MEREKA YANG (TELAH) PULANG

Kamis, Juli 04, 2019

Ahad pagi, 28 April 2019.

"Bunda," tangan mas Budi memijit punggung. Saya sedang tidak sholat, jadi menjelang shubuh hanya melek sebentar, lalu tidur lagi. Saya intip HP, pukul lima pagi.
"Apa?" Saya mempertahankan posisi miring ke kiri.
"Anak ustadz Imam yang pertama, siapa namanya?"
Refleks saya berbalik. Tidak biasanya Mas Budi menanyakan hal begini. Ada apa?
"Mbak Salma, eh... Mbak Nada apa ya? Bukan, Mbak Salma," saya mengingat ingat. MAs Budi memandang saya.
"Ada apa?" Perasaan tidak enak semakin menjadi.
"Meninggal, ini baru diumumkan di group," suara Mas Budi lirih. Saya menengakkan badan, terkejut. Mbak Salma, yang anaknya masih kecil? Mbak Salma yang enerjik?
"Kenapa?"
"Kecelakaan, kalau tidak salah."
"Kecelakaan? Kapan? Kok Ayah tidak bilang? Dirawat di mana? Kok tidak ada pengumumannya di group?"
"Setelah Pemilu, lupa kapan tepatnya. Aku lupa, waktu itu kita sedang repot-repotnya. Ustadz Imam umumkan di group dapil," Mas Budi menerangkan. Setelah Pemilu memang luar biasa padat. Mas Budi sering pulang larut malam, mengawal suara,juga sidang pleno di kecamatan.

Kami bersiap menuju rumah duka. Menurut kabar, Mbak Salma akan dimakamkan pukul 07.30. Jam enam pagi meluncur ke sana, suasana masih sepi. Ibunda mbak Salma, Bu Saidah, duduk di ruang tamu. DI situ jenazah Mbak Salma disemayamkan. Air mata Bu Saidah bercucuran saat bersalaman.
"Maafkan kesalahan Salma," bisiknya.

Mbak Salma memiliki riwayat penyakit jantung. Sejak bayi, jantungnya bocor. Menurut cerita Bu Saidah, dokter sempat memeperkirakan Salma akan bertahan hanya tujuh tahun.
"Sudah diberi bonus banyak, dari perkiraan dokter dahulu," kata Bu Saidah dengan tabahnya.
Kisah kecelakaan bermula dari perjalanan Mbak Salma menuju Jombang, mengantarkan baju pesanan orang. Di desa Sembung, roknya terlilit rantai motor. Salma, putera dan suaminya terjatuh. Kondisi Salma yang terparah, lengannya patah. Dokter memutuskan tindakan operasi. Namun gagal dilakukan sebab kondisi jantung Salma drop. Perawatan dipindahkan ke ICU.

"Saya menunggui di rumah sakit hari Sabtu hingga malam, lalu pamit pulang karena membawa putera Salma. Tidak tega melihat Salma, saya menangis terus. Salma minta pulang, saya minta dia bershabar hingga jantungnya pulih. Jam sembilan malam kami pulang, saya berpamitan dengannya. Salma meninggal setengah tiga pagi," kisah Bu Saidah.
Saya memandangi jenazah Salma.
Guru TK ini sering menemui saya saat mengisi acara parenting di lembaganya. Suatu waktu kami bertemu di acara buka puasa bersama. Dia banyak bercerita (dengan bangga dan bahagia) tentang puteranya. Tidak tampak ringkih, tidak tampak punya penyakit berat. Gerakannya sigap dan bersemangat. Mungkin yang mengenalnya pertama kali tidak akan mengira bahwa seringkali dia kelelahan, drop, sesak nafas dan menderita karenanya. Ketika menikah dulu, saya dan mas Budi menghias kamarnya. Berdua kami naik-naik kursi untuk memasang kain dan bunga-bunga. Dia muncul menyuguhkan kue dan minuman.
Kehadiran buah hati menjadi pelengkap kebahagiaan mereka. Lelaki kecil yang gesit dan lincah. Berkali-kali dia melintas di ruang tamu, membawa mainan. Riang saja, tak ada beban. Dia belum paham tentang kehilangan, belum mengerti bahwa kematian akan membuatnya tidak bisa lagi bercengkrama lagi dengan sang Ibunda.

Pemakaman masih menunggu Nada, adik Salma, pulang. Saya duduk di teras bersama beberapa muslimah. Tiba-tiba masuk pesan WA, mengabarkan meninggalnya Pinaris, teman sebangku SMA dulu.
Saya tercekat. Kaget, sedih bertumpuk, tidak percaya. Di group, ada teman yang memposting gambar Pinaris semalam, saat dirawat di rumah sakit. Satu dua selang tampak di wajah dan tubuhnya. Melintas-lintas di benak saya, riang dan lincahnya dia ketika SMA. Pinaris yang cerdas dan punya potensi kemampuan akademis yang bagus. Sekian lama, ketika kuliah, kami tidak saling kontak. Tahun kesekian kuliah, dia menikah, dan punya anak lelaki. Saya bermain ke rumahnya. Lalu putus kembali komunikasi kami.
Teringat momen ketika mendadak kami bertemu di area parkir sebuah pusat perbelanjaan. Saya baru tahu saat itu bahwa ia pernah terserang stroke.
Setelah pemakaman Salma, kami meluncur ke rumah Pinaris, di Tunggorono. Informasi awal adalah jenazah Pinaris masih di Rumah Sakit Umum. Ada nomor telepon yang diberikan oleh sesama rekan alumni. Saya coba kontak nomor itu untuk mendapatkan kejelasan; namun qadarullah, informasinya juga sama tidak jelasnya.
Kami mendapati rumahnya sudah agak sepi.
"Sudah dimakamkan barusan," kata kerabatnya.
Kami bertemu Zerdyn, puteri bungsu almarhumah. Lalu segera menuju pemakaman.

"Makam Pinaris yang mana?" Saya menanyai seorang lelaki dan beberapa perempuan yang ada di gerbang pemakaman.
"Itu, lurus," lelaki itu menunjuk.

Saya melewati nisan, dengan hati berdegup. Bersimpuh di tepi makam dengan perasaan campur aduk. Ya Allah, teman sebangku yang ceria, gembira, sekarang tutup usia. Empat puluh tujuh tahun batas hidupnya. Pinaris dirawat di rumah sakit semalam, meninggal pukul setengah delapan pagi.



Saya mengusap nisannya.
Apa yang terjadi padamu sekarang, Pin? Bagaimanakah alam kubur? Apakah yang kau rasakan kini?
Gundukan tanah berbunga itu saya usap pelan. Sesak dada, sedih sekali perasaan ini. Banyak hal yang terjadi, dan saya merasa belum mampu menjadi sahabat yang baik baginya.
Pinaris pergi. Salma pergi.

Satu persatu berpulang, menemui batas takdirNya. Mereka kini berada di alam ghaib, yang tak seorang pun bisa kembali untuk mengabari yang hidup, bagaimana 'mengerikan' atau 'menyenangkan'nya alam itu. Yang hidup hanya bisa menebak-nebak dari nash yang telah Allah dan RasulNya kabari.

Saya tengah menunggu dan mengantri. Anda juga.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.