ADA APA DENGAN INDONESIA?

Rabu, Oktober 03, 2018
Ada apa dengan negeriku?
Bertubi-tubi bencana mampir. Tidak cuma mampir. Ia menetap berpekan-pekan mengubur impian. Memutus angan-angan. Terkejut, terkesiap, terduduk manusia dalam kelemahan.
Lombok berduka. Gempa susul menyusul menggetarkan. Uang tak ada harganya. Sebab harga-harga melejit menuju keserakahan. Para penjual kemaruk disumpah dalam duka yang panjang.
“Kami doakan, Bapak dilaknat!” Demikian sumpah orang-orang menderita yang dicekik lehernya.Si Fulan kemaruk bergeming. Terpal naik tiga hingga empat kali lipat. Perempuan, anak-anak, menetap di jalanan. Bersama tetangga, sanak kerabat, handai taulan. Mereka merajut harapan dengan merangkai kekuatan. Saling menolong. Saling memasakkan. Saling memudahkan. Para bapak siaga penuh. Rumah-rumah yang kosong diburu garong. MEreka menghembuskan isu tsunami. HAnya agar penghuni rumah berlari lintang pukang, meninggalkan barang-barang. Lalu para garong itu akan berpestapora menikmati jarahannya. Sekali dua, rakyat tertipu. Berikutnya tak ada ampun. Mereka membentuk cara antisipasi yang sederhana: menunjuk pengamat di tiap titik,. Bermodalkan ponsel mereka saling berkomunikasi.
Maka kemudian inilah yang terjadi. Setiap ada teriakan tsunami, penduduk sigap mengejar si penyebar isu. Dihajar beramai-ramai agar jera. Cukup efektif. Penyebar hoax itu tak berani lagi berulah.


Ada apa dengan negeriku?
Lombok berduka sangat. Rakyat geleng-geleng kepala. Konon menurut cerita kerabat di sana, ada yang kirimkan makanan ternak. Untuk apa? Untuk para pengungsi, kah? Bukan, katanya. Untuk ternak. Ternak yang mana? Sudah banyak yang bergelimpangan, tak sempat larikan diri dari guncangan. Mereka tak seperti manusia yang faham isyarat tanda bahaya. Mereka cuma mengandalkan insting hewani. Tak pernah diajarkan mitigasi bencana. Maka pengirim makanan ternak itu diabaikan. Dibiarkan dengan busa-busa berita.
“Sudah hilang kepercayaan,” kata kerabat. Ya, bencana yang dijadikan sandiwara polesan, hanya akan menghasilkan bedak dan gincu saja. Tak ada yang peduli dengan bedak dan gincu. Sebab kengerian menghadapi kematian telah menjadi bayang-bayang seram. Peduli amat bedak dan gincu. Peduli amat pensil alis. Dan peduli amat kamera yang memoles ketakpedulian menjadi kepahlawanan.
Ada apa dengan negeriku?
Belum usai, terbit gempa dan tsunai di Palu. Tidak cukup hanya itu. Bertambah dengan tanah yang berjalan dan menenggelamkan satu desa. Kekuasaan Allah SUbhanahu waTa’ala dipertontonkan dalam hitungan menit. Sebentar. Sekejap. Tapi yang sekian menit tak terbantahkan. Tak bisa dihentikan apalagi dilawan. Satu perkampungan hilang, amblas ke bumi. MEmandang rekaman video amatir dengan kengerian berlipat-lipat. Laa haula walaa quwwata illa billah. Kesombongan manusia runtuh di depan fenomena alam yang berlangsung sekian menit. Hanya sekian menit. Namun menelan sekejap kerja manusia bertanuh-tahun. Ya Allah.
Rumah berjalan. Pohon melaju. Tanah berkelok-kelok. Yang hendak lari harus waspada dengan patahan tanah dan bongkahan batu, Tiba-tiba menganga, siap menarik kaki-kaki manusia yang telah sampai pada takdirNya. Allah, tak ada daya upaya kecuali karena pertolonganmu semata.
Seorang Ibu diwawancara. Beliau salah satu saksi mata. Bercerita dengan tangis tak berkesudahan. Kengerian ditampakkan dalam hela nafas yang putus-putus, isak tangis, sorot mata tak berdaya sekaligus ketakutan.
“Saya berpegangan erat-erat pada tiang besar,” katanya hampir berteriak.

Beredar kisah di WA, tulisan ini:
Kisah Dr Eka Erwansyah, dosen kedokteran Unhas anggota tim relawan Unhas :
Bencana Palu dlm pandangan sy bukan hanya Bencana Luarbiasa, tapi Sungguh Sangat Luabiasa.
Biasa dlm suatu bencana hanya ada 1 atau 2 "pembunuh". Biasanya gempa saja, atau Gempa plus tsunami.
Bencana Aceh didahului gempa tapi "sang pembunuh" sebenarnya adalah hanya 1 yaitu tsunami.
Nah di Palu ada TIGA "Sang Pembunuh":
1. gempa (banyak korban tertimbun reruntuhan bangunan)
2. Tsunami (sekitar 1000 org disekitar pantai sedang persiapan Festival Nomini) tersapu oleh tsunami.
3. Lumpur. (Ada perkampungan yg hilang akibat lumpur yg menyembur dari dlm bumi dan dalam sekejap menenggelamkan 1 perkampungan. Diperkirakan sekitar 700 orang terkubur hidup2.. ada juga sekitar 200 orang siswa SMA sedang kemah juga terkubur dlm lumpur yg tiba2 menyembur dan menimbun mereka).
Kebetulan Sy dan Teman2 yg tergabung dlm Tim DVI Unhas sudah berada di lokasi sejak kemaren pagi. Kampung yg hilang itu Kampung Petobo, daerah Sigi.
Kemaren saat yg menghimpun data ante mortem korban, sy tdk kuasa tahan tangis.
Seorang Bapak yg melaporkan anaknya yg hilang. Dia curhat. Ketika itu antarkan anaknya mengaji.. rumahnya dan rumah tempat mengaji hanya dipisahkan oleh jembatan..
Begitu anaknya didrop, dia balik ke rumahnya.. baru mau masuk ke rumah tiba mendengar bunyi bbluuumm.. dia balik badan dan hanya melihat hamparan tanah kosong berlumpur.. kemana perginya rumah2 satu perkampungan??? Hanya dlm hitungan detik..

Ada apa dengan negeriku?
Bertubi-tubinya bencana, mestinya menjadi pengingat bagi manusia. Bagi para pemimpin. Bagi para ulama. Bagi para rakyat.
Taubat. Taubat nasional. Allah Subhanahu waTa’ala berikan teguran dan peringatan atas kekhilafan yang terus menerus dipertontonkan. Kisah seorang Ibu di Palu yang mengunggah status tentang pilihannya yang tak akan berubah pada petahana walau Palu diguncang gempa. Status sombong dan ngawur. Bencana yang dijadikan bahan canda, dibayar tunai. Kesilapan kecil itu menjadi pengingat: secinta apapun pada seseorang, jadanganlah menjadikan fanatisme berlebihan dan hilang akal. Apalagi sampai menyebut-nyebut bencana sebagai ilustrasi.

Astaghfirullah, irhamnaa yaa arhamar Raahimiin.
Ampuni dosa para korban, rahmati mereka, ya Allah.
Ampuni kami yang masih hidup, beri kemampuan dan kekuatan pada kami untuk bertaubat dan beramal shalih disisa hidup kami. Allahummaa Aamiin
.

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia
Jombang, 2 Oktober 2018, 00.49 WIB

Note: sumber gambar: kontan.co.id

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.