MENGAJAR DI STM ITU...SESUATU!

Senin, Desember 14, 2015
Mengajar di STM itu 'sesuatu'.
Saya sempat cemas dan khawatir tidak mampu.

Pertama, belum pernah saya mengajar di kelas yang kesemuanya siswa. Di SMKN 1, jelas dominasi siswi.

Kedua, saya adalah anak keempat dari delapan bersaudara, yang semuanya putri. Saya tidak terlalu paham gimana dunia remaja putera; kecuali lewat bacaan atau tontonan.

DI STM negeri ini, saya dapat dua kelas, masing-masing empat jam pelajaran. Jadwalnya dibuat langsungan empat jam.

Ada yang mulai pukul 10.00 sd pukul 13.00. Ada yang mulai pukul 07.15 sd 09.50.
Nah, di jam siang itulah yang sulit.
"Empat jam berturut-turut, mungkin bagi kalian membosankan. Bagi saya bisa melelahkan..," kata saya waktu perkenalan.
"Injiiiih," jawab mereka.

Siang itu, saya merencanakan test. Sebelumnya, saya terangkan dulu beberapa poin yang penting.
Lalu test.
Siang terik, angin semilir. Saya mulai mengantuk. Satu dua anak saya lihat menguap. Ada yang menyenderkan tubuhnya ke dinding. Ada yang kepalanya menempel di atas meja. Satu dua komat-kamit membaca soal.

Saya menguatkan diri; mencoba melebar-lebarkan mata. Kertas koreksian terkapar di depan, tak bisa saya apa-apakan. Kelopak mata berdansa pelan-pelan; sebentar meliuk-liuk ke bawah, sebentar melonjak.

Tak ada titik kompromi di kepala; wabah ngantuk itu masih berjoget dengan riang gembira. Sementara sisi otak lain berteriak-teriak memintanya berhenti memainkan kelopak mata.
Tiba-tiba...
Gubraaaakkk!!

Saya tersengat. Rasa kantuk itu terbirit-birit menjauh karena terkejut.  Ada tawa keras membahana dari seluruh siswa.

Berjarak empat bangku di depan, saya melihatnya:
seorang siswa jatuh terjengkang, sementara kursinya bergeser ke samping. Wajah merahnya tampak terkejut dan matanya terbelalak . Lalu di sebelah kanannya, sebuah meja terjungkal. Kursinya terbalik. Pelan-pelan, muncul kepala siswa yang lain dari balik meja yang terjungkal itu Ia bangkit sambil nyengir kuda.

Saya menahan tawa, tak tega melihat wajah mereka yang merah karena malu. Teman-temannya masih terbahak-bahak.
"Kok iso tibo?" satu dua bertanya. Yang ditanya geleng-geleng saja.

Pertanyaan itu mewakili keheranan kami semua. Bagaimana ceritanya hingga keduanya bisa jatuh bersamaan?

Saya mengambil sikap 'cool', supaya tawa tidak berkelanjutan. Suasana kelas kembali terkendali.
Hanya saja, saya yang kemudian harus sering-sering menunduk, menyembunyikan rasa geli yang tidak habis-habis. Geli mengingat wajah-wajah konyol yang nongol dari balik meja dan kursi yang jumpalitan tadi.

Ternyata itu belum selesai.
Menjelang pulang, anak-anak bersiap menyanyikan lagu wajib. Dari Sabang sampai Merauke, itu lagu kebangsaan yang mereka pilih.

Sebelumnya, saya bicara sejenak : "Tolong nyanyikan dengan sungguh-sungguh, tidak sambil bermain-main. Walaupun kalian merasa konyol karena belum pernah menyanyikan bersama-sama, jagalah sikap kalian."
Mereka mengangguk-angguk.

Satu siswa yang mendapat giliran memimpin, maju. Ia berdiri berjarak sekian langkah di sebelah kiri saya.
"Mulai, satu dua tiga...," siswa itu memberi aba-aba.

Mulailah terjadi kekonyolan tahap dua. Sang dirigen, memimpin lagu bak tokoh boneka di panggung boneka. Tanganya tidak direntangkan dengan lebar, kecil saja di depan dadanya. Ia menggerak-gerakkan dengan canggung dan malu-malu. Saya jadi ingat gerakan tokoh boneka SI Unyil.

Teman-teman di depannya terkekeh-kekeh, tak bisa menyanyi karena sibuk tertawa.
Saya sebenarnya tak ingin menoleh ke dirigen dadakan itu, tapi kepala ini sungguh bengal; ia penasaran dengan tokoh Si Unyil yang muncul tiba-tiba di kelas!

Setiap menengok, meledaklah tawa saya.
Aturan menyanyi dengan sungguh-sungguh dilanggar bersama-sama.

Kami gagal berjamaah.
"Stop, berhenti... Kita ulangi kembali," kata saya.
Demi menyelamatkan diri dari prahara tawa, dan untuk menjaga wibawa, saya berpindah tempat.
Saya beranjak ke belakang siswa, mengambil posisi yang melindungi pandangan saya dari sang dirigen.

Saat menyanyi, masih ada satu dua siswa yang menunduk menahan tawanya. Saya berkali-kali mengatupkan mulut ketika rasa geli menggelitik, supaya tidak melebar kemudian tertawa lagi.
Perut terasa kaku, tapi saya gembira. Eh.
(colek Fifi Rofii'ah; ini yang terjadi saat itu..)

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.