OOOW, MELLOW!

Minggu, Maret 13, 2016
Ketika ke Bandung kemarin, saya melewati beberapa tempat yang penuh 'kenangan'.
Tempat yang menimbun ungkapan-ungkapan tulus cinta. Lugu, lurus dan menyentuh. Menyentuh tanah, plafon, pintu, jendela. Begitu.

Disekitar Antapani, dekat terminal angkotnya, dalam sebuah perumahan. Ada satu sekolah yang saya pernah mengajar selama beberapa bulan. Mengajar anak orang, kecil-kecil gitu. Yang berisiknya minta ampun. Tentu saja  anak kecilnya aja. Anak besar sebesar bapaknya, gak usah. Mereka cukup diajarin sama bos masing-masing. Saya kan gak bisa, sebab gak ngerti dan gak punya ilmunya.

Sekolah itu sekali masuk siang, bergantian dengan sekolah lainnya.

Jika tiba masuk siang, mereka mulai belajar setelah dhuhur hingga menjelang maghrib, kalau tidak salah. Kalau salah, maapkanlah daku. Kebetulan jam saya antara sebelum ashar hingga setelah ashar. Jika azan, saya mengajak mereka shalat jamaah dekat sekolah. Gak usah kagum begitu. Salah satu keuntungan mengajak sholat berjamaah adalah saya terhindar dari hiruk pikuk anak-anak yang mirip gasing. Eh, maap.

Hanya beberapa bulan saya disana. Hari berpisah tiba. Saya berpidato singkat, ala saya. Sedih, tapi malu mau nangis. Kan gak ilok ketahuan cengengnya. Jaim lah, bu guru kok gampang mewek.

Saya hendak pulang, naik angkot. Kududuk belakang pak supir yang entah dimana. Ada beberapa penumpang yang duduk manis sendiri-sendiri. Yang gak manis, duduk dua-dua atau tiga-tiga..  Tiba-tiba, muncul satu kepala. Wajahnya berlinang air mata. Lalu satu kepala lain, tambah satu, tambah satu. Jadi berapa, hayo? Gak usah dijawab, sebab saya juga sudah lupa.

Siswa-siswa saya! Mereka memaksa saya keluar dari angkot yang hendak berjalan. Ya, saya pun terpaksa turun. Kalau saya gak turun, nanti mereka yang akan naik. Bahaya, saya sedang bokek. Gak kuat bayarin segitu banyak.

Maka,drama india dimulai.
"Ibu jangan pergi!" kata mereka.
Lho,  kok suudzon begitu? Saya cuma  mau pulang. Bukan mau pergi. Apalagi mingat.


Ya, begitulah. Saya lupa apa saja dialognya. Sebab itu adegan improvisasi anak-anak. Tidak ada dalam skenario. Lagian itu terjadi dua puluh tahun lalu. Kepala saya gak muat untuk menyelip-nyelipkan setiap potongan dialog.

Di sekolah lain, seputar Ujung Berung.

Ketika tahu saya akan pulang ke Jombang, mereka menangis juga. Entah siapa yang mulai, satu per satu mengeluarkan kado.

Dibungkus rapi? Tentu tidak. Apa saja yang ada dalam tasnya dan dianggap layak, maka akan mereka beri.
Saya ingat mendapat spidol board  marker, pensil, penghapus, satu set spidol yang sudah hilang beberapa warna. Juga ada snack dan es lilin! Asli, gak mbujuk aku! Itu es lilin dengan rasa strawberry. Kalau tidak salah loh ya. Kalau salah lagi ya maapkeun!

Dan, drama india mulai lagi! Mereka menangis mendayu-dayu, saya mewek malu-malu. Saya naik angkot yang ngetem depan sekolah. Mereka berjejer di tepi jalan sambil berlinang air mata. Terisak-isak, tersedak-sedak. Orang-orang dalam angkot memandangi saya dengan pandangan sedemikian rupa sehingga saya tambah mewek. Mungkin saya takut.  Takut dicubit karena berisik.

"Perpisahan, Neng?" satu ibu bertanya. Kenapa perpisahan identik dengan menangis? Bagi saya, tidak semua perpisahan layak ditangisi. Berpisah dengan hutang, misalnya. Itu perlu banca'an, slametan.

Mobil angkot saya beranjak, tangisan mereka menanjak. 

Hiks, hiks, huaaa. Jangan gitu dooong, Bu Guru maluuuu!

*bersambung, insyaaAllah  kalau ingat*


Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.