MEREKA (SUDAH) PERNAH

Minggu, Desember 03, 2017


Jumat, 12 Rabi'ul Awwal, 1 Desember 2017, pagi hari. Tiba-tiba Mamah menelepon, dan memberi tahu bahwa sahabat almarhum Bapak, pensiunan Perhutani, meninggal dunia pagi tadi. Mamah meminta saya takziah ke sana.

Nenek Julak, salah satu janda pensiunan Perhutani yang sudah seperti kerabat, muncul. Mas Budi menawarkan Nenek Julak dan Nenek Muksin (janda pensiunan lainnya) untuk sama-sama berangkat bersama kami ke rumah duka.

Kami berangkat menjelang pukul setengah sepuluh pagi. jenazah sedang dimandikan, kami langsung menuju truang tengah. Bu Beni, isteri Almarhum, tengah duduk di kursi.
Nenek Mukhsin dan Nenek Julak memeluknya bergantian. Mereka bertangisan bersama.

"Aku sama siapa nanti?" kata Bu Beni.
'Aku sendirian. Siapa yang temani? Anak-anakku jauh-jauh." Bu Beni tak henti-henti mengusap air matanya. Nenek Muksin memeluknya erat, dan mengelus-elus tangannya.
"Gak usah dipikir, nanti ada temannya. Tetangga-tetangga juga kan jadi saudara," kata Nenek Muksin.

Seorang ibu, yang duduk di sebelah Bu Beni, mengangguk-angguk.
"Disini ibu-ibunya guyub, kompak," kata Ibu tersebut.

"Sing ikhlas... Semua sudah ditakdirkan. Kita menunggu giliran saja," Nenek Muksin masih menguatkan. Bu Beni terisak kecil, lalu mulai bercerita detik-detik terakhir Pak Beni almarhum.

"Dia seperti menunggu aku, nunggu aku lihat, baru pergi," katanya tersedu.
Pak Beni terjatuh dari tangga, dan langsung koma. Ada pendarahan di kepalanya. Beliau dirawat di ICU selama kurang lebih dua hari. Bu Beni tidak berani mendekati Pak Beni, tidak tega. Nenek Muksin, Nenek Julak, dan teman-teman pensiunan Perhutani bergantian membujuknya untuk menengok Pak Beni di ICU. Bu Beni akhirnya bersedia. Malam Jumat, Bu Beni masuk ruang ICU dan membisikkan kalimat thoyyibah di telinga suami tercinta. Hanya sebentar. Putrinya mengajak keluar sebab khawatir Ibundanya tidak kuat. Pagi hari, Bu Beni pulang ke rumah, hendak beres-beres. Saat itulah Pak Beni berpulang.

"Hidup ya begini, menunggu giliran. Kita yang tua tinggal menunggu," kata Nenek Muksin.
"Bukan yang tua saja Bu, saya juga menunggu. Belum tentu yang tua duluan, ya Bu," bisik saya. Nenek Muksin memandang, lalu mengangguk.

Jenazah yang dimandikan, hendak dikafani. Bu Beni diajak putri-putrinya untuk melihat yang terakhir kali.
"Kuat Bunda," kata putrinya, sambil membelai-belai wajah Bu Beni, mengusap air matanya. Anak beranak itu bangkit, menuju ruang depan. Kami duduk menunggu di ruang tengah.

Sholat jenazah dilakukan di masjid. Saya berhalangan, membawakan tas Nenek Julak dan Nenek Muksin. Saat itu, lewat sebuah mobil putih. Para penumpangnya turun tak jah dari rumah duka.
Saya mengenali mereka, teman-teman almarhum Bapak, para pensiunan Perhutani juga.

Jenazah dimakamkan di pemakaman Jambu, sekitar kolam renang. Saya menunggu di rumah duka, mas Budi ke pemakaman.
Kami berkumpul di ruang tamu.

Saya memperhatikan teman-teman almarhum Bapak. Usia rata-rata diatas 65 tahun. Mamah sendiri sudah 70 tahun.

Mereka semua pernah muda. Pernah berjaya, dalam arti sebenarnya. Pernah berkuasa.
Memiliki jabatan, dengan lingkup yang cukup luas. Menjadi pejabat di Perhutani cukup bergengsi. Dulu Perhutani menjadi salah satu BUMN yang makmur.

Melihat mereka sekarang, dengan usia sepuh, jejak kekuasaan dan jabatannya lenyap. Mereka menjadi orang-orang kebanyakan, sebegaimana orang-orang tua pada umumnya.
Yang 'mengenali jejak' mereka hanyalah orang-orang yang dahulu pernah berinteraksi. Dan jumlah orang-orang yang berinteraksi dengan mereka, baik langsung atau tidak langsung, juga semakin sedikit. Itu artinya, semakin sedikit pula 'jejak jabatan' mereka diketahui.

Saya tiba-tiba berpikir tentang watak manusia ketika muda, dan merasa punya jabatan, punya wewenang, punya kekuasaan. Entah memang benar-benar berkuasa, sebab kekuasaannya luas dan besar, meliputi kota dan wilayah tertentu. Atau sekedar sok kuasa, sebab sejatinya kekuasaannya hanya sebatas satu area, satu gedung, atau bahkan satu meja saja.

Betapa sering kekuasaan itu dikaitkan dengan harta, kenudahan akses mendapatkan fulus, uang belaka.
Ada sebutan tempat basah dan tempat kering.

Merasa berkuasa adalah watak primitif yang menyesatkan.
Betapa sering kita temui orang-orang yang berlagak petantang petenteng, merasa menjadi penentu nasib orang, lalu menetapkan standar ganda atas kewajiban dengan seenak perutnya.
Tugasnya kemudian dijadikan wasilah sebagai akses mendapatkan harta.
Jika ingin cepat diurus, beri pelicin, beri amplop.
Bila tidak, persulit saja. Atau minimal, tunaikan dengan ogah-ogahan, seenaknya sendiri, atau bahkan abaikan saja.

Kemudahan penunaian tugas dikaitkan dengan uang.
'Ibu Fulan, selalu beri saya amplop, sebab itu dia sangat saya mudahkan. Padanya saya bisa tersenyum sangat ramah, dengan bahasa yang halus dan penuh perhatian.'
'Ibu Fulanah, tak pernah beri saya duit, biar saja dipersulit. Tak perlu tersenyum ramah padanya, abaikan jika dia menunggu.'

Pernah menemukan yang demikian? Jika pernah, kasihanilah yang melakukannya.
Sebab sejatinya dia menjual amalnya dengan harga sedikit dan murah.

Melihat teman-teman almarhum Bapak, saya seperti diingatkan.
Mereka pernah muda, pernah berjaya, pernah berkuasa.
Berjaya, berkuasa, muda, adalah masa yang cepat berlalu. Cepat dilupakan, dari seseorang menjadi bukan siapa-siapa.

Tiba-tiba teringat pada seorang pensiunan bendahara sekolah yang bertemu dengan salah satu sahabat saya. Beliau berkata (kurang lebihnya) begini: "Dulu ketika masih menjabat, saya sakit sedikit, teman-teman ramai-ramai menengok. Bertemu saya, bersikap ramah dan menghargai. Setelah saya tidak menjabat, jarang yang bahkan mau menyapa dan tersenyum..."

Merasa berkuasa, mempunyai wewenang, menggenggam nasib orang lain adalah jebakan primitif yang melenakan.
Ingatlah, orang-orang tua yang kita lihat, mereka juga pernah muda, dan pernah berkuasa. Ringkihnya badan dan tak berdayanya mereka kini, semestinya menjadi pelajaran penting bagi kita.
Tak perlu jumawa dengan jabatan. Tidak usah sok kuasa. Pikirkanlah, kekuasaan yang kita miliki, sebesar apa dimanfaatkan untuk memperbanyak amal, mempermudah orang dan menebarkan manfaat?

Jejak kebaikan dan manfaat yang akan tetap lekat. Sementara label dan simbol kekuasaan akan lenyap begitu saja. Tak berbekas. Tak ada sisa.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.