TAEKWONDO HAFIDZ

Senin, Oktober 01, 2018


(Ahad, 30 September 2018)
Hari ini Hafidz ujian taekwondo, kenaikan tingkat dari sabuk kuning ke sabuk kuning strip hijau. Sepertinya Hafidz yang paling kecil, sebab peserta lain rata2 SMP atau SMA.
Minuman spesial yang hafidz bawa adalah coklat manis buatan Bunda. Dengan bahan bubuk coklat khusus dari Kampung Coklat, Blitar.
Ini minuman andalan kesukaan anak-anak.
Beberapa sendok bubuk coklat, krimer putih, plus kental manis coklat sedikit saja. Lebih dominan bubuk coklatnya, sehingga sedikit pekat. Hasilnya, minuman coklat dingim yang sedap dan tidak ada duanya. Sebab hanya ada satu, ya yang saya buat itu.

Semalam, saat makan malam, kami berbincang.
"Besok ujian sabuk diantar Ayah, ya."
"Bunda kemana?"
"Di rumah.'
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa. Cuma nemani mba zahra sama mba Najma."
"Gimana kalau sama Ayah?"
"Maksudnya?"
"Ayah di rumah sama mba Zahra dan mba Najma."
"Kakak mau diantar Bunda, gitu kah?"
"Iya." Dia malu-malu.
"Hehehe. Ya, sama Bunda kalau gitu."
Saya sampaikan pada Ayahnya, yang kemudian tergelak-gelak.
"Memang kenaikan tingkat dulu banyak emak-emaknya, kan? Sedikit yang diantar Bapak-bapak."
Wehehehe. Benar juga, kenapa ya?
Wait, jadi ingin menceritakan gaya Hafidz meminta sesuatu.

“Aku tuh kemarin lihat mainan bla, bla, bla.”
“Di mana?”
“DI toko mainan.”
“Ooh. Kakak pengen?”
“Bunda ada uang?”
“Gak tahu, tergantung harganya.”
“Ooh, kalau ada uangnya, boleh.”
“Ooh, ya, nanti kita tanya Ayah dulu.”
Begitu. Diplomasi yang manis juga.
**
Nah, sekarang saya disini. Di depan aula SMKN 2 JOMBANG. Saya baru satu-satunya emak yang nongkrong. Berbekal minuman coklat, biskuit, kerupuk, air putih. Datang seorang Ibu dan Ayah, yang menyusul puteranya. SD? Bukan, puteranya sekolah di SMK kelas X. Sang Ayah pergi, Ibunya yang menunggui. Ha, ada teman nongkrong deh.
Muncul lagi seorang Ibu bersama putera kecilnya. Alhamdulilah, Hafidz ada teman, sesama anak kecil.
Oh ya, cerita dulu ah, awal mula Hafidz ikut taekwondo.
Ini sejak setahun lalu. Semula dia ikut tapak suci di sekolahnya. Membeli seragam dan bersemangat. Tapi beberapa kali menjemput, saya lihat dia sibuk...main air atau main tanah!
Dia hengkang dari barisan, menyusup bersama sesama pembelot, menuju kran dan tumpukan tanah. Laluu... terciptalah gunung, terowongan, danau!
Pekan berikutnya, dia mogok total. Enggan melanjutkan. Bajunya terlipat rapi. Sementara celana tapak suci sesekali dipakai tidur.

Suatu waktu, saya mengajak Hafidz melihat latihan taekwondo di SMKN 1. Beberapa kali saya lihat anak-anak yang ikut berlatih. Ibunya yang bercadar menemani.
"Mau ikut?"
"Emmm..."
Jika begitu responnya, itu tanda dia tidak berminat. Maka saya berhenti bertanya. Kali lain, dia menonton latihan lagi.
“Mau ikut?”
“Sama siapa?”
“Sama Bunda, ditemani sampai selesai.”
“Aku takut kena pukul.”
“Ini latihan, bukan tanding. Belajar jurus-jurus.”
“...”
“Kalau mau, Bunda daftarkan.”
“Aku pikir dulu.”
Oh ya, baiklah. Dia berpikir, mengamati, bertanya sesekali. Memastikan saya benar-benar menungguinya selama latihan. Beberapa pekan, barulah dia mau.
Tepat latihan pertamanya, pelatih bukan seperti biasanya. Yang ini lebih muda, lebih garang pula. Para peserta disuruh keliling lapangan enam kali. Saya sudah khawatir Hafidz jadi kapok.
“Aku gak mau taekwondo lagi!” katanya lirih.
“Kenapa?”
“Masa aku disuruh lari enam kali. Mau putus nafasku!” Sergahnya. Saya hampir tertawa mendengar ‘mau putus nafasku’ itu. Tapi wajah sendunya bikin saya kasihan. Kasihan campur geli. Bergantian saya dan Mas Budi merayunya. Alhamdulillah, tidak jadi mundur.
Cukup sekian sejarahnya.
**
Ujian kenaikan tingkat ini langsung dinilai oleh bapak Tarigan, ketua taekwondo Jawa Timur. Jadi untuk memulai, peserta harus menunggu beliau. Kami tiba menjelang pukul setengah dua belas. Hafidz sudah ribut terus minta berangkat sejak pukul sebelas. Takut terlambat. Selain alasan tersebut, alasan lainnya adalah: beli camilan dulu.
Kami bertemu Sabeum Alzi.
“Ujian dimulai sekitar pukul satu, Bu. Anak-anak saya suruh kumpul jam setengah dua belas supaya bersiap,” Sabeum Alzi menginformasikan.
Itu berarti, Hafidz masih leluasa untuk shalat jamaah di masjid Jami’.
“Aku lepas baju atasnya ya?”
“Kenapa?”
“Malu.”
“Tidak apa-apa dipakai.” Hafidz menurut.
Tertinggal satu rakaat, dia bergegas masuk shaf.



Ketika kembali ke SMKN 2, para peserta sudah masuk aula. Sabeum Alzi mengondisikan mereka dengan pemanasan. Juga latihan per-tingkat. Dimulai dari sabuk putih, hingga terakhir. Hafidz berkali-kali mondar-mandir aula ke tempat saya menunggu.
Pukul 13.30 WIB, Pak Tarigan tiba. Dengan ramah beliau salami satu persatu para emak yang setia menunggu. Ada Mbah Uti, rumahnya di Plandi, menunggui cucunya. Ada ibu dari Megaluh, yang 2 anaknya sudah berprestasi tingkat nasional. Usia SMA dan SD kelas VI. MasyaaAllah, keren. Sang Ibumengantarkan setiap Ahad ke balai desa Sengon. Semangatnya bisa ditiru.

Ujian kenaikan tingkat berakhir pukul 16.00. Ayah menjemput, dan Hafidz pulang dengan gembira. Dia kudu istirahat. Emaknya? Sudah ditunggu mbak-mbak untuk kajian pekanan. Cemunguth!

Ibu Guru Umi; menulis agar bahagia.
Senin, 01 Oktober 2018. SMKN 1, di meja tercinta, 15.38 WIB

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.