KELAS KOSONG

Jumat, September 06, 2019


Pekan pertama belajar normal.
Hari ini masuk ke kelas X BDP (Bisnis Daring dan Pemasaran) satu. Kelas ini minus putra. Sudah ada 33 siswi duduk manis ketika saya masuk sesaat setelah bel berbunyi. Bagus. Biasanya masih banyak kursi kosong.

Setelah berdoa, kami menyanyikan lagu kebangsaan. Seperti biasanya, telinga saya 'keriting' mendengar nyanyian lagu ini. Temponya lambaaaaat; diseret-seret dan mendayu-dayu. Ini penyakit hampir setiap kelas. Entah apakah sebab mereka sangat biasa mendengar lagu dangdut, dan lekat dengan tempo yang diseret-seret macam begitu. Lagu dinamis bisa jadi mendayu-dayu. Para penyanyi dan pembirama tidak sinkron. Pembirama menggerakkan tangan suka-suka, naik turun semaunya, tak cocok dengan tempo penyanyi. Jadi pembirama jogging, penyanyi ngesot. Tapi saya sedang tak bernafsu membetulkan cara mereka bernyanyi. Kapan-kapan sajalah.
"Baik, sekarang literasi. Keluarkan buku masing-masing."
Mereka memandang saya. Saya menatap juga. Menunggu mereka bergerak mengambil buku. Tak ada. Mendadak mereka main patung-patungan.
Nah, masalah nih.
"Buku bacaannya keluarkan," perintah saya lagi.
Mereka memandang kembali, tetap jadi patung.
"Tidak membawa?"
"Tidaaaaak," jawaban mereka serentak, dengan nada diseret-seret lagi.
"Sudah diberi tahu bahwa setiap pagi ada kegiatan literasi?"
"Sudaaaaaaah." Again, mendayu mode on.
"Lalu?"
Krik, krik, krik.
Mereka memandang saya lagi.
"Kalau sudah tahu ada literasi pagi, kenapa tidak membawa buku?"
"Tidak tahuuuuu...."
"Lho, katanya tahu?"
Saya jadi bingung. Mereka memandang saya. Ya ampun, kenapa suka sekali menjawab pertanyaan dengan pandangan saja? Seperti orang jatuh cinta, berpandang-pandangan macam begini.
"Bu," seseorang mengacung.
"Di SMP, biasanya buku disediakan sekolah, di perpustakaan," katanya.
"Oh ya, kalian sudah ke perpus untuk pinjam buku?" tanya saya.
Mereka menggeleng.
"Kenapa tidak ke perpus untuk pinjam buku?"
"Bu," ada yang lain lagi mengacung.
"Kami tidak tahu bahwa harus pinjam ke perpus," katanya.
Hisssssh..... Saya ingin tertawa, tapi takut kualat. Kualat dengan lugunya mereka dan jadi tambah pusing.
Indonesia banget mereka. Tidak punya inisiatif, menunggu komando. Padahal jelas-jelas di jadwal ada kegiatan literasi, padahal sudah jelas-jelas ada perpustakaan di sekolah ini. Jelas sekali, mereka tidak jelas!
"Sekarang ke perpus, pinjam buku, segera kembali."
Kali ini mereka bergerak, berbondong-bondong. Kelas jadi lengang sebab kosong. Saya mengambil gambar dari sudut meja guru, cekrik!
Saya duduk, membuka buku bacaan. Membuka catatan. Baru ingat bahwa bolpoin ketinggalan. Saya keluar, menuju ruang kurikulum. Anak-anak tadi tampak bergerombol di depan perpus. Berdiri anteng. Sebagian bersandar di tiang. Lha, ngapain juga? Saya berbelok mendekati.
"Kenapa di luar?"
"Itu Bu, diwakili dua orang," kata salah satunya.
"Lho, kan yang akan membaca kamu, pilih sendiri. Come, semua masuk, ambil buku yang disukai. Rak fiksi sebelah sana," saya menunjuk rak sudut. Mereka berebut masuk, menyerbu rak fiksi.
Saya berbalik menuju ruang kurikulum. Setelah mengambil bolpoin,saya kembali duduk di kelas. Menunggu sambil membaca. Satu demi satu masuk. Ada yang berbisik-bisik.
"No chatting, just read!" Saya melirik si bisik-bisik tadi.
Sepi.
Masuk lagi sebagian. Ada yang berisik. Kasak kusuk. Bukunya sih terbuka, orangnya was wes wos berdua.
"No chatting, just read!" Yang saya lirik cepat menunduk menekuni bukunya.
Sepi kembali.

Mereka khusyuk membaca. Saya suka suasana ini. Pukul 07.09, seharusnya waktu literasi habis.
"Kita selesai literasi pukul setengah delapan." Sedikit memakan waktu belajar, tapi tak apalah. Ini pertemuan pertama, habit membaca menjadi prioritas utama. Sepuluh menit menjelang setengah delapan, saya minta mereka menuliskan apa yang sudah dibaca.
"Bu," ada yang mengacung.
"Ya, silahkan."
"Saya belum habis membaca satu buku ini," katanya, sambil menunjukkan buku yang dipegangnya.
"No problem, tuliskan saja yang dibaca hari ini. Beri komentar atau menuliskan poin-poinnya," jawab saya.
Sepi lagi.



Kepala-kepala tertunduk menulis. Saya kembali pada bacaan dan catatan. Tuntas pukul 07.30 sebagaimana rencana. Lalu mulai belajar.
Membaca harus dibuat program, harus dipaksa-paksa. Miris. Lebih miris lagi, kadang yang bertanggung jawab mengajar pagi tidak menemani. Atau ketika menemani...:"Saya tidak membawa buku."
Itu pengakuan seseorang, malu-malu. Hehehe.

Mungkin saja ada yang beralibi, di hape juga bisa baca. Yang sedang diterapkan adalah membaca buku. Bukan membaca melalui hape. Maka selayaknya guru memberi contoh terdepan. Waktunya literasi pagi ya membawa dan membaca buku. Lebih seru lagi jika sesudahnya, bisa berbagi pengalaman membaca buku seru. Cerita isi buku bagus yang sudah pernah dibaca. Memotivasi lewat pesan-pesan moral dari buku bacaan. Supaya anak-anak mendapat contoh langsung, dari orang yang dipercaya di sekolah, di kelas, bahwa membaca buku itu seru, asyik dan perlu.
Jangan jadi Indonesia asli; yang hobi membuat slogan dan program.
Tegakkan dalam diri, dan jadikan kebiasaan. Apa yang kita lakukan, lalu dinasihatkan, akan menancap. Yang omdo, omong doang, menguap. Amblas.

Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.