SANG PENJAGA (BULLYING BAGIAN 1)

Selasa, Oktober 09, 2018
“Di sekolahku ada kasus bullying,” kata Najma, dua pekan lalu, ketika akan berangkat kemah.
“Bullying apa? Siapa?” Saya dan Ayah pasang telinga.
“Begini. Kan kita disuruh nulis, siapa kakak panitia yang dianggap tidak layak jadi panitia. Kan ada kakak yang tidak disenangi teman-temanku. Terus, ternyata dari teman-teman muslim, muncul nama itu. Nah, kakak itu dicoret dari daftar nama panitia. Dia tidak boleh ikut kemah,” kata Najma.
Saat masih kelas tujuh, beberapa kali Najma menceritakan ‘intimidasi’ kakak kelas terhadap kelasnya. Cerita Najma, pernah ada tulisan di papan tulis di kelas yang berisi kalimat ejekan. Juga sikap-sikap yang melecehkan, ungkapan verbal yang tidak enak di dengar. Kami mendorongnya untuk bersikap asertif, sekaligus juga mendiskusikan bagaimana mestinya seorang kakak kelas pada adik kelasnya. Mengayomi, melindungi, dan membimbing.
“Adik kelasmu kelak butuh bimbingan. Jangan jadi kakak kelas yang sok kuasa, menyebalkan. Sudah tahu gak enaknya digitukan, maka jangan berlaku begitu pada orang lain.”



Saya sendiri pernah mendapati kasus serupa, dengan bobot yang lebih serius. Satu jurusan, sekelompok siswi kelas XII membully adik-adiknya di kelas XI dan X. Kelompok cewek ini, sok hebat. Mereka, jika tidak suka pada seseorang dari adik kelasnya, akan datang beramai-ramai ke kelas dan mengintimidasi di depan seluruh peghuni kelas. Kebetulan yang menjadi korban, salah satunya adalah siswi di kelas perwalian saya. Dan kebetulan, saya juga mengajar di kelas kelompok pembully itu , walau hanya di Program Intensif Belajar. Yaitu les tambahan sore hari bagi kelas XII.
“Mereka datang menggebrak-gebrak meja, Bu,” cerita salah satu korban.
“Masalahnya apa?”
“Katanya kami tidak sopan pada kakak kelas. Atau hanya karena salah satu dari kami melirik, dan ketahuan,” kata yang lain.
What? Nggak banget.
“Tapi mereka beraninya ramai-ramai Bu, kalau sendirian mereka tidak berani. Cenderung menghindar.” Ih, watak pengecut kok dipelihara.
Nafsu berkuasa memang nafsu primitif yang bisa menjadi penghalang kebaikan. Kisah para pemuka Quraisy yang menolak dakwah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, sebab khawatir pamor kekuasaannya akan runtuh. Atau kisah dakwah NAbi Musa ‘alaihissalam kepada Raja Firaun. Raja Firaun menolak sebab merasa lebih berkuasa, bahkan menganggap dirinya Tuhan.

Suatu waktu, sengaja saya membahas perkara bullying di kelas mereka. Saya lupa persisnya kalimat yang saya ucapkan, namun intinya demikian:
“Tidak seorang pun boleh merasa berhak mengintimidasi orang lain. Hatta dia pintar, kaya, ganteng, cantik, atau punya jabatan. Pintar, kaya, dan punya jabatan memang modal orang untuk sombong. Kalau mereka sombong, logis, walau tetap salah dan tidak bisa dibenarkan. Lha, yang heran itu, kalau ada yang tidak kaya, tidak pintar, tidak cantik, tidak punya jabatan, terus sombong. Petantang petenteng, sok kuasa. Mengintimidasi orang lain. Yang mau dijadikan alat buat sikap sok kuasa itu apa?” Saya menandaskan bagian: tidak kaya, tidak pintar, tidak cantik. Sebab sekelompok pembully itu juga tidak cantik, tidak kaya, tidak pintar. Saya ingin mereka berkaca, bahwa secara personal, mereka tidak layak menyombongkan apapun, atau merasa pantas sok kuasa, sebab tidak ada modalnya.
“Jadi hati-hati, jika saya dengar ada kasus pembulyan terhadap adik-adik kelasmu lagi, kalian akan berhadapan dengan saya.” Saya kejam? Saya sok kuasa? Kadangkala, menghentikan kesombongan orang yang ‘merasa berkuasa’ itu perlu dilakukan dengan menegaskan kekuasaan diri di hadapan kesombongan mereka.
Di sisi lain, saat-saat yang memungkinkan, beberapa kali saya mengobrol dengan para pembully secara personal, saat sendirian. Tidak untuk mengorek-ngorek, tapi sekedar mengobrol as a friend. Lucunya, mereka bermanis-manis di depan saya. Merunduk-runduk. Ketua jurusan dan satu dua guru produktifnya ikut membantu. Pengawasan bersama memang lebih efektif dan lebih melekat. Jadi ingat istilah masa Orde Baru: WasKat. Pengawasan Melekat.
Kasus pembullyan tidak saya dengar lagi. Entah sebab mereka tutupi dari saya, atau benar-benar tidak terjadi.
**
Kembali pada Najma.
“Mas itu (namanya rahasia) ternyata tidak terima. Dia menuduh yang kasih tahu Ustadzah itu anak kelas tujuh, namanya blabla. Anak itu ditendangi di asrama,” papar Najma.
Sejujurnya, saya shock.
Si korban, bagaimana dampak psikologisnya? Bagaiman perasaan orang tuanya jika tahu anaknya ditendangi? Oh, jika saya yang mengalami itu, saya akan datangi rumah pembully. Saya akan berbicara serius dengan orang tuanya, sebagai sesama orang tua. Saya juga akan bicara dengan si pembully, sebagai orang tua yang punya anak seperti dia. Saya akan… Entahlah. Na’udzubillahi in dzalik. Semoga Allah jaga anak-anak dimanapun berada.
Pembully itu, apa yang dipikirkannya? Bagaimana dia memandang persoalan dan bagaimana dia menemukan ide bahwa solusi masalah adalah dengan mengintimidasi dan melakukan kekerasan fisik? Dari mana dia belajar menyalurkan nafsu primitif sok kuasanya?
Oh, saya terlalu lugu, barangkali. Mungkin sebab anak laki-laki saya masih kecil. Mungkin sebab saya belum tahu ganasnya lingkungan pelajar saat ini.

“Lalu? Apa yang dilakukan sekolah?”
“Aku lihat tadi di sekolah, ada orang tuanya blabla (korban), ada juga orang tua dia (pembully). Dia diskors, Bunda.”
Pembicaraan masih berlanjut. Ayah sempat memberi contoh efek bullying yang terjadi di sekolah.
"Korban akan memendam dendam. Perasaan tidak berdaya bisa memicu dia bersikap lebih agresif, melakukan pembalasan dengan cara yang lebih sadis. Di Surabaya, ada korban bully yang menusuk pembullynya. Jadi dia bawa pisau ke sekolah, dan mencederai pembully hingga masuk rumah sakit."
Innalillahi. Ya Allah, kami begidik ngeri mendengarnya.
BERSAMBUNG

ABaTa, Selasa, 09 Oktober 2018. 22.22 WIB
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.