JEJAK KEBAIKAN

Senin, Desember 28, 2015


 (Dimuat di BOBO edisi 32 tanggal 15 November 2013)
“Nah, bersiap semua. Konsentrasi penuh!” Bu  Neneng memberi aba-aba. Kami yang sudah duduk melingkar dengan kelompok masing-masing menunggu berdebar-debar. Nining, ketua kelompokku, memegang amplop putih berisi satu lembar folio bergaris. Dalam folio bergaris itu ada satu kalimat. Nah, kalimat itu akan menjadi kalimat pembuka karangan kami. Kertas itu akan digilirkan pada tiap-tiap anggota dan ia harus menuliskan satu kalimat lanjutannya. Bu Neneng memberi waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikannya.
Saat ini kelas kami terbagi menjadi empat kelompok, tiga kelompok terdiri dari  enam orang. Kelompokku sendiri hanya  beranggotakan 5 orang, karena satu siswa tidak masuk. Biaz, sahabatku, hari ini sedang keluar kota.
“Mulai!” Bu Neneng berkata sambil menyalakan penghitung waktu. Nining membuka amplopnya, dan membacakan untuk kami.
“Melakukan satu kebaikan setiap hari sesungguhnya sangat mudah,” itu kalimat pembukanya. Nining mulai menulis satu kalimat lanjutan. Lalu Rahisa, Yenni, aku, kemudian kembali ke Nining. Begitu seterusnya. Ternyata seru juga. Aku merasa tertantang untuk menemukan satu kalimat yang tepat sebagai lanjutan  kalimat sebelumnya.
Tiba-tiba pintu kelas diketuk seseorang. Pak Rahwini, guru matematika kami, berdiri di depan pintu. Pak Rahwini membisikkkan sesuatu pada Bu Nining. Setelah Pak Rahwini pergi, Bu Nining berdiri di depan kami. Wajahnya tampak berkabut.
“Anak-anak, ada kabar duka,” Bu Nining terdiam sejenak. Tangannya gemetar menghapus air mata yang menetes. Kami menunggu  dengan cemas. Kabar duka apakah?
“Teman kita,  Biaz, meninggal dunia karena kecelakaan,” begitu lemah suara Bu Nining ketika mengatakan itu. Tapi karena suasana kelas demikian hening, suara itu terdengar sangat jelas.
Aku terhenyak. Kemarin, kami masih main bola bersama sepulang sekolah. Lalu sore hari, aku bermain ke rumahnya. Biaz hendak meminjamkanku sebuah buku ensiklopedinya. Saat itu Biaz bercerita bahwa hari ini ia akan ke Solo bersama ayahnya untuk menghadiri pernikahan pamannya. Ibu Biaz sudah lebih dahulu berangkat ke Solo tiga hari lalu.
Dan sekarang, ia telah meninggal. Meninggal berarti pergi dan tak akan kembali. Seperti ibuku dulu. Aku mulai merasakan kesedihan dan kehilangan.
“Setelah jam istirahat, kita sama-sama ke rumah Biaz. Sekarang, untuk mengenang Biaz, mari kita buat tulisan tentangnya,”kata Bu Nining. 
Lalu Bu Nining menuliskan satu kalimat di papan tulis: ‘Biaz adalah teman istimewa kami.’
“Mulailah dengan kalimat itu, lalu tuliskan lanjutannya dikertas masing-masing,” kata Bu Nining.
Kami mulai menulis. Rahisa terdiam lama, matanya berkaca-kaca. Yenni bahkan menulis sambil berkali-kali mengusap air matanya. Aku gemetar memegang bolpoinku. Banyak yang ingin kuungkapkan tentang kebaikan-kebaikannya. Sejak kelas tiga hingga kelas enam sekarang, aku sebangku dengannya. Biaz memang  teman yang baik. Aku ingin menuliskan semua kenanganku bersamanya. Aku ingin Ibunya tahu bahwa Biaz sungguh istimewa.
Tiga puluh menit kemudian.
“Adakah yang bersedia membacakan tulisannya?” tanya Bu Neneng. Tak ada satu pun yang mengacungkan tangan. Bu Neneng mendekatiku.
“Haikal, tolong bacakan tulisanmu, ya?” kata Bu Neneng. Aku maju ke depan kelas. Aku menarik nafas panjang sebelum membaca.
“Biaz adalah teman istimewa kami. Sudah hampir empat  tahun kami duduk bersama, tak pernah ia usil padaku. Biaz pandai menghiburku saat sedih. Suatu hari, ketika aku kehilangan jam tanganku, ia menghiburku dengan berkata :’kupikir kamu akan dapat  ganti jam yang lebih baik, seperti aku ketika kehilangan topi dulu.’ Walau pintar, Biaz tidak pernah sombong. Ia selalu mau mengajari pelajaran-pelajaran yang aku tidak mengerti. Biaz juga cepat memaafkan, sehingga tidak pernah mendendam. Semoga aku bisa meniru semua kebaikannya…”
Selesai. Kelas sungguh hening. Suara isak tangis teman-teman perempuanku terdengar. Kami semua kehilangan teman terbaik. Walaupun demikian, aku yakin, Biaz akan selalu kami kenang. Kebaikannya akan selalu di hati kami.
               





Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.