REVIEW BUKU: SOERAT DARI SAMBAS, SEBUAH CATATAN

Rabu, Desember 20, 2017





Membaca memoar tokoh-tokoh terkenal itu, bagi saya, sesuatu. Merekam jejak pemikiran dan perasaan, mencoba menemukan energi dan ruh semangatnya dari larik-larik diksi.
Sekitar dua pekan lalu, saya diberi sebuah buku, yang berisi tulisan seorang perempuan yang hidup di era perang kemerdekaan. Namanya Yusida Armania Ardiati Hardigaloeh, kelahiran Mempawah. Tepatnya tanggal 11 bulan November 1927.
Ayahnya bernama Areani Hardigaloeh dan ibundanya Hamidah.
Buku ini istimewa buat saya.
Pertama, tidak banyak orang yang telaten menuliskan pengalaman hidupnya dalam buku harian. Buku harian, lho. Ditulis tangan, dicatat dalam buku. Butuh konsistensi tinggi agar bisa menyempatkan menulis. Jangan ukur dengan kemudahan teknologi saat ini. Catatan yang dibukukan itu dibuat dalam dua buku, Boekoe Satoe dan Boekoe Doea.

Motto yang ditulisnya adalah:
Kebahagiaan abadi
Ta’ lain hanja berbakti
Kepada Bangsa, Iboe Pertiwi
Dengan tekad serta keboletan hati

Dalam segala tindakan,
Haroelah waspada
Sesal kemoedian ta’ bergoena


Lagi-lagi yang saya garisbawahi dalam hati adalah, saat itu masih sangat jauh dari teknologi. Bacaan pastilah tak banyak. Informasi juga tak sembarang bisa dikejar. Diksi yang ditunjukkan lewat motto itu menunjukkan ketinggian level berpikir. Perempuan, lagi! Aih, apakah saya meremehkan kemampuan perempuan? Tentoelah tida’!
Jang koemaksoed adalah, keterbatasan akses informasi tida’lah menghalanginja memiliki pemikiran jang loeas dan dalam. Itoe pasti moencoel sebab didikan orang toea yang bervisi jauh poela! Moengkin oerang toeanja sama sekali tidak dipengaroehi oleh anggapan bahwa perempoean haroes di dapoer sadja, tak oesah berpikir berat-berat.

KISAH PROSES PENERBITAN

Membaca dan memindahkan catatan harian dalam buku bukanlah perkara sepele. Adalah Laora Arkeman yang berjasa melakukan proses itu terhadap buku ini.
Kemudian disunting oleh Chairil Gibran Ramadhan. Perancang sampul dan isi adalah Sarifudin Anwar. Penyelia rancangan isi adalah Syarwanih O’eng. Dicetak pertama kali oleh PADASAN, pada bulan November 2017.
Sampulnya adalah pensil conte pada kertas karya Ahmad Ridwan Tanjung. Sebagian dialognya berbahasa Belanda, dan telah diterjemahkan atas budi baik Dr Ahmad Sundjaya, Ketua Program Studi Belanda, FIB UI. Jumlah halaman adlaah 264 lembar. Foto-foto pelengkap di dalamnya adalah koleksi Budi Sulistianto, salah satu putera Yusida.
Semua tulisan di buku itu asli. Ditulis ulang oleh penerbit plek sama persis berikut ‘salah tulis2’nya dibiarkan saja,” cerita Kang Budi dalam chat WA-nya dengan saya.

Dalam salah satu koleksi foto yang dipampang, ada tulisan tangan Yusida. Khas orang dulu, huruf sambung yang rapi, teratur, dan indah. Tampak begitu halus dan lembut. Tak terbayang ribetnya memahami tulisan tersebut, terlebih ditulis dalam ejaan lama.

SEMANGAT BELAJAR

Hidoep di masa daholeoe, ketika sarana transportasi beloemlah memadai. Dicekam soeasana perang, dan hidoep mati ta` menentoe.
Ajahda dan Iboenda rela melepas dengan ihlas kepergian Yusida menoentoet ilmoe ke lain kota, agar bisa mengedjar cita-citanja. Yusida henda’ masoek sekolah kesehatan (nama lengkap sekolahnja, kaoe bacalah sendiri, jes!).
Ada ditoelis soempah Yusida pada halaman vii, jang berisi demikian:

Oh Ajahda jg tertjinta
Anakda berdjadji, demi kehormatankoe
Serta keloearga dan disertai nama Allah
Tetap mendjoendjoeng segala amanat dan pesan
Sampai napas pengakhiran
Semoga pendidikan jang diberikan kepadakoe
Akan tetap Anakda toeroeti dan
Anakda djadikan teladan disegala apapoen
Anak selamanja tabah menerima apapoen jg
Akan terdjadi atas koe dengan berdasar kebenaran

- Ayusida

See, keren Yusida ini. Beliau sudah mencanangkan tekad yang mantap. Saya yakin, pasti banyak juga perempuan-perempuan lain yang memeiliki tekad sama baiknya dengannya. Tapi berapa banyak yang menuliskannya secara serius demikian? Kekuatan pena memang dahsyat! Ia bisa menyemburkan semangat dalam lubuk hati hingga menyebar kepada pembacanya dan membri inspirasi baru.
Eh, kenapa saya gak nulis pakai ejaan lama lagi, ya? Ahaha. Pegel juga nulis model begitu, mikirnya dobel!

Hal lain lagi, Ibunda dari Yusida ini memperhatikan benar bagaimana cara mendidik dan menanamkan tanggung jawab pada putrinya yang akan merantau. Secara khusus, didatanginya Yusida di kamar dan diajak bicara berdua saja. Tertulis demikian:
Amanat jang ta’kan koeloepakan adalah:
1.Djaga kehormatanmoe
2.Djaga nama Iboe, Bapak dan keloeargamoe
3.Tabahkan hati menghadapi segala penderitaan
4.Pikir kalau hendak melakoekan sesoeatoe
5.Djangan mentjari kedjahatan orang
6.Belajarlah segala apa jang berafedah dengan segiat2nja
7.... (batja sendiri selanjoetja, ja, soepaja meresap segala nasehat Iboenda...)


Ada quote keren yang benar-benar menggugah hati saya. Begini bunyinya:
Belajar berpikir, belajar memutuskan
Belajar bertindak mandiri
Belajar pad apenilaian sendiri untuk percaya

Kenali dirimu sendiri, kenali dirimu dalam segala hal
Kenali terutama titikt-titik lemahmu, baik
Dari tubuhmu, maupun karaktermu
Pada khususnya kau harus mengembangkan kehormatan


Apakah dikau bertanya-tanya, mengapa tidak ditulis dalam ejaan lama? Sebab bahasa asli tulisan itu adalah bahasa Belanda! Kalau kukutip aslinya, khawatir banyak yang gak mudeng sepertiku!



INSPIRING!

Terpukau daku membaca pikiran-pikiran Yusida, terutama di buku satu. Usahanya dalam belajar, ketahanan dan ketabahan melerai segala duka perantauan (remember, situasinya sangat berbeda dengan sekarang, lho! Ini tahun 1940-an, Guys. Masa sulit pra dan pasca kemerdekaan!). Kecerdasan yang ditopang kerja keras, mengantarnya pada nilai-nilai yang gemilang.

KISAH LAINNYA?

Ada percintaan, persahabatan, kasih sayang, kesetiakawanan yang menjadi bagian hidup Yusida. Ketulusan hati, kesungguhan membuktikan kelurusan niat, digambarkan dalam berbagai petikan-petikan penting dalam hidupnya. Termasuk didalamnya perjuangan untuk berpuasa, di tengah kekhawatiran jajaran pembinanya di sekolah. Yusida dan kawan-kawan berhasil membuktikan bahwa berpuasa di bulan Ramadhan sama sekali tidak mengurangi produktivitas dan semangat belajar mereka. Amazing!

Catatan ini, mengajarkan bahwa tekad dan azam melakukan sesuatu harus disandarkan pada kemuliaan tujuan!

Beli dan baca, yuk. Mari bercermin dari kisah hidup masa lalu seorang perempuan yang bertekad baja dan tahu bagaimana memperjuangkannya!

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.