LANJUTKAN HIDUPMU!
"PUKULAN YANG TIDAK MEMATIKANMU, AKAN MENGUATKANMU."
Lanjutkan hidupmu, tak peduli seberat apa bawaanmu...wehehehe |
Baca tulisan tentang optimisme, disini, saya jadi ingat salah satu kisah dalam potongan hidup saya.
Kalimat itu, saya baca
bertahun kemudian setelah saya (ternyata) sanggup dan kuat bangkit.
Ini pengalaman indah dan
cantik. Keindahannya baru terasa setelah berjibaku melewatinya.
Dimulai dari tahun 2000,
saat hamil muda, saya, suami, dan beberapa sahabat mendirikan sebuah sekolah full
day. Ini sekolah full day pertama di kota kami. Saya dan sahabat-sahabat saya
itu sangat dekat. Mereka sering main ke rumah, akrab dengan keluarga saya.
Sebab saya satu-satunya dari
kependidikan, maka saya ‘dipaksa’ menjadi kepala sekolah. Berat, dan terasa
sulit sekali. Tapi saya tidak bisa menolak.
Singkat cerita, sekolah
itu berkembang. Dari jumlah siswa tujuh orang di tahun ajaran baru, semester
berikutnya menjadi dua kali lipat. Lalu tahun kedua, langsung terima dua kelas.
Sekolah kami dikagumi banyak orang. Teman-teman saya itu, berdedikasi tinggi dalam mengajar dan
mengelola sekolah.
Tahun kedua, pertengahan
semester, saya mengajukan pengunduran diri dari kepala sekolah. Banyak hal yang
saya merasa tidak sanggup tangani. Intrik bermunculan. Beberapa persoalan
mengemuka. Entah bagaimana, persahabatan dan persaudaraan kami mengalami
gelombang pasang. Tinggi sekali.
Banyak prasangka
berkelindan. Semua tampak ruwet dan aneh.
Tahun ketiga, suami
mendapat peluang ikut tes di sebuah sekolah bonafid. Sekolah tersebut adalah
rujukan kami belajar. Setelah rangkaian tes yang berat, suami diterima.
Keluarnya suami dari
sekolah kami, membawa fitnah lain. Konon, suami keluar sebab minta gaji tinggi.
Persoalan-persoalan lain
semakin muncul dan rumit. Puncaknya, di awal tahun keempat sekolah kami, tahun
pelajaran 2003/2004, saya tidak diberi jam mengajar. Begitu saja. Tidak ada pemanggilan dari
Yayasan. Tidak ada statemen pengantar dari kepala sekolah.
Tidak ada komunikasi
apapun dari siap-siapa.
Pembagian jam mengajar
dilakukan dalam rapat setelah penerimaan raport akhir tahun 2002/2003. Saya
hadir di sana. Saya ada. Tapi seolah saya tidak ada.
Tak satupun guru memberi
penjelasan apapun. Saya seperti orang buruk rupa yang layak dibuang. Begitu saja.
Saya menghadap kepala
sekolah saat itu juga.
“Maaf Ustadzah, ini
keputusan Yayasan,” katanya.
“Apa salah saya?” saya
mendesak.
“Nanti ada penjelasan
dari Yayasan,” elaknya.
Jadi begitu.
Saya pulang. Berpamitan
dengan para guru, sahabat-sahabat saya itu. Naik becak. Menyusuri jalan dalam
diam. Terpukul.
Sekolah itu, menjadi
separuh kehidupan saya. Berjibaku dalam prosesnya sejak awal hingga tahun
ketiga. Memikirkannya, mengerahkan seluruh tenaga. Anak-anak adalah
teman-teman, sahabat, dan guru saya. Wali murid adalah sahabat, teman, dan
guru.
Mereka hidup saya. Yang
dirampas. Dicampakkan seolah saya orang tak berguna.
Malam hari, suami saya
pulang.
“Bunda gak diberi jam
mengajar,” kata saya.
Suami saya tercenung.
Kami sama-sama terdiam. Sama-sama bingung. Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana
bisa setega itu?
Saya tidak lagi dating ke
sekolah. Saya tahu diri, tidak diberi jam adalah pengusiran secara halus.
Ketua Yayasan yang saya
telpon berdalih bahwa itu keputusan kepala sekolah. Sungguh aneh, betapa mereka
telah menjelma menjadi sosok-sosok pengecut. Saya sangat kecewa.
Sekitar dua pekan kemudian,
saya hamil. Kami berbahagia atas ini. Diatas kesedihan, Allah kirimkan berita gembira.
Lalu, suami mengajak saya
menemui Pak Nur, penjaga sekolah itu. Kami membeli oleh-oleh sekedarnya.
Malam hari, kami
mendatangi sekolah itu. Sepi. Tak ada pak Nur. Saya terpana. Menatap gedung,
halaman. Memandang masjid. Suasana sekolah pagi hingga siang tergambar. Saya
sangat hafal seluruh seluk beluk sekolah ini. Detik demi detik dari pagi hingga
petang, pernah saya lewati disini. Selama tiga tahun.
Terbayang saat mengecat
kelas. Mengepel lantai. Menyikatnya. Membersihkan masjid. Membersihkan kamar
mandi. Anak-anak berlari. Mengejar kambing. Main bola. Duduk-duduk bersama di
teras masjid, membaca buku.
Seperti film, semua
terputar di mata saya.
Perasaan nelongso
menyergap. Saya tidak tahan.
Kami pulang. Tapi hati
saya tertinggal di gedung itu.
Sepanjang malam, saya
diam-diam menangis. Hati saya sakit dan perih.
Esok hari, saya
keguguran. Sempat dibawa ke dokter dan diberi penguat. Namun janin itu tidak
selamat.
Hari-hari berikutnya,
saya dilanda ketidakpercayaan diri. Saya cemas berhadapan dengan orang lain. Kemarahan juga menguasai hati. Saya
membenci mereka. Selama kurun waktu itu,
saya seperti orang bingung. Satu sisi, saya yakin, kejadian ini ada hikmahnya.
Allah takdirkan ini sebab ada kebaikan untuk kami. Sisi lain, saya
menunggu-nunggu dengan cemas, kapan hikmah itu ditunjukkan pada kami.
Saya optimis, sekaligus
nelongso. Dua hal itu muncul silih berganti. Satu waktu saya kuat, waktu lain,
saya terpuruk.
Tahun 2004, saya membuat
kelompok bermain dan penitipan bayi. Ini cara saya mengobati luka. Tidak boleh
diam, sebab diam mengundang kembali nelongso hadir. Mencabik-cabik rasa percaya
diri lagi.
Kesibukan mengajar,
mengelola, mempromosikan lembaga baru saya ini pelan-pelan memunculkan saya
yang dulu.
Sebenarnya, setelah tidak
lagi mengajar di sana, banyak tawaran masuk. Sepasang suami isteri hendak
membuat SD full day. Mereka minta saya menjadi kepala sekolah. Saya menolak.
Mereka merayu-rayu hingga memberi kelonggaran, yaitu mengizinkan saya hadir
sepekan sekali. Tentu saja tetap saya tolak. Kepala sekolah yang hadir sepekan
sekali, bisa apa?
Sepasang suami isteri
lainnya juga sama. Dan saya tolak juga.
Seorang dokter
berkali-kali datang dan menyerahkan rumah besarnya untuk saya kelola.
“Silahkan ustadzah buat
apa saja rumah saya, terserah,” katanya. Saya tetap keukeuh dengan ‘tidak’.
Tahun 2005, teman-teman
suami membuat SD fullday. Kali ini, kami bersedia membantu. Saya diamanahi
sebagai waka kurikulum. Untuk mereka, saya membantu semampu saya. Sebab saya
percaya dengan keikhlasan dan ketulusan mereka. Saya yakin, mereka benar-benar
berjuang tanpa ada tendensi bisnis.
Jadi tahun 2005, kaki
saya di dua tempat: sebagai pemilik, pengajar dan pengelola Kelompok Bermain dan
Baby Class milik sendiri dan Waka Kurikulum SDIT.
Tahun 2006, saya diangkat
menjadi pns dan ditempatkan di sebuah SMP. Kaki saya ada di tiga tempat.
Kesibukan-kesibukan yang
berlipat itu, mengembalikan rasa percaya diri. Pelan-pelan, saya menemukan
limpahan kebaikan Allah yang luput saya
perhatikan.
Hingga suatu waktu,
seorang teman, yang putrinya adalah generasi kedua sekolah dahulu, bertanya pada
saya:
“Dulu, pas ngajar di SD
anu, pernahkan terpikir akan keluar?”
“Tidak,” jawab saya.
“Sudah saya duga. Sebab
panjenengan tidak ingin keluar dari sana, maka Allah keluarkan paksa dengan
cara begitu. Supaya segera melupakan. Supaya punya sekolah sendiri. Supaya membantu
sekolah ini. Supaya bisa jadi pns. Supaya jadi penulis. Dikeluarkan dengan paksa begitu, supaya
punya semua yang dimiliki sekarang,” katanya, sambil menepuk-nepuk saya.
Begitulah.
Ketika saya menanyakan
dan menunggu-nunggu hikmah diperlakukan secara menyakitkan, saya gagal
menemukan. Ketika saya bergerak, banyak hal berdatangan.
Rasa sakit dan terpuruk itu,
adalah pelecut kekuatan untuk bangkit.
Optimis, bahwa Allah
selalu memberikan yang terbaik. Bahkan dari kesakitan dan rasa perih.
Ini namanya curcol. Wehehehe. Benar kata salah satu teman saya, "Suatu waktu, ketika sudah legowo, kita akan mengenang kepedihan sambil tertawa. Mentertawakan ketidakmampuan kita menyikapi dengan baik."
Sepenuhnya benar. Telolet. Wahaha.
Ini namanya curcol. Wehehehe. Benar kata salah satu teman saya, "Suatu waktu, ketika sudah legowo, kita akan mengenang kepedihan sambil tertawa. Mentertawakan ketidakmampuan kita menyikapi dengan baik."
Sepenuhnya benar. Telolet. Wahaha.
Terkadang kalau saya melewati jalan yang sulit, saya berpikir kira-kira Tuhan mau kasih saya jalan kemana ya.
BalasHapusOptimis itu dibutuhkan banget disaat-saat berat seperti yang Mbak alami tersebut.