EMAK-EMAK REMPONG

Jumat, Oktober 05, 2018
Narti sibuk melihat hapenya. Tangannya mengusap-usap layar dengan cepat. Membuka group alumni Sd. Beberapa teman sedang mengomentari video yang dibagi. Narti memutar sejenak, lalu menyudahi sambil beristighfar. Video itu berisi lelucon jorok dan vulgar yang sama sekali tidak lucu. Ada teman perempuan yang malah membumbui dengan komentar vulgar tambahan. Narti tidak mengerti, apakah tidak ada perasaan risih di hati mereka.
Narti membuka group lainnya. Alumni SMA. Group itu membahas kegiatan yang dilaksanakan pekan lalu. Jalan-jalan ke Malang. Ada tujuh belas orang yang ikut. Narti tidak bisa bergabung, karena ada kegiatan ‘gathering keluarga’ di kantor Mas Ari.
“Narti kapan ikut?” Sugeng, yang tinggal di Bojonegoro sempat bertanya di group.
“Belum bisa, maaf. Ada acara.” Narti menyertakan emoticon tangan yang ditangkupkan.
“Kapan Narti tidak ada acara? Seingatku sibuk terus..,” Sari menimpali. Sari tinggal di Yogya. Suaminya pengusaha kaya raya. Biasanya Sari menjadi sponsor utama kegiatan pertemuan alumni kelas SMA ini.
Narti membaca chat Sari sambil meringis. Ada benarnya. Beberapa kali rekreasi alumni bersamaan dengan kegiatan dinas. Sebenanrnya itu bukan alasan utama. Yang paling utama adalah Mas Ari belum pernah mengijinkan Narti untuk bergabung. Karena satu dua alasan. Dan Narti memahami serta menerima keberatan itu.
Ada chat pribadi masuk.
“Yu, tanggal sembilan September ke Surabaya, ya?” Bu Farah, tetangga belakang, kirim pesan WA.
“Sebentar, lihat agenda dulu,” Narti membalas.
“Gayaaaa... Orang sibuk!”
“Biasaaaa... Artis!”
“Artis tivi?”
“Bukaaan.. Artis rumah!”
Bu Farah mengirim emoticon ‘melet’. Narti tertawa kecil.
“Banyak fansnya, Yu?”
“Lumayan, tiap hari dicari-cari.”
“Wah, mantap!”
“Iya dong, ketua fansnya Mas Ari, anggotanya...anak-anak!”

Bu Farah mengirimkan emoticon ‘melet’ dan tertawa guling-guling. Narti balas mengirim emot perempuan menari.
Terdengar suara berdesis di belakang. Narti terhenyak, lalu lari terbirit-birit. Air di panci, yang sedang direbus, tinggal sedikit. Narti buru-buru mematikan kompor. Air panas itu semula akan dituang ke ember untuk merendam pakaian dalam anak-anak. Narti mengisi kembali panci, dan menyimpannya di atas kompor. Lima belas menit lagi insyaaAllah mendidih.
Narti beringsut ke ruang tengah. Mengambil Al Quran dan membuka juz 24. Masih kurang separuh dari satu juz yang ditargetkan. Al Quran sudah di pangkuannya, ketika hapenya bergetar pelan. Ada percakapan di group kelas SMA yang sedang seru. Mengenai foto Ana, salah satu anggota group. Konon foto itu diposting di group sebelah, kumpulan para alumni satu SMA.
“Viraaaaaal!!” Sari memberikan komentar.
“Ada artis dadakan! Itu pasti diposting Jamal, pengagum Ana.” Itu komentar Warto.
“Aku cemburuuuh..!” Condro mengeluarkan emoticon ‘mewek’.
Riuh rendah pelbagai komentar silih berganti masuk. Narti membacanya sambil tersenyum geli. Pembahasan berlanjut pada kisah asmara beberapa anggota group kala SMA. Wah, buka kartu semua! Narti tidak ingin ikut berkomentar. Dia jadi pengamat saja, yang membaca sambil sesekali terkekeh-kekeh.

“Yuuuu! Assalamualaikum!” Tiba-tiba Bu Farah sudah berdiri di depan pintu. Narti terlonjak.
“Dooooh... Rajinnya, jam segini mengaji!” Bu Farah menatap lekat pada al Quran di pangkuan Narti. Narti tersipu malu. Sedari tadi Al Quran hanya dibuka saja, belum dibaca sama sekali.
“Jadi ingat anakku,” Bu Farah berkata sambil menuju kursi di depan Narti,” Eh, aku duduk, ya Yu!”
Sebelum Narti mengangguk, Bu Farah sudah menarik kursi di depan Narti.
“Aku ingat anakku, berkali-kali minta aku belajar mengaji. Sampai sekarang belum kupenuhi. Kutunda-tunda terus. Kemarin katanya begini: “Mama, minggu depan tahun baru Islam. Kita buat resolusi, ya Ma!”
“Sudah buat?” Narti menyela.
“Belum. Resolusi itu sejenis target-target, gitu ya? Kata anakku begini: ‘Tahun 1440 Hijryah mendatang, Mama dan Papa bisa mengaji lancar.’ Ya Allah, aku malu, Yu. Doakan ya, aku bisa selancar Yu Narti. Biar bisa mengaji banyak seperti Yu Narti sekarang...” Bu Farah masih memandang Al Quran di pangkuan Narti.
Narti tercekat.
Malu. Malu hatinya luar biasa. Sedari tadi, sejak setengah jam lalu, belum dibaca seayat pun. Narti sibuk dengan hapenya. Bu Farah membuat resolusi demikian.
“Yu, suara apa itu?” Bu Farah menajamkan telinganya. Sudara mendesis yang kencang dari arah dapur.
Narti melesat ke dapur. Air rebusnya lagi-lagi....habis!! Astaghfirullah!

Dimuat di majalah LAZ UQ
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.