MELLOW (BABAK 2)

Rabu, Maret 16, 2016
Ini babak kedua.

Hadiah anak-anak itu, yang sebagiannya adalah makanan atau minuman bekal mereka, akhirnya saya buka di kampus.

Teman saya tertawa-tawa geli mendengar cerita perpisahan. Ia asyik sekali menikmati es lilin susu strawberry.

Di rumah, satu pagi, ba'da shubuh.
Telepon rumah berdering. Biasanya jika pagi-pagi begitu, yang masuk adalah telpon interlokal. Dari kota atau propinsi lain. Antara pukul 21.00 hingga 06.00, Telkom memberikan diskon sebesar 75%. Lumayan. Itu sebab, pagi hari, lazim ditemukan antrian panjang di wartel-wartel sekitar kampus.

Saya mengangkat telepon. Oh ya, tentu saja telepon. Bukan jemuran, karena memang sepagi itu saya belum mencuci apa pun.

"Hallo," kata saya.

"Halloo.., " suara anak kecil. Dari suaranya, terkesan dia masih sangat mengantuk.

"Mau bicara dengan siapa?"

"Bu Umi, ada bu Umi?"

Saya terkejut. Ini pasti bukan anak saya, sebab saya belum menikah. Anak tiri juga gak ada. Adanya di rumah adalah anak ayam, yang pagi-pagi suka saya kasih makan. Tapi gak mungkin anak ayam menelepon, kan?

"Ya, ini siapa?"

"Rani. Ini Bu Umi?" Rani balik tanya. Sebenarnya, saya sekarang lupa siapa namanya. Nama Rani itu nama alias saja. Ia kelas tiga.

"Iya, apa kabar Rani?"

Surprise. Dengan suara terkantuk-kantuk begitu, dia pasti belum mandi. Jangan-jangan juga belum gosok gigi.

"Rani minta Mama telponkan Bu Umi, Rani kangen," suara mengantuk itu menjadi suara tertahan. Seperti menangis.

Saya terharu. Kami mengobrol sejenak.  Setelah hari itu, seingat saya Rani menelepon satu dua kali,

Kali lain, sore hari. Ganti Arda (kalau gak salah) yang menelepon. Kakak kelas Rani, kelas V. Mereka berdua dari SDN Ujung Berung.

"Bu, ada Hari, Syaiful, dan teman-teman lain disini. Buu, kami belajar kelompok. Bu Umi kapan kembali mengajar kami lagi?" kata-kata itu seperti berkejaran. Lintang pukang, bersicepat tak karuan. Suara sahut menyahut di belekang terdengar keras. Sesekali mereka menyebut nama saya.

Saya meladeni sebentar, lalu menyuruh mereka menutup telepon. Sebab masih siang, Saudara! Biaya pulsanya selangit!

Hari lain, telepon datang dari anak-anak SDN Antapani.

"Bu, ini kami. Bu, kami beli kartu telepon, uruanan. Bu Umi apa kabar? Kapan mengajar lagi? Bu, ini Yana mau bicara... Heru mau bicara bu... Bu, ini Tari..."

Tuuut... Pulsa habis. Suara mereka berebut gagang telepon, berdesak-desakan dan  bicara terdengar lucu.

Sekitar lima menit kemudian, mereka menelepon lagi.  Tentu saja tidak bisa lama. Itu jam kantor. Biaya pulsa  antara 09.00 sd 15.00 di hari kerja  sangat mahal. Maka kartu telepon seharga lima belas ribu rupiah habis tidak sampai lima menit!

Waktu sependek itu, digilir diantara sepuluh hingga dua puluh anak. Maka yang terjadi hanyalah mereka memindahkan gagang telepon dari satu anak ke anak lain. Mereka cuma bisa  menyebut nama masing-masing. Saya menyapa sekedarnya, hanya agar mereka semuanya mendengar suara saya.


Anak-anak itu, dimana sekarang ya? Sudah menikah kah? Masih ingat saya tidak?

Eh, jadi mellow beneran.






Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.