BU GURU, AKU HAUS!

Rabu, Juli 10, 2019
Pagi hari, setelah Shubuh, Ayah dan Hafidz bersiap. Mengambil sepeda, dan membawa raket bulutangkis, juga bola basket.
"Kemana?" Saya mengejar mereka.
"Ke SLB, ikut?" Mereka sudah di atas sepeda masing-masing.
"Wait!" Saya berlari ke kamar, berganti rok celana, kaos, menyambar kaos kaki dan melesat sambil memakai kerudung. Sekian tahun jadi emak-emak, tahu bagaimana mengefektifkan waktu. Pakai jilbab sambil lari!

Mengambil sepeda lainnya, saya menyusul mereka berdua. Di jalan, depan toko tetangga, ada Arjun dan Yusuf, dua anak balita, sedang bermain. Usia mereka sekitar empat tahunan. Arjun agak gemuk, ginuk-ginuk. Yusuf lebih kurus. Mereka memandangi saya yang mengayuh sepeda.
"Mau ikut? Bunda ke SLB!" Ajak saya. Mereka senyum-senyum saja. Tidak menggeleng, tidak juga mengangguk.
Saya sampai di SLB, Hafidz dan Ayah sudah bermain bulutangkis. Net yang dibawa dari rumah sudah terpasang. Bola basket teronggok dekat ring basket. Saya coba mendrible, lalu melempar ke ring. Wow, meleset! Dicoba berkali-kali, hanya satu dua masuk.
Tiba-tiba saya lihat dua kepala timbul tenggelam di pagar bagian luar. Mereka berlari-lari menuju gerbang.

"Haaai, sini!" Saya melambai. Arjun dan Yusuf lari mendekati. Mereka berdiri diam, memperhatikan saya yang berusaha memasukkan bola ke ring.
"Masuuuuuk!!" Mereka berteriak lompat-lompat ketika bola masuk.
"Coba?" Saya menyodorkan bola. Mereka tertawa-tawa dan berebut.



"Bergantian, antri!" Saya menengahi. Mereka manut. Bergantian mengangkat bola, mencoba melempat tinggi. Bola tidak jauh-jauh, tidak sampaimenabrak tiang, lalu menggelinding ke sana ke mari. Mereka tetap berusaha sambil tergelak-gelak. Satu ketika, bola meluncur ke parit kecil. Bola itu memantu-mantul sekitar dinding parit berkali-kali,baru ambles ke dalam parit. Arjun dan Yusuf memperhatikan proses itu dengan takjub, lalu terbahak-bahak. Mereka melempar lagi, diam mengamati, tertawa. Melempar lagi ke dalam parit, memperhatikan, dan tertawa. Ealah, anak-anak ini, ada saja yang dianggap lucu!


Bosan melempar bola ke parit, mereka berdua kembali ke dekat ring basket. Arjun membawa bola, bersiap melempar. Namun kemudian dia menoleh ke kiri belakang. ada gawang futsal teronggok dekat dinding kelas. Satu gawang saja. Di dalam gawang itu, terbaring ruas gawang yang patah-patah. Mengenaskan. Entah bagaimana cara orang-orang bermain futsal hingga satu gawang porak-poranda demikian.
Arjun tersenyum sambil memandang gawang. Dia berbalik, lari mendekati, dan mengambil ancang-ancang depan gawang. Satu, dua, ...goool!! Bola basket yang dilemparnya melesak.
Duileee, ya jelas masuk laaah. Arjun dan Yusuf melonjak-lonjak gembira. Diambil lagi bola basket,dilempar lagi keras-keras. tepuk-tepuk, jingkrak-jingkrak. Oh, I know, I know. Mereka jengkel sebab melempar bola ke ring basket tak masuk-masuk. Lebih asyik melempar ke gawang futsal, pasti berhasil! Horee!
Saya geleng-geleng sambil tertawa geli, lalu duduk di balok titian (terbuat dari semen) di bawah pohon mangga.

Hafidz berhenti bermain bulutangkis. Dia menyerahkan raketnya pada saya.
"Gantian, Bunda main sama Ayah." Baiklah. Bermain bulutangkis dengan Ayah itu seru. Saya berusaha menempatkan bola sebelah kanannya, lalu ke kiri, lalu ke depan. Maksudnya supaya Ayah lari ke sana ke mari. Tidak berhasil, tentu saja. Badannya yang tinggi besar membuat jangkauan tangan maksimal. Sedikit dia bergeser kanan kiri, depan belakang. Malah saya yang dibuatnya lari ke sana ke mari mengejar shuttlecock.
"Ngalah, dooong!" Ayah hanya meleletkan lidahnya, kembali memukul shuttlecock dengan lagak menggoda.
Yusuf masuk ke lapangan, mendekati saya. Ia menarik ujung jilbab, meminta saya mendekatkan kepala. Saya membungkuk, mulutnya menempel telinga saya.
"Bu guru, aku haus!" Bisiknya. Ganti saya mendekatkan mulut ke telinganya.
"Itu, disitu ada botol minuman. Minta mas Hafidz," saya menunjuk botol minum di keranjang sepeda. Dia mengangguk dab berlari mendekati Hafidz.

Setelah itu, dia mengulang kembali lagaknya: menarik jilbab saya, berbisik di telinga.
"Bu Guru, aku pulang dulu, lewat situ." Setelah saya bilang 'ya', dia lari pulang. Lalu kembali lagi.
"Bu Guru, aku mau main ke rumah bla..bla." Saya mengangguk lagi.

Saya duduk-duduk di balok titian, Yusuf dan Arjun ikutan.
"Naik sini, jalan sampai sana," saya menunjuk kedua ujung balok titian itu. Mereka ragu-ragu. Arjun lebih berani. Dia mulai menaiki anak tangga, tangannya memegang erat-erat tangan saya.
"Jalan, Bunda bantu," saya bergeser, memakssa dia bergeser juga. Pelan-pelan, dengan wajah takut-takut, akhirnya sampai di ujung juga.
"Horeeee!" Arjun bertepuk senang.
"Ayo, Yusuf!" Saya mengulurkan tangan pada Yusuf. Dia memandang saya, memandang balok titian. Wajahnya tampak ragu.
"Dipegangi Bunda!"
Yusuf mulai naik. Kakinya bergoyang-goyang, tidak kokoh. Tangan sebelah turun, hendak berpegangan balok.
"Badannya tegak saja, Bunda pegangi, nih. Ayo, Mas Yusuf bisa!"
Pelan-pelan Yusuf berjalan. Tampak betul dia takut jatuh.
"Alhamdulillah, berhasil!" Yusuf tertawa lebar, Arjun bertepuk tangan.

Arjun masih mencoba-coba lagi. Tangannya menggapai tangan saya, minta dipegangi.
"Coba jalan sendiri. Bunda tunggui di sini," saya menyemangati. Arjun berdiri, tiba-tiba badannya membungkuk.
"Tegak saja, jangan begitu!" kata saya sambil menahan tawa. Membayangkan Arjun yang ginuk-ginuk merayap di atas balok titian, pasti tampak lucu.
Bolak-balik Arjun mencoba. Yusuf hanya menonton saja, menggeleng-geleng setiap diajak mencoba.



Saya kembali ke lapangan bulutangkis, bersiap berlari. Yusuf menarik jilbab saya lagi.
"Bu Guru, aku mau pulang lewat sana," dia menunjuk jalan pintas.
"Boleh, hati-hati, ya. Bunda mau lari dulu," saya mulai lari-lari keliling lapangan bulutangkis. Eh, mereka berdua tidak jadi pulang. Ikut lari bersama saya. Arjun berlari di depan saya, berlagak terbirit-birit seakan-akan dikejar.
"Haauuuu....Hauuu...,"saya ikut akting, berlagak menakut-nakuti. Mereka lari sambil terkekeh-kekeh.

Ketika pulang, mereka menunggui saya.
"Mau bareng naik sepeda?" Mereka mengangguk.
"Tuh, salah satu sama mas Hafidz." Saya menunjuk sepeda Hafidz. Mereka berdua melihat. Saya menunggu salah satu berpindah ke sana. Tidak satu pun. Mereka bergeming. Tidak beranjak. Saya amati sepeda Hafidz. Oh yaaa, paham! Boncengan Hafidz tidak ada sadelnya. Kalau diduduki, lumayan sakit. Pantesaaan!
"Sini, sama Bunda semua," saya bersiap. Bergantian mereka naik. Hadeeh, berat juga! Pelan-pelan dikayuh, mereka berteriak senang. Di tikungan, saya melambatkan kayuhan. Ini tikungan agak ngeri, dari sana tidak bisa melihat jelas, dari sini juga.
Tepat di depan toko, Arjun dan Yusuf turun.
Tiba-tiba...
"Bu Guru, mainanku ketinggalan," bisik Yusuf. Mobil-mobilan tadi saya lihat di dekat tiang ring basket.
"Ambil, gih."
"Antarkan...," katanya, sambil memandang sendu.

Owalaaah... Bu Guru pegel!

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.