NILAI -NILAI SAMPAH A LA MARK MANSON

Jumat, November 26, 2021


Di halaman 96, dalam buku Sebuah Seni untuk Bersikap Masa Bodo Amat, Mark Manson menyebutkan nilai-nilai sampah. Secara sekilas, empat poin yang disebutkan terasa aneh dan tidak biasa.
Mari kita cermati satu per satu.

Pertama, kenikmatan. 

Kenikmatan disebut Mark sebagai tuhan palsu. Contoh sederhana, tanyalah pada perokok, kenapa mereka masih saja merokok walaupun tahu merokok itu bahaya. Merokok dapat membunuhmu, tertulis demikian di kemasan rokok. Lalu mengapa perokok enggan dan sulit berhenti? Sebab mereka masih terpaku pada 'nikmatnya merokok' dan enggan menjalani proses 'hilangnya kenikmatan akibat tidak merokok'. Fakta bahwa akibat merokok itu sedemikian mengerikan, tidak menjadi alasan kuat untuk berhenti.
Mereka menempatkan  kegiatan merokok sebagai pemicu kenikmatan. Akibat setelahnya, abaikan saja. Mark menulis bahwa kenikmatan itu penting, tetapi tidak cukup. Jangan menjadikan kenikmatan sebagai sebab, tapi tempatkanlah ia sebagai akibat; agar tidak terjebak pada tujuan yang dangkal.  

'Jika Anda melakukan hal-hal dengan benar, kenikmatan akan secara alami muncul sebagai hasilnya,' Mark menulis demikian.  
Saya memberi tambahan penting: jika Anda melakukan hal-hal baik dengan benar, kenikmatan akan secara alami muncul sebagai hasilnya.

Misal, Anda berinfak secara rutin. Kebiasaan baik ini akan mendatangkan kenikmatan, yang dalam agama Islam, bertambah bobotnya dengan 'berkah'. Merasa bahagia dengan berinfak, itu kenikmatan. Merasa dimudahkan segala urusan setelah rajin berinfak, itu kenikmatan. Tapi jangan menjadikannya sebagai tujuan utama. 
Itu hanya efek samping, anggap  hadiah di dunia. Tetaplah berharap pahala kebaikan itu mengalir hingga akhirat, menuju kenikmatan abadi: masuk surga dan berjumpa Allah subhanahu wata'ala.

Kedua, kesukesan material. 

Sering mendengar pertanyaan dilontarkan pada alumni: kerja di mana? Gaji berapa? 
Pertanyaan sejenis itu sebisa mungkin  tidak menjadi pertanyaan utama. Sungguh sayang jika orientasi hidup  melulu pada urusan kesuksesan materi yang diukur dari punya rumah berapa, mobil berapa, menjabat sebagai apa, dan ukuran-ukuran sejenis lainnya. 
Doktor Zahari Othman, dosen pendamping selama short course di Malaya University  pada tahun 2019, memberi pertanyaan mendasar tentang gelar, jabatan dengan: apakah manfaatnya bagi kemanusiaan?

Jika menjadi guru, apakah manfaat profesimu bagi kemanusiaan? Jika menjadi pengusaha kaya dengan aset melimpah, apakah manfaatnya bagi kemanusiaan? Jika bergelar panjang hingga ke puncak gelar akademis tertinggi, apakah manfaatnya bagi kemanusiaan? 
Kata Mark begini, jika nilai materi lebih dikedepankan di atas nilai kejujuran, kasih sayang, maka mereka akan menempatkan perilaku di bawah simbol-simbol status. 
Akibatnya,  bukan hanya mereka orang yang dangkal, namun kemungkinan mereka ini orang-orang yang bangsat.
Aduh, kata terakhir itu! Mohon maaf, saya mengutip apa adanya.

Ketiga, selalu benar.

Saya tuliskan satu paragraf dari halaman 97:
'Otak kita adalah mesin yang tidak efektif. Secara konsisten kita membuat asumsi yang buruk, ingatan yang salah terhadap suatu fakta,bias kognitif dan keputusan berdasarkan gejolak emosi. Sebagai manusia kita berbuat salah secara cukup konstan, sehingga jika ukuran kesuksesan hidup adalah menjadi benar, maka jangan heran kalau Anda akan kerepotan merasionalisasi semua kekeliruan yang terjadi pada diri Anda.'

Saya menghubungkan tulisan di atas dengan ayat Al Quran:
”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan Fujur (kefasikan) dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (As-Syams: 8-10).

Asumsi buruk, ingatan yang salah, bias kognitif, dan gejolak emosi bisa terjadi ketika jalan yang dipilih oleh jiwa adalah jalan fujur, berkebalikan dari jalan taqwa. 
Manusia  tempat salah; maka berbuat salah, menunjukkan kemanusiaannya. Obatnya adalah taubat. Jalan taubat yang utama  melalui nasihat. Sepanjang orang bersalah itu masih mau menerima nasihat, tidak menolak apalagi jatuh pada sombong, ia masih punya peluang berubah dan bertaubat. 
Sikap ingin selalu benar yang diikuti oleh kesombongan hingga enggan menerima nasihat, itulah sikap sampah yang perlu diwaspadai.
Orang-orang demikian hanya punya satu undang-undang pokok: pokoknya saya benar, dia salah. 
Tertutup sudah kesempatan untuk mencoba memahami sudut pandang orang lain, kehilangan empati, dan ujung-ujungnya menjadi bebal. 

Keempat, tetap positif.

Keinginan untuk menyikapi segala sesuatu secara positif, kadang menjadi bumerang yang melemahkan ketika tidak disikapi secara proporsional. 
'Meskipun ada sebuah ungkapan 'apa pun yang terjadi, tetaplah otimis', sejatinya kadang hidup menyebalkan, dan hal yang paling sehat untuk dilakukan adalah mengakuinya.'

Seorang yang baru saja kehilangan, menelepon saya dan mengungkapkan betapa dia tidak tabah, masih merasa sangat kehilangan. Ia ingin tegar, ingin menerima takdir wafat orang yang dicintainya dengan lapang dada. 
Saya memberinya poin-poin ini:
- jangan menolak kesedihan, pintu pertama lepas dari rasa duka yang menghimpit adalah mengakui bahwa rasa kehilangan ini ada, dan terimalah. Semakin ingin menolak rasa sedih (atas nama ingin tegar), maka semakin sakit dan sulit lepas dari duka
- menangislah, jika menangis bisa menjadi jalan berkurangnya kesedihan. Tidak perlu ditahan. Yang perlu dilakukan adalah pembatasan, jangan jatuh pada meratap, atau mengucapkan kata-kata 'seandainya'. Menangislah saat ingin menangis. Menangis dalam sujud, menangis dalam doa, jangan ditahan, tapi kendalikan.
- berdoa, mintalah pada Allah Subhanahu wata'ala membantu mengangkat kesedihan ini. Mintalah pertolongan kekuatan dariNya. Sungguh Allah Subhanahu wata'ala yang menggeenggam hati ini dan berkuasa penuh atasnya.

Esok hari,  beliau menelepon saya lagi dan menceritakan bahwa semalam  bisa tidur dengan nyenyak. Tidur nyenyak pertamanya setelah cobaan kehilangan menerpa. Ia mengakui dan menerima kesedihan dalam diri, dan mulai mencoba mengendalikan dengan kesadaran yang berbeda.
MasyaaAllah, lega mendengarnya. 

Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi selalu optimis, positif. Namun optimisme itu juga perlu diseimbangkan dengan penerimaan rasa kecewa, sedih, marah yang menerpa hati. Penerimaan, yang diikuti dengan kesadaran untuk mengelola secara bijaksana akan mendatangkan kematangan dan kedewasaan. 
Dengan cara itu, kita memanusiakan manusia. Menerima bahwa siapa pun bisa bersalah, sekaligus juga bisa berubah menjadi lebih baik. Titik ini  menumbuhkan sikap saling memaafkan. Okay, saat ini you salah, aku maafkan. Kali lain, oh aku yang salah, mohon dimaafkan. 

Tentang emosi negatif

Emosi negatif adalah suatu komponen kesehatan emosional yang harus ada. 
Salah satu trik emosi negatif yang diajukan Mark adalah: mengekspresikan dalam suatu cara yang dapat diterima dan sehat secara sosial. 
Perhatikan bagian ini: diterima dan sehat secara sosial. 
Sikap egois dalam diri sering  menjebak kita menjadi 'melampaui batas'. Berlebihan menyikapi hingga terseret oleh sikap tidak adil, lalu timbullah 'tidak sehat secara sosial'.   

Yang sering terjadi, masalah sebenarnya  tidak besar,  sederhana saja  Cukup diselesaikan dengan duduk bersama, menyampaikan pikiran dan perasaan, saling mendengar, saling berterima, saling memaafkan, selesai. 
Menjadi rumit manakal salah satu gagal mengekspresikan, apalagi sampai menolak mendengar, Dan  semakin ruwet lagi, ketika ada  pihak-pihak yang semestinya, -dengan wewenang dan kekuasaannya-, membantu menyelesaikan, malah menjadi tukang kipas. 
Mereka hanya akan memberi energi tambahan dalam membenci. Semakin kukuhlah ketahanan membenci,  semakin jauh dari kebaikan 
Belum lagi  ditambah dengan penyikapan yang berlebihan; membatasi akses, menggunakan kekuatannya untuk mengintimdasi. 
Percayalah, sikap begini sedikit pun tidak akan mengundang simpati. Alih-alih mendapatkan dukungan, yang ada malah menjadi tertawaan. Mungkin di depan yang bersangkutan  tidak ada yang berani menampakkan sikap menertawakan; tapi  di belakang,  gaya  kekanak-kanakan tadi menjadi bahan lelucon.

Mark Manson mengajak pembaca  mengenali bahwa nilai-nilai yang dianggap lumrah,  dapat menjadi racun yang merusak perilaku. 
Tawazun, seimbang dalam segala hal, membantu kita terhindar dari kekeliruan. 
Kuncinya di situ: tawazun.

Jombang, 26 November 2021; 15.05

2 komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.