ANUGRAH MAHAL

Rabu, Januari 17, 2018


"Hidayah itu butuh dipelihara, diperbarui. Ibarat bunga, sejak kuncup hingga muncul kelopak, ia perlu dijaga
."


Narti menyusuri jalan sekitar alun-alun. Sampah tumpang tindih dimana-mana. Kantong plastik bercampur botol minuman. Makanan penyet. Kertas mengilat warna merah, kuning, hijau. Pagi sepi. Tempat rekerasi dan olah raga ini mendadak seperti mati. Tak banyak lalu lalang yang jogging, atau berjalan.

Ini hari pertama tahun 2018.

Seorang bapak muda mendorong kereta bayi. Di sebelahnya, perempuan paruh baya sibuk berbicara lewat telepon genggamnya. Siapa perempuan paruh baya itu? Isterimya? Ah, tidak mungkin. Masa iya laki-laki ganteng itu bisa kepincut perempuan yang pantas jadi ibunya?
Narti mendadak tersipu-sipu. Malu dengan lintasan-lintasan hati yang ngawur tadi. Oh, hati! Mbok ya jangan nakal gitu, dong. Yang sholih, yang lurus. Jangan berprasangka buruk.

“Eh, maaf!” Narti terkejut. Kepalanya mendadak mendarat di gerobak nasi padang di depannya. Ibu penjual tersenyum geli.
“Hati-hati, Bu. Lihat-lihat jalan,” sindirnya. Narti mengangguk, lalu buru-buru pergi.

“Ya Allah, benaaaar!” Tiba-tiba ada tepukan keras di bahunya. Narti tergagap. Ia terkejut mendapati laki-laki muda itu tersenyum. Perempuan paruh baya di sebelah tiba-tiba memeluk erat-erat. Narti gelagapan. Sesak nafas karena badan dihimpit lengan demikian kuat.
“Dik Narti,kaah? Iya, kaaah?” Perempuan itu mengguncang-guncang badan Narti dengan kuat. Tahi lalat di atas bibir mungilnya mengingatkan pada seseorang. Tapi Narti tidak yakin.

Seperti Lubna, teman satu kontrakan saat kuliah. Tapi Lubna langsing, wajah tirus, dan kulitnya putih. Ini, badannya tambun, mukanya lebar, dan kulitnya agak gelap. Hanya tahi lalat dan bentuk giginya yang sangat bisa dikenali sebagi ciri khas. Rambut merah bergelombang sebahu.
Mana jilbabnya? Mana Lubna yang dulu sangat aktif dalam kegiatan dakwah?
Hey, sudah berapa lama waktu berlalu? Narti dilanda kalimat klasik : ‘rasanya baru kemarin...’

Narti dan Lubna (dan pemuda ganteng itu, tentu) mengobrol di salah satu lesehan yang ada. Tidak banyak pilihan lesehan seperti biasanya. Mungkin sebagian besar lainnya tiarap di kasur masing-masing setelah semalam begadang menikmati perayaan tahun baru Masehi.

“Kamu masih seperti dulu,” Lubna (Narti masih perlu meyakinkan diri bahwa ia memang Lubna yang ‘itu’!) menatap lekat. Narti tersipu.
“Apa resep langsing?” Narti terkekeh ditanya begitu.
Apa ya? Bodinya memang kecil begitu. Pernah gemuk, eh, badannya berat. Cuma sebentar, tidak sampai tiga bulan. Lalu kembali mengecil, mengerut. Mungkin terlalu lama dijemur. Ahahaha, seperti kerupuk saja, dijemur segala!
“Diare!” Narti tergelak.
“Apa? Diare? Ah, gak elit!” Lubna ikut tergelak.
“Aku gampang diare. Masuk angin sedikit, diare. Pernah diare sekitar tiga hari, turun satu kilo! Mau begitu?” Narti mencolek tangan Lubna.
“Ogah!” Lubna mengedikkan bahunya.
“Itu anakku, yang nomor dua. Anaknya baru satu, cucu pertamaku,” Lubna menunjuk si ganteng, eh, ayah muda yang sibuk menenangkan bayi di kereta dorong. Sebentar dia pamit, hendak pulang sebab si kecil rewel.
“Nomor satu, sudah menikah?”

Lubna menggeleng.
“Sudah meninggal dua tahun lalu, over dosis. Eh, aku permisi merokok. Keberatan?” Pertanyaan Lubna menegjutkan Narti.
Sejak kapan Lubna merokok? Overdosis?
Lubna yang dulu, berjilbab rapi, aktif di organisasi, disegani siapa saja. Apa yang terjadi selama hampir lima belas tahun tdiak bertemu?
Narti batuk-batuk tidak sengaja. Setiap ada asap rokok, nafasnya tiba-tiba sesak.

“Maaf, maaf,” Lubna mematikan rokoknya cepat-cepat.
“Maaf,” Narti berbisik lirih.

Suasana canggung meliputi mereka berdua.
“Kamu masih tidak berubah. Jilbab sudah lama kulepas, sejak sulungku meninggal,” Lubna mendesah.
Lidah Narti kelu. Banyak pertanyaan melesat-lesat tak karuan. Mengapa lepas jilbab? Mengapa merokok? Sejak kapan hidupnya berbalik arah begini? Apa yang terjadi?

“Aku kecewa Tuhan menjatuhkan takdir buruk begini padaku. Ini tidak adil,” desisnya keras.
“Kamu mau cerita banyak, kapan-kapan. Kamu masih menerima curhat seperti dulu, kan? Masih gratis?” Mereka tertawa berdua.
Ini bukan tawa yang lepas. Ini tawa pedih. Mereka berpisah setelah bertukar nomor telepon.

Malam hari, Narti mengirim pesan. Satu jam kemudian baru berbalas.
“Aku senang bertemu, sekaligus malu. Kamu mengingatkan aku pada diriku yang dulu, yang kini hilang entah kemana.” Itu pesan Lubna.
Narti terpekur. Iman itu naik dan turun, kata pak kyai. Pertemuan dengan Lubna membuat Narti ketakutan. Takut jika hidayah iman ini turunnya kebablasan. Turun bebas, terjun sampai dasar dan susah dinaikkan lagi.
Astaghfirullah.

Narti menceritakan pertemuannya pada Mas Ari.
“Sebab itu kita diajarkan berdoa, agar Allah tunjukkan yang haq itu haq, dan kuatkan untuk mengikutinya. Serta tunjukkan yang bathil itu bathil, dan beri kekuatan untuk menjauhinya. Jangan jauh-jauh dari orang sholih, supaya punya teman yang mau menasihati jika terjerumus maksiat. Anugerah hidayah itu mahal,” kata mas Ari.



Narti sepakat. Tahun ini, yang katanya tahun baru, Narti punya cermin bening. Tentang mahalnya hidayah, dan susahnya mempertahankan.
Narti berdoa diam-diam bagi Lubna. Semoga Allah kembalikan semangat dan keyakinannya pada Allah segera. Aamiin.



Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.