LANJUTKAN HIDUPMU!

Rabu, Desember 21, 2016
"PUKULAN YANG TIDAK MEMATIKANMU, AKAN MENGUATKANMU."


Lanjutkan hidupmu, tak peduli seberat apa bawaanmu...wehehehe



Baca tulisan tentang optimisme, disini, saya jadi ingat salah satu kisah dalam  potongan hidup saya.

Kalimat itu, saya baca bertahun kemudian setelah saya (ternyata) sanggup dan kuat bangkit.
Ini pengalaman indah dan cantik. Keindahannya baru terasa setelah berjibaku melewatinya.
Dimulai dari tahun 2000, saat hamil muda, saya, suami, dan beberapa sahabat mendirikan sebuah sekolah full day. Ini sekolah full day pertama di kota kami. Saya dan sahabat-sahabat saya itu sangat dekat. Mereka sering main ke rumah, akrab dengan keluarga saya.
Sebab saya satu-satunya dari kependidikan, maka saya ‘dipaksa’ menjadi kepala sekolah. Berat, dan terasa sulit sekali. Tapi saya tidak bisa menolak.
Singkat cerita, sekolah itu berkembang. Dari jumlah siswa tujuh orang di tahun ajaran baru, semester berikutnya menjadi dua kali lipat. Lalu tahun kedua, langsung terima dua kelas. Sekolah kami dikagumi banyak orang. Teman-teman saya itu,  berdedikasi tinggi dalam mengajar dan mengelola sekolah.
Tahun kedua, pertengahan semester, saya mengajukan pengunduran diri dari kepala sekolah. Banyak hal yang saya  merasa tidak sanggup tangani. Intrik bermunculan. Beberapa persoalan mengemuka. Entah bagaimana, persahabatan dan persaudaraan kami mengalami gelombang pasang. Tinggi sekali.
Banyak prasangka berkelindan. Semua tampak ruwet dan aneh.
Tahun ketiga, suami mendapat peluang ikut tes di sebuah sekolah bonafid. Sekolah tersebut adalah rujukan kami belajar. Setelah rangkaian tes yang berat, suami diterima.
Keluarnya suami dari sekolah kami, membawa fitnah lain. Konon, suami keluar sebab minta gaji tinggi.
Persoalan-persoalan lain semakin muncul dan rumit. Puncaknya, di awal tahun keempat sekolah kami, tahun pelajaran 2003/2004, saya tidak diberi jam mengajar.  Begitu saja. Tidak ada pemanggilan dari Yayasan. Tidak ada statemen pengantar dari kepala sekolah.
Tidak ada komunikasi apapun dari siap-siapa.
Pembagian jam mengajar dilakukan dalam rapat setelah penerimaan raport akhir tahun 2002/2003. Saya hadir di sana. Saya ada. Tapi seolah saya tidak ada.
Tak satupun guru memberi penjelasan apapun. Saya seperti orang buruk rupa yang layak dibuang. Begitu saja.
Saya menghadap kepala sekolah saat itu juga.
“Maaf Ustadzah, ini keputusan Yayasan,” katanya.
“Apa salah saya?” saya mendesak.
“Nanti ada penjelasan dari Yayasan,” elaknya.
Jadi begitu.
Saya pulang. Berpamitan dengan para guru, sahabat-sahabat saya itu. Naik becak. Menyusuri jalan dalam diam. Terpukul.
Sekolah itu, menjadi separuh kehidupan saya. Berjibaku dalam prosesnya sejak awal hingga tahun ketiga. Memikirkannya, mengerahkan seluruh tenaga. Anak-anak adalah teman-teman, sahabat, dan guru saya. Wali murid adalah sahabat, teman, dan guru.
Mereka hidup saya. Yang dirampas. Dicampakkan seolah saya orang tak berguna.
Malam hari, suami saya pulang.
“Bunda gak diberi jam mengajar,” kata saya.
Suami saya tercenung. Kami sama-sama terdiam. Sama-sama bingung. Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana bisa setega itu?
Saya tidak lagi dating ke sekolah. Saya tahu diri, tidak diberi jam adalah pengusiran secara halus.
Ketua Yayasan yang saya telpon berdalih bahwa itu keputusan kepala sekolah. Sungguh aneh, betapa mereka telah menjelma menjadi sosok-sosok pengecut. Saya sangat kecewa.
Sekitar dua pekan kemudian, saya hamil. Kami berbahagia atas ini. Diatas kesedihan, Allah kirimkan berita gembira.
Lalu, suami mengajak saya menemui Pak Nur, penjaga sekolah itu. Kami membeli oleh-oleh sekedarnya.
Malam hari, kami mendatangi sekolah itu. Sepi. Tak ada pak Nur. Saya terpana. Menatap gedung, halaman. Memandang masjid. Suasana sekolah pagi hingga siang tergambar. Saya sangat hafal seluruh seluk beluk sekolah ini. Detik demi detik dari pagi hingga petang, pernah saya lewati disini. Selama tiga tahun.
Terbayang saat mengecat kelas. Mengepel lantai. Menyikatnya. Membersihkan masjid. Membersihkan kamar mandi. Anak-anak berlari. Mengejar kambing. Main bola. Duduk-duduk bersama di teras masjid, membaca buku.
Seperti film, semua terputar di mata saya.
Perasaan nelongso menyergap. Saya tidak tahan.
Kami pulang. Tapi hati saya tertinggal di gedung itu.
Sepanjang malam, saya diam-diam menangis. Hati saya sakit dan perih. 
Esok hari, saya keguguran. Sempat dibawa ke dokter dan diberi penguat. Namun janin itu tidak selamat.
Hari-hari berikutnya, saya dilanda ketidakpercayaan diri. Saya cemas berhadapan dengan orang lain. Kemarahan juga menguasai hati. Saya membenci mereka.  Selama kurun waktu itu, saya seperti orang bingung. Satu sisi, saya yakin, kejadian ini ada hikmahnya. Allah takdirkan ini sebab ada kebaikan untuk kami. Sisi lain, saya menunggu-nunggu dengan cemas, kapan hikmah itu ditunjukkan pada kami.
Saya optimis, sekaligus nelongso. Dua hal itu muncul silih berganti. Satu waktu saya kuat, waktu lain, saya terpuruk.
Tahun 2004, saya membuat kelompok bermain dan penitipan bayi. Ini cara saya mengobati luka. Tidak boleh diam, sebab diam mengundang kembali nelongso hadir. Mencabik-cabik rasa percaya diri lagi.
Kesibukan mengajar, mengelola, mempromosikan lembaga baru saya ini pelan-pelan memunculkan saya yang dulu.
Sebenarnya, setelah tidak lagi mengajar di sana, banyak tawaran masuk. Sepasang suami isteri hendak membuat SD full day. Mereka minta saya menjadi kepala sekolah. Saya menolak. Mereka merayu-rayu hingga memberi kelonggaran, yaitu mengizinkan saya hadir sepekan sekali. Tentu saja tetap saya tolak. Kepala sekolah yang hadir sepekan sekali, bisa apa?
Sepasang suami isteri lainnya juga sama. Dan saya tolak juga.
Seorang dokter berkali-kali datang dan menyerahkan rumah besarnya untuk saya kelola.
“Silahkan ustadzah buat apa saja rumah saya, terserah,” katanya. Saya tetap keukeuh dengan ‘tidak’.
Tahun 2005, teman-teman suami membuat SD fullday. Kali ini, kami bersedia membantu. Saya diamanahi sebagai waka kurikulum. Untuk mereka, saya membantu semampu saya. Sebab saya percaya dengan keikhlasan dan ketulusan mereka. Saya yakin, mereka benar-benar berjuang tanpa ada tendensi bisnis.
Jadi tahun 2005, kaki saya di dua tempat: sebagai pemilik, pengajar dan pengelola Kelompok Bermain dan Baby Class milik sendiri dan Waka Kurikulum SDIT.
Tahun 2006, saya diangkat menjadi pns dan ditempatkan di sebuah SMP. Kaki saya ada di tiga tempat.
Kesibukan-kesibukan yang berlipat itu, mengembalikan rasa percaya diri. Pelan-pelan, saya menemukan limpahan  kebaikan  Allah yang  luput saya perhatikan.
Hingga suatu waktu, seorang teman,  yang putrinya adalah generasi kedua sekolah dahulu, bertanya pada saya:
“Dulu, pas ngajar di SD anu, pernahkan terpikir akan keluar?”
“Tidak,” jawab saya.
“Sudah saya duga. Sebab panjenengan tidak ingin keluar dari sana, maka Allah keluarkan paksa dengan cara begitu. Supaya segera melupakan. Supaya punya sekolah sendiri. Supaya membantu sekolah ini. Supaya bisa jadi pns. Supaya jadi penulis. Dikeluarkan dengan paksa begitu, supaya punya semua yang dimiliki sekarang,” katanya, sambil menepuk-nepuk saya.
Begitulah.
Ketika saya menanyakan dan menunggu-nunggu hikmah diperlakukan secara menyakitkan, saya gagal menemukan. Ketika saya bergerak, banyak hal berdatangan.
Rasa sakit dan terpuruk itu, adalah pelecut kekuatan untuk bangkit.
Optimis, bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik. Bahkan dari kesakitan dan rasa perih.
Ini namanya curcol. Wehehehe. Benar kata salah satu teman saya, "Suatu waktu, ketika sudah legowo, kita akan mengenang kepedihan sambil tertawa. Mentertawakan ketidakmampuan kita menyikapi dengan baik."
Sepenuhnya benar. Telolet. Wahaha.


1 komentar:

  1. Terkadang kalau saya melewati jalan yang sulit, saya berpikir kira-kira Tuhan mau kasih saya jalan kemana ya.

    Optimis itu dibutuhkan banget disaat-saat berat seperti yang Mbak alami tersebut.

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.