KATANYA AKU JELEK
Kamis malam, 11 Maret 2019. Saya menuju kamar Hafidz, dan mendapatinya menangis. Wajahnya ditutup bantal, menghadap ke dinding.
"Kenapa?" Saya mengusap punggungnya. Air matanya menetes, menangis tanpa suara.
"Sedih karena dimarahi Ayah?" Dia menggeleng.
Sebelumnya, Hafidz meminta tongkat pramuka.
"Besok saja, sekarang sudah tutup tokonya," kata Ayah.
"Tongkatmu kenapa?"
"Bengkok. Aku diejek teman-teman," katanya.
"Besok Bunda belikan, insyaaAllah. Sekarang sudah malam."
Kembali ke sesi dia menangis.
"Marah sama Bunda, kah?"
Dia menggeleng.
"Bertengkar dengan mbak-mbak?"
Dia menggeleng lagi.
"Terus apa?"
Air matanya menderas. Nyaris terisak-isak, walau belum keluar suara keras.
"Kalau menangis, Kakak tidak bisa cerita. Kalau Kakak tidak cerita, Bunda gak paham. Kalau Bunda gak paham, Bunda gak bisa bantu," bujuk saya. Hafidz masih menatap dinding, air matanya meleleh.
"Cerita sama Bunda."
Dia masih menangis.
"Ssst, lihat Bunda," saya memegang wajahnya, mengajaknya menatap mata saya. Tentu saja saya tidak bilang 'dalam hitungan tiga, akan tertidur' karena saya bukan tukang hipnotis.
Saya bilang: "Ceritakan, supaya Bunda bisa bantu."
Hafidz menahan isaknya, dan ia berusaha menata perasaan. Saya menunggu. Mungkin sumber sedihnya adalah sekolah. Mungkin ada kejadian tidak menyenangkan yang berkaitan dengan tongkat pramuka atau lainnya. Lalu, mengalirlah ceritanya, setelah dia diam sekian detik.
"Aku diejek sama teman Shoumi, katanya aku jelek."
Waduh. MasyaaAllah. Astaghfirullah. Ini di luar ekspektasi saya. Dikata-katai anak jelek?
"Kapan?"
"Waktu aku main di dekat rumah SHoumi."
Shoumi itu keponakan saya, sepupu Hafidz. Kami main ke sana agak lama, beberepa pekan lalu.
"Siapa yang bilang jelek?"
"Temannya, aku gak tahu siapa," lalu Hafidz terisak lagi.
Saya terdiam beberapa saat. Mencari kalimat yang tepat.
"Tahu Bilal, kan?" Saya memulai dengan itu.
Hafidz mengangguk.
"Bilal itu hitam sekali, legam. Dia cuma budak, yang dijual oleh majikannya. Orang Quraisy menyebutnya sebagai burung gagak. Itu penghinaan atas fisiknya. Tapi Allah gak lihat rupa, yang dilihat imannya. KAta Nabi, suara sandal Bilal sudah terdengar di syurga. Padahal Bilal masih hidup, lho!"
Hafidz diam.
" Ada juga Abullah bin Mas'ud. Sahabat Nabi yang betisnya kecil, kerempeng. Gak kaya betis sahabat lainnya yang gagah dan kekar. Betis Abdullah bin Mas'ud ditertawakan karena terlalu kecil. Tapi Rasulullah bilang, dibandingkan dengan bukit Uhud, betis Abdullah bin Mas'ud jauh lebih berat timbangan pahalanya. Jadi Allah hanya lihat amal, dan hatinya, " saya sentuh dada Hafidz. Dia masih terdiam.
"Kakak rajin ke masjid, rajin hafalan Quran, insyaaAllah disayang Allah. Gak usah pedulikan dibilang jelek oleh orang lain, yang penting Allah cinta sama Kakak," saya membelai lengannya.
Hafidz menunduk saja. Mungkin dia butuh waktu untuk mencerna dan melerai perasaannya. Dikatai jelek tentu menusuk perasaan dan melukai kepercayaan dirinya.
Ini fase berharga. Setelahnya, kami berdiskusi tentang buruknya kebiasaan mencela fisik, mengomentari fisik sebagai bahan olok-olok. Tidak pantas. Fisik seseorang adalah anugerah Allah SWT. Menghina ciptaan sama dengan menghina Penciptanya. Allah SWT sudah karuniakan sebaik-baik bentuk bagi seseorang. Makna 'baik' ini tentu bukan sekedar baik ala standar kita yang dangkal dan fana. Baik adalah baik hikmahnya, baik tujuannya dan baik akibatnya. Hanya orang yang berdimensi langit saja yang bisa melihat kasih sayang Allah SWT dalam setiap ciptaanNya. Jika kita masih punya kebiasaan mencela fisik, penyebab sederhananya adalah: keringnya hati dari kasih sayang.
Beberapa kali saya mendapati orang yang menyatakan : " Si Fulan ganteng (atau cantik), tapi hitam."
Seringkali juga, secara refleks, saya menyahut : "Bilal hitam, masuk syurga."
Atau menyebut ciri seseorang secara vulgar, tanpa sebab tujuan yang memang memerlukan ciri tersebut disebutkan. Contohnya : "Fulan yang pincang." Padahal tanpa disebut kekurangan fisiknya, sudah sama-sama mafhum siapa yag dimaksud.
Nothing's wrong dengan menjadi hitam. Nothing's wrong dengan tidak ganteng, tidak cantik. Nothing's wrong dengan kelemahan dan kekurangan fisik kita.
Jadikan wasilah sebagai latihan bersyukur. Latihan menghargai orang lain bukan dari fisiknya. Latihan memikirkan lebih dalam tentang hikmah dibalik keputusan Allah SWT memberikan kekurangan itu. Latihan melihat orang lain dari kebaikan, ketaqwaan dan keimanannya. Di padang Mahsyar nanti, tak ada pemilahan manusia berdasak gemuk kurus, cantik buruk, kaya miskin.
Pemilahan hanya sebab beriman atau tidak beriman. Itu saja.
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.
ABaTa, Rabu, 1 Mei 2019, pukul 20.02 WIB.
It's great. Awesome
BalasHapus