KANTONG AJAIB

Minggu, November 14, 2010
Namaku Amira Santika. Umurku sebelas tahun, duduk di kelas lima. Ayahku seorang dokter terkenal. Kakakku, Kak Farah dan Kak Reza, sudah SMP. Keduanya sangat pintar dan sering menjadi juara kelas. Tidak seperti aku. Kata teman-temanku aku nakal. Kalau menurutku, aku cuma sedikit pemarah. Misalnya, aku pernah melumuri tas Aryo dengan lem kayu ketika prakarya. Gara-gara ia memanggilku Taka. Namaku Tika, bukan Taka. Tidak ada yang boleh mengubah namaku seenaknya. Nama itu pemberian Ibu.
Aku sayang Ibu. Bagiku, nama itu adalah sebuah kebanggaan.

Aku juga pernah melempar sepatu Jihan ke atas genting kelas. Dia yang mulai, sih. Dia memamerkan kue buatan ibunya dan mengatakan aku tidak bisa membawa kue buatan ibuku. Karena ibu sudah meninggal setahun lalu. Aku tidak suka mendengar Jihan berkata seperti itu. Membuatku sedih dan ingat Ibu.

Sebulan lalu penggaris Meika kupatahkan. Gara-gara dia tidak mau meminjamiku buku Bahasa Indonesia. Aku jadi tidak bisa mengerjakan tugas dari Bu Wulan. Bukuku sendiri tertinggal di mobil Ayah.
Nah, bagaimana pendapatmu? Apakah aku memang nakal?

Akibat perbuatanku itu, beberapa kali Ayah dipanggil oleh Bu Wulan, wali kelasku. Biasanya setelah bertemu Bu Wulan, Ayah akan mengajakku ke toko buku dan membiarkanku memilih buku yang aku suka. Aku senang. Pergi dengan Ayah membuatku gembira. Sayang sekali Ayah sangat sibuk. Sehingga tidak bisa berjalan-jalan denganku setiap hari.

Aku sedikit suka Bu Wulan. Dia tidak pernah menyebutku ‘nakal’. Jika aku bertengkar dengan teman-temanku, Bu Wulan akan memanggil kami dan meminta kami menceritakan asal mula pertengkaran. Setelah diberi nasihat, biasanya kami disuruh saling meminta maaf.
Seperti kusebutkan tadi, aku cuma sedikit suka pada Bu Wulan. Habis Bu Wulan sering memberi tugas. Aku tidak suka tugas. Capek!

Lihat, sekarang Bu Wulan masuk membawa kantong-kantong kain kecil yang berwarna-warni. Bentuknya seperti kantong ponsel.
Kantong-kantong itu lucu dan cantik. Kami membuatnya bulan lalu . Hiasannya dari manik-manik . Bu Wulan menyebutnya kantong ajaib. Menurut Bu Wulan, ia berharap dari kantong itu akan muncul keajaiban. Misalnya, anak yang yang tadinya pemalas, jadi lebih rajin setelah mendapatkan kantong itu.

Tapi aku tidak suka bila kantong itu dibagikan. Sebenarnya bukan pada kantongnya, tapi pada isinya. Kau mau tahu sebabnya?
Begini ceritanya. Dua minggu lalu Bu Wulan mengajarkan kami mengungkapkan harapan atau keinginan yang ditujukan pada teman sekelas. Harapan itu ditulis di kertas memo warna-warni dan dikumpulkan. Misalnya, bila aku tidak suka diejek Jihan, maka aku bisa menuliskan “Aku berharap Jihan tidak mengejekku lagi”. Nanti Bu Wulan akan memasukkan kertas itu ke dalam kantong milik Jihan. Jadi ketika kantong itu dibagikan kepada pemiliknya, di dalamnya terdapat kertas. Jumlah kertas berbeda-beda, tergantung berapa banyak anak yang menuliskan harapan pada pemilik kantong.

Saat itu aku tidak tahu harus menulis apa. Keinginanku banyak sekali. Contohnya, aku ingin sepintar kakak-kakakku. Aku ingin ibu hidup lagi (tidak mungkin, bukan?). Aku ingin ayah tidak terlalu sibuk. Oh , aku lupa. Kata Bu Wulan ungkapan harapan atau keinginan itu untuk teman sekelas, ya? Hm, itu tidak sepenting harapanku yang tadi. Jadi, akhirnya aku tidak mengumpulkan apa-apa.
Ketika pulang, Bu Wulan membagikan kantong ajaib itu. Aku terkejut. Karena kantongku berisi banyak kertas. Kuhitung ada delapan lembar.

‘Aku berharap Tika lebih sabar.’ Itu dari Jihan.
‘Saya berharap Tika tidak gampang marah.’ Yang ini dari Meika.
‘Aku ingin Tika punya ibu baru supaya dia senang.’ Yang satu ini dari Aryo.

Kertas Aryo adalah kertas terakhir yang kubuka. Aku tidak mau membaca sisa kertas yang lain. Tulisan tentang ibu baru membuatku sedih. Sisanya kubuang saja ke tempat sampah. Esoknya kantong-kantong itu dikembalikan kepada Bu Wulan dalam keadaan kosong.
Sekarang Bu Wulan membawa kantong ajaib lagi. Bu Wulan juga membagikan kertas memo. Berarti kami harus menuliskan harapan atau keinginan lagi. Teman-temanku menulis dengan tenang. Aku menggigit-gigit pensil. Apa yang harus aku ungkapkan? Tidak ada. Lagi-lagi aku tidak mengumpulkan kertasku. Bu Wulan tahu tapi cuma tersenyum. Ketika hendak kembali ke kantor, Bu Wulan meminta bantuanku membawakan kertas-kertas itu.

“Kamu tidak ingin menulis sesuatu, Tika?” tanya Bu Wulan di ruang guru. Aku menggeleng.
“Barangkali ada yang ingin kamu ceritakan pada Ibu?” Bu Wulan bertanya lagi. Aku kembali menggeleng.
“Baik, terima kasih sudah membantu. Tika boleh istirahat,” katanya sambil tersenyum. Aku cepat-cepat keluar. Aku tidak suka ditanyai seperti tadi. Malu!

Kantong ajaib itu dibagi menjelang pulang. Langsung kumasukkan ke dalam tas. Sepertinya kantongku berisi banyak kertas lagi. Nanti kubaca kalau sempat. Kalau tidak sempat disimpan saja di dalam laci. Dan besok kantong itu bisa kukembalikan ke Bu Wulan . Bu Wulan tidak akan tahu jika kertas-kertas itu tidak kubaca.

Sore hari ketika di dalam kamar, aku mengeluarkan kertas-kertas itu. Ada satu kertas yang berbeda. Berwarna putih dan wangi. Aku membukanya pelan-pelan.
Tika yang baik, selamat ulang tahu. Ibu ingin Tika tahu, Ibu sayang Tika.’
Itu tulisan Bu Wulan. Oh, Bu Wulan tahu bahwa hari ini ulang tahunku? Bu Wulan sayang padaku? Bukankah aku nakal? Sering membuat masalah? Hatiku berdebar membacanya. Kalau betul Bu Wulan sayang padaku, itu mengejutkan sekaligus menyenangkan! Aku membacanya berulang-ulang.

Kertas-kertas lain masih di atas meja. Apa isinya? Ragu-ragu kubuka salah satu.
Aku berharap Tika bahagia dihari ulang tahunnya sekarang.’ Dari Sari, teman sebangku. Tak kuduga Sari juga ingat hari ulang tahunku. Kuambil kertas yang lain.
‘Aku ingin Tika menjadi sahabatku.’ Tulisan Jihan. Aku juga mau menjadi sahabatnya. Pasti asyik punya sahabat sepintar Jihan.
‘Aku berharap Tika ingat dengan janjinya untuk mengganti penggarisku.’ Oh, aku lupa dengan janjiku pada Meika. Akan kuberikan penggarisku untuk mengganti miliknya yang kupatahkan dulu.
‘Saya harap Tika jangan terlalu sering marah-marah. Soalnya menakutkan!’

Aku memandang cermin di depanku. Kucoba memelototkan mata dan memajukan bibirku seperti saat aku marah. Hiy, memang jelek dan menakutkan!
Aneh, sekarang aku merasa berbeda. Apa karena tulisan Bu Wulan, ya?. Cepat-cepat kuambil selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk Bu Wulan. Bermenit-menit aku mencari kata-kata yang tepat.Ah, susah sekali! Akhirnya aku cuma bisa menulis :
’Terima kasih, Bu. Tika juga sayang Ibu.’

Kantong ini memang ajaib karena membuatku ingin berubah menjadi lebih baik. Aku tidak mau menjadi anak pemarah lagi. Kamu percaya, bukan?

Note:
Cerpen ini mendapatkan JUARA 1 pada Lomba Menulis Cerpen Anak oleh Majalah BOBO tahun 2009. Diterbitkan oleh PUSTAKA OLA pada tahun 2009)
Kapan saja membacanya, hati saya basah. Teringat pada anak-anak yang kehilangan kasih sayang Ibu dan kesepian.

3 komentar:

  1. wah ..akhirnya penasarannya terobati .. habis gak langganan bobo jd gak tau diterbitkan kapan hehhe..ini toh bunda tulisannya... baguuusss....

    BalasHapus
  2. kereeeeennnn ... nama Umi Kulsum sangat familiar di Bobo, salam kenal Mbak.
    Dapat idenya dari mana saja, sih, kok tulisannya bagus-bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Idenya bisa darimana saja... Senemunya, hehehe. MAaf baru balas komennya. Slaam kenal kembali.

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.