CIUMAN IBU

Jumat, Desember 25, 2015


(dimuat di Majalah BOBO tanggal 12 Juni 2014)

Masih pagi, pukul enam lebih lima belas. Najma mencium tangan Ibu. Ibu memeluk dan mencium kepalanya. Najma menarik kepalanya dengan enggan.
            “Eh, sebentar… Ibu belum selesai!” kata Ibu. Najma diam sambil cemberut.
            Ini yang paling tidak disukai oleh Najma. Setelah turun dari sepeda motor, Ibu biasa mencium kepala Najma dan berdoa lama.Lalu cium pipi kiri kanan, dahi, dan kadang-kadang dagu.Lalu Ibu akan menyodorkan pipinya, dan Najma akan menciumnya.
            “Sampai bunyi,” begitu permintaan Ibu.Kalau tidak berbunyi ‘cup’, Ibu akan kembali menyodorkan pipinya sambil mengedip-ngedipkan mata. Idih!
            Kalau sampai sekolah pagi sekali, Najma tidak keberatan. Karena sekolah masih sepi.Tapi kalau sudah banyak siswa lain, Najma malu. Karena kadang-kadang ada beberapa siswa yang memperhatikan. Tidak enak diperhatikan begitu!
            “Hai!” Ilham menyapa sambil menjejeri langkah Najma. Najma tersenyum sekilas.
            “Sekarang waktunya duduk bebas, ya?” kata Ilham. Najma mengangguk sambil mencari bangku di antara deretan tengah. Di bangku nomor dua, Najma meletakkan tasnya. Ilham mengikuti.
            “Aku duduk sama kamu, ya? Please…,” kata Ilham dengan mimic wajah lucu. Najma tertawa.  Ilham periang dan baik,  tentu Najma tidak keberatan sebangku dengannya hari ini.
Hari Sabtu adalah hari bebas memilih bangku dan teman sebangku. Besok Senin, mereka akan kembali ke bangku dan teman seperti semula.
Ilham mengeluarkan kotak bekalnya.
“Mau?” tawar Ilham.
“Terima kasih,” kata Najma sambil menggeleng.
“Kamu belum sarapan?” Tanya Najma. Ilham menggeleng.Tangannya sibuk memotong-motong tempe goreng yang berbalut tepung. Aroma tempe itu sedap sekali.
“Enak, lho!”Ilham menyodorkan satu iris tempenya. Najma ragu-ragu. Ilham Cuma membawa tiga tempe, kalau Najma menerima, akan tersisa dua.
“Tidak, terimakasih,” kata Najma sambil menelan ludah. Sebenarnya ingin, tapi Najma tidak tega.
“Coba saja, enak, lho!” Ilham masih menyodorkan tempe itu. Akhirnya Najma menerimanya.
Hmm, memang enak sekali.Gurih dan sedap.
“Ibumu pintar masak, ya?” puji Najma.
Ilham memandang Najma sambil tersenyum.
“Itu buatan tanteku, Tante Ana,” katanya.
“Tantemu yang masak tiap pagi?” tanyaNajma lagi. Ilham sibuk mengunyah-ngunyah.
“Iya, Tante punya warung,” katanya.
“Enak dong Ibumu, tidak perlu capek-capek masak. Tinggal ambil di warungTantemu,” kata Najma lagi.
Ilham tertawa. Suapan terakhir masuk dalam mulutnya.
“Ibuku sudah meninggal,’ katanya kemudian.
Najma terdiam. Ilham sudah tidak punya ibu? Sejak kapan? Kok Najma tidak tahu, ya? 
Tahun  lalu, ketika pindah ke sekolah ini, Ilham diantar perempuan. Najma kira itu ibunya. Perempuan itu juga yang biasanya hadir dalam pertemuan orang tua atau mengambil raport Ilham.
“Yang  dulu mengambil raportmu, siapa?” tanya Najma.
“Itu tanteku yang lain, Tante Eka,” jawab Ilham santai. Najma  tertarik. Tidak punya ibu pastilah membuat sedih. Tapi Ilham selalu tampak periang,  gembira dan tidak pernah murung.
Najma mengeluarkan kotak bekalnya. Ibu tadi membawakan melon yang dipotong kecil-kecil. Mereka makan melon itu bersama.
Sambil makan, Najma menanyakan beberapa hal. Ilham berangkat dari rumah pagi-pagi sekali, pukul setengah enam. Karena Ilham harus membantu Tante Ana membawa bahan-bahan masakan ke warung. Menjelang setengah tujuh, biasanya Ilham sudah tiba di sekolah. Kadang-kadang Ilham membantu Pak Ainun membersihkan kelas.
“Aku suka tunggu kamu datang,” kata Ilham sambil tersenyum.
“Kenapa?” Najma bertanya heran.
“Aku suka  lihat kamu sama Ibumu. Ibumu selalu mencium kamu, kan?” katanya lagi. Najma tersipu. Benar kan, ada yang memperhatikan. Najma merasa diperlakukan seperti anak kecil saja. Ibu sih!
“Ibumu komat-kamit kalau cium kamu. Ibumu baca mantra, ya?”
Hahaha. Memangnya Ibu dukun!
“Ibu bacakan doa untukku,” jawab Najma.
“Pasti kamu senang. Kalau Ibuku masih hidup, aku pasti akan minta Ibu membacakan doa yang yang sama untukku,’ kata Ilham lagi.
Najma sungguh tercekat. Ia ingat protes-protesnya pada Ibu tentang kebiasaan itu. Ingat rasa malunya.  Setelah mendengar cerita Ilham dan komentarnya tentang Ibu, Najma berubah pikiran. Ia tidak keberatan Ibu menciumnya dan membacakan doa. Kalau perlu yang lama!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.