan Abah.
Mamak memilih bersikap netral, tidak menunjukkan penentangan yang frontal. Abah
melepas dengan berat hati setelah melalui proses diskusi yang panjang dengan
Mamak.
Dua semester di Bandung, Hasna membawa kejutan
besar ketika pulang: ia berjilbab rapi, bahkan sangat rapi. Abah sujud syukur.
Mamak menangis terharu dan membagikan berkat berisi nasi kotak beserta kue ke tukang becak di sekitar alun-alun
dan stasiun.
Iman itu diperjuangkan, begitu kata
Hasna ketika ditanya Fauzi asal muasal keinsyafannya. Dulu Hasna sangat
membanggakan statusnya sebagai anak ulama yang cukup disegani. Abah sering
mengisi ceramah di penjuru Kabupaten, juga ke beberapa kota di provinsi.
Anak-anak Abah dihormati dan disegani. Suatu waktu Hasna akan mengikuti jejak Abah dan Mamak. Suatu
waktu, tapi tidak dalam waktu dekat. Ia ingin meraih dulu cita-cita asal:
penyanyi prosefional. Menjadi daiyah yang pintar menyanyi tentu keren.
Di Bandung, Hasna sempat menjajal
menjadi penyanyi elekton, untuk hiburan pernikahan. Salah satu debutnya yaitu di aula salah satu masjid terkenal. Permintaan pengantin hanya lagu-lagu religi.
Saat adzan dhuhur, Hasna salat
berjamaah. Dia berkenalan dengan salah satu pengurus masjid tersebut, seorang
mahasiswi yang cerdas dan santun. Di situlah bermula. Hasna perlahan bergabung.
Cita-cita penyanyi lenyap seiring semangat berubah yang menggebu-gebu. Hasna
seolah menemukan dirinya yang baru. Kebaruan yang mengundang senyum sumringah
Abah dan Mamak.
Fauzi mengikuti jejak Hasna ke
Bandung. Ia memilih perguruan tinggi kependidikan. Lima tahun kemudian, Fauzi
kembali. Koneksi Abah yang luas membuatnya mudah memulai karir di sekolah
tengah kota.
Di rumah, sepulang salat Ashar berjamaah di masjid, Fauzi
mendapat pesan WA dari Inka.
“Wahyuni hamil, Pak. Sekarang ia
sedang memesan obat penggugur kandungan secara online.”
Fauzi
gemetar, dia terduduk lemas sambil beristighfar.
“Saya menyarankannya untuk bicara
dengan Bapak, tapi katanya nanti, dia menunggu hasil obat itu dahulu.”
Fauzi hendak menghubungi Bu Tyas,
tapi diurungkan. Inka diminta untuk memantau keadaan Wahyuni dan melaporkan
secara rutin. Inka menyanggupi.
Fauzi menelepon Hasna dan menanyakan
banyak hal tentang kehamilan. Penjelasan Hasna semakin membuat Fauzi
khawatir.Usia muda sudah hamil, kondisi
kejiwaan labil, tertekan oleh rasa malu, takut, cemas, tak berdaya. Anak-anak
sekarang, balligh, alias matang secara seksual namun lemah akal. Belum aqil.
Belum mengenal kewajiban sebagai manusia dewasa yang sudah dihitung pahala dan
dosa.
Keesokan hari Wahyuni tidak masuk.
Ibunya menelepon, memohonkan izin dengan alasan sakit. Ingin rasanya Fauzi
segera ke rumahnya. Inka memberi tahu bahwa Wahyuni dibawa ke rumah sakit di luar kota.
Sampai hari keempat tidak ada kabar
lagi. Surat keterangan dokter diantar oleh siswa kelas dua belas, tetangga
depan rumah Wahyuni. Fauzi berusaha menelepon orangtua, namun tidak terhubung.
Sementara sudah dua hari Inka tidak masuk sekolah karena sakit. Fauzi
kehilangan sumber informasi. Akhirnya
Fauzi melibatkan Bu Tyas. Ia
menceritakan secara lengkap apayang diketahuinya tentang keadaan Wahyuni. Mereka
bersepakat hendak melakukan kunjungan ke rumah Wahyuni besok..
Pagi di hari yang ditentukan,
menjelang pukul delapan pagi.
Baru saja Fauzi turun dari masjid sekolah setelah dhuha, Bu Tyas tergopoh-gopoh
mendekatinya.
“Anak panjenengan kritis di rumah
sakit,” pucat pasi Bu Tyas mengabari.
“Rumah sakit mana?”
“Rumah sakit bersalin. Keguguran, ya
Allah, Pak,” tangan Bu Tyas gemetar menunjukkan gawai. Ia kesulitan mencari-cari sesuatu di
WAnya.
“Dikabari Ibu Wahyuni?” Fauzi
bertanya tak sabar.
“Ibu Wahyuni? Bukan! Ibunya Inka.”
“Inka dan Ibunya menunggui Wahyuni?”
Bu Tyas memandang Fauzi bingung.
“Inka yang kritis, Pak! Dia minum
obat penggugur kandungan!”
Fauzi limbung. Dua anak
kebanggaannya; Wahyuni yang cerdas, Inka yang terampil dan cekatan. Terbayang
wajah orangtua Inka. Terngiang kalimat Hasna: iman itu tak dapat diwariskan. Ia
harus diperjuangkan.
Keren bu guru, jadi yg hamil inka tp bercerita pada pak guru kalau yg hamil wahyuni? Atau mereka berdua hamil?
BalasHapusTErima kasih banyak.
HapusSiapa yang sebenarnya hamil? Diserahkan pada pembaca saja.. Ehehehe