MENTAL LITERASI

Kamis, Oktober 04, 2018
Tadi pagi, setelah mengajar, bersama Beb Aini, kami ke kantin. Langganan kami, Mbak Lis, berjualan pecel, ayam goreng, lele goreng, lalapan, mie, dll. Minuman aneka jus.
Beb Aini memilih membeli bakso. Kami sarapan dengan berbagai cerirta mengenai protesnya anak-anak. Beb Aini bercerita bahwa siswanya diberi peluang untuk bertukar pikiran, atau protes, asal dialog berjalan sehat; tidak menjatuhkan.
“Saya ajari mereka untuk berdebat dengan logika yang benar,” katanya.

Jadi ingat protesnya satu siswa di kelas.
“Bu, kenapa kita fullday? Capek. Kenapa tidak seperti negara Finlandia? Sekolahnya tidak fullday.”
Hm, menarik. Mungkin dia sudah membaca beda sekolah di Indonesia dan di Finlandia.
“Boleh saja kalau mau begitu. Mari kita bandingkan secara keseleuruhan. Di kita, belajar fullday, di sana, tidak. Banyak liburnya, ya? Bandingkan lagi yang lainnya, yuk. Di Finlandia, siswanya membaca puluhan buku dalam setahun. Pelajar Indonesia? Berapa buku?” Saya mengedarkan pandangan. Suka sekali jika sudah membahas ini di kelas mana pun.
“Saya mengamati buku laporan literasi kalian, geleng-geleng kepala. Kebanyakan satu bulan, satu buku gak kelar-kelar. Padahal jumlah halaman cum seratusan. Ada tuh, di kelas lain, dari Agustus sampai sekarang, September, judul bukunya sama aja: Pocong Galau. Masa iya, baca buku sejenis itu, sebulan gak selesai?” Anak-anak tertawa.
“Coba deh, ngaku, yang selama sebulan, satu buku belum khatam juga, ngacung?” Satu-satu tunjuk jari, malu-malu. Yaaah, hampir sekelas, hadirin!
“Nah, gitu mau membandingkan dengan Finlandia. Lha wong kualitas muridnya aja kalah jauh. Mereka bisa belajar hanya sekian jam sehari, sebab sudah sangat lekat dengan budaya literasi. Kasih tugas jalan, baca ini, baca itu. Lha kalian, dikasih tugas, maunya copy paste saja!” Suasana makin riuh.
“Jadi, gaes, kalau mau membandingkan, secara keseluruhan. Lalu biasakan membandingkan apa pun dengan yang setara, apple to apple. Jangan apple to banana!” Gelak-gelak tawa semakin keras.
“Sebentar, saya tanya, kalian membaca hanya pagi hari, 15 menit, pas literasi saja?”
“Iya, Buuuu! Kan mendingan dari pada tidak sama sekali!” Haha, pinter juga ngelesnya!
“Iya juga sih. Tapi mbok ya, ditambah, gitu.” Mereka senyum-senyum saja.

GERAKAN YANG TERTINGGAL
Saya jadi ingat anak-anak SDIT Al Ummah angkatan pertama hingga ketiga dulu. Kami mendirikannya tahun 2000. Yang dijadikan model percontohan adalah SD AL Hikmah, Surabaya. Saya kagum dengan minat baca siswa di sana. Grafik kunjungan luar biasa, grafik peminjaman juga keren. Ada mata pelajaran khusus yang membuat mereka dekat dengan buku dan perpustakaan. Namanya pelajaran Perpustakaan. Isinya macam-macam, bergantung jenjang. Kelas I, kegiatan berdongeng, dan pengenalan adab perpus. Bagaimana cara meminjam buku, bagaimana cara mengembalikan, adab antri, adab masuk dan di dalam perpus. Komplit. Saat itu, tahun 2000, pembiasaan model begitu terasa sangat kereeeen. Belum ada gerakan literasi di sekolah-sekolah lain, tapi mereka sudah mendahului dengan berbagai langkah inovatif.
Kami meniru semuanya, dengan berbagai penyesuaian yang perlu, sesuai keterbatasan sarana. Ada jam perpustakaan, diisi dongeng dan membacakan buku, dilanjut dengan mereka membaca buku masing-masing.
Di bagian belakang kelas , disediakan rak buku. Anak-anak juga membawa buku bacaan dari rumah. Perpus sekolah cuma ruang kecil, ukuran 2 x 4 saja. Buku-buku sumbangan dari para guru. Aktivitas membaca buku dilakukan setelah mengerjakan latihan, mengerjakan soal ulangan. Pokoknya pas menganggur di kelas, baca. Itulah inti program ini: mengondisikan anak-anak agar selalu dekat dengan buku. Sarana prasarana yang terbatas bukan halangan. Semua guru nendukung, satu visi. Kami juga menyimpan buku bacaan di meja masing-masing.
Hasilnya ternyata diluar dugaan kami. Orang tua geleng-geleng kepala melihat kutu-bukunya mereka. Dijemput sore hari tak mau pulang. Mereka memilih pinjam buku di perpus, lalu tengkurap di masjid. Membaca.

“Anak saya diapakan ustadzah, sampai begitu?” Diapakan? Tidak diapa-apakan. Tidak pakai suwuk, tidak pakai sihir, atau wirid-wirid istimewa. Cukup biasakan, sediakan satu dua buku, beri contoh. Itu yang paling penting. Beri contoh. Kita tidak bisa membagi apa yang kita tidak punya. Bagaimana bisa menyuruh suka membaca jika diri sendiri tak suka membaca?
Seluruh kegiatan itu, di Al Ummah, maksud saya, tidak pakai embel-embel nama kegiatan Gerakan Literasi. Tidak ada banner. Tidak ada sosialisasi ke anak-anak dengan pidato : ini gerakan literasi bla, bla, bla. Just do it. Just act it out. And be a good example. Efeknya lebih besar, sebab para ustadz ustadzah saat itu gila buku semua. Sederhana, bukan? Yang demikian lebih punya ruh dan berkesan bagi anak-anak.

Pengalaman saya itu saya ceritakan di kelas-kelas tertentu.
“Jadi, gerakan literasi kita ini, ketinggalan ya, Bu?”
“Banget! Tapi mending lah, dimulai. Sebab itu, sebab kalian sudah terlambat memulainya, lakukan percepatan!”
Mereka senyum-senyum. Pekan berikutnya, lumayan. Saat gerakan literasi, anak-anak serius membaca. Suasananya menyenangkan.

URUSAN MENTAL



Balik ke penjual bakso itu yuk!
Namanya Mbak Wiwik. Dia menunggu warung baksonya sambil membaca buku. Tidak tanggung-tanggung. Ada 3 novel tebal-tebal di dekat raknya. Novelnya sendiri. Saya ingat seseorang yang mengomentari buku seharga seratus ribu ‘mahal’, sementara harga sepatunya diatas lima ratus ribu. Wow.
Literasi itu urusan mental, bukan urusan punya tak punya dana.
Seorang teman penulis mengutip quote seseorang (saya lupa siapa namanya). Isinya begini:
Orang miskin itu televisinya besar, bukunya sedikit. Orang kaya itu, tivinya kecil, bukunya banyak.

Merasa tersindir? Maapkeun, saya hanya mengutip saja.

Mbak Wiwik itu inspirasi kecil yang menggugah, di tengah geliat literasi di sekolah ini. Walau terlambat (delapan belas tahun dari AL Ummah, SD fullday pertama di Jombang), setidaknya prosesnya berjalan.
Semangat!

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia
DI SMKN 1, tempat kost, Kamis 04 Oktober 2018. Pukul 09.30 WIB

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.