BERGURU DARI GURU SENIOR

Kamis, Maret 03, 2016
Saya pernah mengobrol agak lama dengan beliau, di mushalla.
Sering saya melihatnya shalat dhuha. Siang hari, shalat dhuhur sebelum pulang ke rumah.

Beliau kalem, suaranya lembut dan halus. Tidak pernah saya mendengarnya bersuara keras. Tapi perhatiannya pada siswa baik. Beberapa kali beliau melaporkan satu dua (tiga, empat, lima, enam... ) pelanggaran yang dilakukan anak-anak yang saya asuh. Saya wali kelas X Multimedia 2, dan beberapa anak acap melanggar peraturan. Misalnya, celana olah raganya dijahit sedemikian rupa sehingga serupa celana pensil.. Tidak hanya celana olah raga, namun juga  celana pramuka.

Di mushalla, beliau bercerita tentang dua putra putrinya. Oh ya, menanyakan tentang putra/putri adalah pembuka percakapan yang baik. Hampir semua orang tua punya kebanggaan pada anak-anaknya. Maka, menjadikan itu sebagai topik pembicaraan insyaaAllah mengasyikkan. Cerita akan mengalir dengan kebanggaan yang menyala dalam mata.

Kembali pada putra putri beliau.
Putra sulungnya, saat itu, akan menikah. Beliau mengungkapkan ketakjubannya karena sang putra tidak berpacaran. Mereka melalui proses taaruf singkat, melamar, dan menikah. Semua dilakukan dengan mudah dan sederhana. Walau mereka termasuk keluarga berada.

Mendengar ceritanya, menebak-nebak dari karakter putranya yang disampaikan, saya meyakini putranya adalah aktivis kampus. Dan benar. Putra sulungnya aktif di BEM kampusnya. Juga di masjid kampus. Nah.

Beberapa hari lalu, beliau bercerita lagi.
Bahwa putra sulungnya sangat sabar dan menjaga ucapannya terhadap isterinya.

"Sekarang harga garam sedang murah, ya?' cerita beliau, sambil tertawa kecil. Itu isyarat sang putra mengomentari masakan isterinya yang asin.

Putrinya yang kedua melewati proses menikah sebagaimana kakaknya. Mudah, sederhana, khidmat.
Banyak kemudahan yang mereka dapatkan. Mulai dari proses menikah, mencari pekerjaan, dll.

"Apa yang Ibu amalkan hingga bisa begitu?" saya bertanya.

Beliau diam. Matanya berkaca-kaca.

"Saya .. takut jadi sombong," bisiknya. Saya diam. Tidak berkata apa-apa, tapi memandangnya dengan isyarat 'please-bu-berbagilah'.

"Siapa tahu saya bisa meniru," kata saya lagi, sambil bisik-bisik juga.

Beliau diam lagi.

"Saya berusaha memudahkan siapa saja," katanya, akhirnya.

"Saya berusaha membantu meringankan anak-anak yang tidak mampu disekeliling saya, Jika saya tahu anaknya baik dan sungguh-sungguh sekolah, saya akantu biaya pendidikannya," lirih beliau berkata.

"Buah mangga saya pernah dicuri malam-malam. Esoknya ada yang mengantar buah mangga lebih banyak dari yang hilang, dan dengan kualitas yang lebih baik. Ya Allah,  saya sampai merinding," katanya.

Itu saja. Beliau tidak   bercerita lebih banyak  lagi.

Memudahkan dan meringankan orang lain. Saya menggarisbawahi bagian itu..










Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.