BACAAN HARI INI

Kamis, Mei 10, 2018


Hari ini saya membaca tentang peranakan Tionghoa.
Sebuah promosi buku yang berjudul: Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya. Ditulis oleh Ariel Heryanto. Menurut pendapat Ariel, ada lima kelompok Tionghoa.
Pertama warga Tionghoa di Jawa yang berbaur dengan budaya dan masyarakat setempat. Rasanya saya belum pernah bertemu Tionghoa macam ini.
Kedua, warga Tionghoa yang berkiblat pada Eropa. Muncul tahun 1940-an, katanya.
Ketiga, warga Tionghoa yang berkiblat para Republik Rakyat Tiongkok. Lazim disebut sebagai Tionghoa Totok.
Keempat, warga Tionghoa yang punya nasionalisme.
Kelima, wargaTionghoa yang punya corak budaya dan bahasa yang khas. Tidak berasimilasi ke ‘pribumi’, tidak berkiblat ke ‘Eropa’, tidak peduli dengan budaya leluhur, dan tidak juga bersemangat nasionalis. Kata penulis, yang kelima ini cocok disebut peranakan.

Hari ini saya membaca tentang model-model yang mendobrak standar kecantikan.
Ada Winnie Harlow, model asal Kanada, yang mengidap vitiligo, yaitu hilangnya pigmen pada kulit yang mengakibatkan munculnya bercak putih. Wajahnya belang, sebab perbedaan warna kulit. Model lain adalah Melanie Gaydos, model asal Amerika serikat. Ia terlahir dengan displasia ektodermal yang membuat pori-pori, gigi, kuku dan tulang rawannya terbentuk tidak normal. Gaydos juga botak, dan sebagian matanya buta akibat pertumbuhan bulu mata yang lebat. Dari Indonesia ada Nurul Hayati Azis. Kulitnya hitam. Wajahnya unik, sangar, gigi runcing dan jarak matanya jauh. Berlawanan dengan persepsi kecantikan normal: putih, rambut panjang, mata, hidung, mulut dan pipi (nyaris) sempurna. Ada kutipan bagus dari Winnie: “Tantangan terbesar adalah melupakan apa yang membuat berbeda dan merayakan apa yang mebuat sama.” It makes sense! Bravo!

Hari ini saya membaca juga tentang museum Multatuli.
Pernah dengar nama itu? Nama asli Multatuli adalah Douwes Dekker, seorang Belanda yang banyak melakukan protes terhadap kebijakan kolonialisme Belanda. Penulis Max Havelaar ini memilih nama pena Multatuli. Multatuli adalah frasa dalam Bahasa Latin yang maknanya ‘aku telah banyak menderita’. Museum ini ada di Rangkasbitung, Provinsi Banten.
Saya suka paragraf terakhir artikel ini, begini:
‘Mengingat hal itu, maka sudah sepantasnya museum menjadi pusat dari sebuah narasi sejarah. Agar pengunjungnya dapat bercermin dan mendefinisikan kembali dirinya berdasarkan masa lalu untuk melanjutkan masa depan dengan membawa nilai-nilai kemanusiaan yang universal..’
Jadi ingat kisah-kisah dalam Al Quran. Allah sudah tegaskan bahwa kisah dalam Al Quran menjadi pengingat dan peringatan. Dalam kisah orang terdahulu terdapat pelajaran. Bagaimana menjalankan kehidupan dengan benar sehingga selamat dari tipu daya dan tidak tergelincir.

Hari ini saya juga melirik artikel tentang ‘Menepis Candu dari Gawaimu’.
Dimulai dengan informasi bahwa para pekerja di Silicon Valley justru membatasi anak-anak mereka untuk akrab dengan teknologi. Mereka membatasi waktu penggunaan ponsel, televisi, hingga komputer di rumah. Saya kutip satu paragraf dari artikel itu, ya.
‘Akan tetapi, para pekerja plus orangtua Sillicon Valley yang hidup makmur dari membuat produk teknologi ini rupanya justru siaga dengan dampak negatif ponsel pintar, tablet dan komputer. Mereka yang membuat dan mengembangkan, tapi justru tidak mau terkena dampaknya’.
Salah satu orangtua adalah Kim Taewoo, seorang insinyur kepala bidang kecerdasan buatan startup(perusahaan perintis) One Smart Lab. Ia menyatakan bahwa gawai seperti ponsel pintar, tablet, komputer membuat rentang perhatian kita membaca atau menyerap satu topik semakin pendek. Sebab kita mudah teralihkan dengan munculnya notifikasi pesan terbaru dari pesan instan atau media sosial.
Minni Shahi dan Vijay Koduri juga membatasi penggunaan gawai untuk anak-anak mereka. Keduanya bekerja di Apple. Mereka hanya mengizinkan anak-anak memainkan gawai selama 10 menit tiap pekannya. Pasangan ini menyediakan beragam permainan meja seperti ular tangga, kartu, catur dan boleh dimainkan tanpa batasan waktu.
Shahi dan Vijay melihat sendiri bagaimana rekan-rekannya ‘berusaha keras untuk membuat produk teknologi yang menarik untuk dipakai berlama-lama oleh penggunanya. Jadi, dijamin para penggunanya pasti sulit lepas dari gawai’ (halaman 38, Intisari edisi Mei 2018).

Ada kutipan lain yang menarik juga tentang Steve Jobs, pendiri Apple.
‘Walter Isaacson, penulis buku bigrafi Steve Jobs, sempat menginap beberapa bulan di rumah Jobs untuk menuliskan kesehariannya. Setiap jobs ada di rumah, Isaacson melihat bapak tiga anak itu mendiskusikan buku, sejarah, dan hal lain di meja dapur bersama anak-anaknya. Tidak ada yang mengeluarkan iPad atau gawai lain.’
Saat merilis iPad, Jobs ditanya soal reaksi anak-anaknya tentang tablet itu. Jobs mengaku anaknya belum memakai iPad teranyar tersebut. “Kami membatasi seberapa banyak teknologi digunakan anak kami di rumah,” katanya.

Mari kita lihat juga bagaimana Bill Gates mengatur koneksi anaknya dengan gawai. Mereka dilarang memakai ponsel hingga usia 14 tahun. Tidak diperkenankan memainkan ponsel di meja makan dan menjelang tidur. Ia beralasan : “Kita dapat melihat bagaimana teknologi dapat digunakan untuk kepentingan yang baik –entah untuk membuat pe-er atau berkomunikasi dengan teman-teman – dan kapan sudah berlebihan.”
Intinya pada control diri. Dan itu….suliiiiit!

Medsos, sama saja. Saya kutip lagi ya:
Sean Parker (38), mantan presiden pertama Facebook, menyebut jejaring sosial sebenarnya mengeksploitasi sisi rapuh manusia. Dalam pembuatan facebook, misalnya, ia dan timnya berpikir bagaimana caranya aplikasi yang mereka buat dapat menarik perhatian hingga betah menghabiskan waktu selama mungkin dengannya. Untuk mendapatkannya, Facebook bermain dengan dopamine, zat kimia otak yang mengatur motivasi kita meraih apapun demi kesenangan. Berdasarkan cara kerja zat kimia itulah tombol ‘like’ dan ‘comment’ diciptakan…Kita pun jadi termotivasi untuk berkomentar dan saling memberi ‘like’ demi dianggap ada dan punya kekuatan dalam dunia maya..” (halaman 40 – 41 majalah Intisari).
MasyaaAllah, luar biasa! Betapa mudah para ahli itu mendesain pola perilaku pengguna teknologi ini. Kita menjadi obyek industri teknologi mereka dan menikmatinya.
Tentu saja tidak bisa menjauh sepenuhnya, bukan? Bagaimanapun masih ada sisi lain yang bisa dimanfaatkan. Misalnya untuk menyebarluaskan taujih, ceramah. Mengenalkan dakwah ke berbagai lapisan dengan cepat dan mudah. Contoh lain adalah informasi bencana tersebar cepat, dan bantuan bisa digalang dengan cepat pula.
Namun, sekali lagi, perlu keseimbangan. Agar jiwa tidak terjebak pada kesia-siaan yang berujung pada penyesalan.
Halaman lain, 42, disampaikan bahwa pengembang aplikasi ponsel pintar memanfaatkan fear of missing something important (FOMSI). Merasa sayang melewatkan satu dua percakapan, merasa ingin tengok-tengok ponsel. Siapa tahu ada yang penting. Siapa tahu ada info yang kelewat. Hoho..itu gue banget. Sebentar intip WA. Siapa tahu ada infomasi penting. Sebentar intip group, siapa tahu ada bahasan berguna. Dering dan getar jadi penggoda konsentrasi.
Padahal jarang sekali ada berita yang benar-benar darurat dan mendesak serta sangat penting. Lagipula, penting dan mendesaknya masih bisa disiasati dengan menelepon.
Terakhir, saya kutip yang ditulis majalah Intisari halaman 42, dua paragraph terakhir.
‘Dengan mekanisme tersebut, orang tidak sadar menghabiskan waktu membaca postingan terbaru yang sebenarnya tidak masalah jika dilewatkan. Risiko adiksi tersembunyi dibalik teknologi inilah yang setidaknya perlu disadari pengguna, sebelum membatasi diri untuk berpandai-pandai menggunakan ponsel pintar.’
Sepakaaaaaat sekali!

Hari ini saya membaca artikel berjudul ‘Apa Salahnya Kambing Apa Pula Salahnya Durian?’
Inti dari tulisan ini adalah, bahwa menuduh kambing dan durian sebagai penyebab stroke ddan serangan jantung itu hoax. Tidak berperikambingan dan tidak berperidurian.
Bahwa serangan jantung dan stroke itu tidak terjadi begitu saja, melainkan proses panjang bertahun-tahun.
Begini kutipannya:
‘Kalau hari ini seseorang terserang stroke atau jantung coroner, prosesnya bukan baru sebulan-dua bulan lalu, tidak pula urusan beberapa tahun lalu, melainkan puluhan tahun lalu sebelumnya. Mungkin tiga puluh tahun lalu proses penyumbatan pembuluh coroner dan atau pembuluh darah otaknya sudah dimulai.’

Hari ini banyak bukaan pintu pengetahuan baru dari membaca.
Dan kemudian hasil ‘pencerahan’ dari bacaan itu dituliskan. Kegiatan literasi ini menggembirakan, memicu rasa bahagia, dan meningkatkan ketrampilan bertutur lewat tulisan. Mulai dari mencari ide (percayalah, banyak ide bertebaran dari bacaan, tinggal dipungut dan diracik, beri bumbu, lalu…taraaa!), menetapkan angle tulisan (kalimat panjang dalam bacaan perlu dipilah, dipilih, dan diolah, dicari sudut yang pas dan menjadi…bum, booming; wehehehe), dan ..tulislah!
Literasi itu budaya Islam, agama yang memuliakan ilmu. Jadi kalau mengaku orang Islam tapi tidak suka membaca itu... nggak banget. Jangan begitu, ah.
Dunia dikuasai dengan ilmu. Menyelamatkan diri dan keluarga di akhirat juga butuh ilmu. Dan ilmu didapat lewat proses literasi.
Membacalah. Menulislah. Agar berkembang kapasitas dirimu dengan ilmu.

Note:
Seluruh artikel yang dikutip di atas dapat dibaca di Intisari edisi Mei 2018. Happy reading!

Ditulis oleh Ibu guru Umi hari Kamis dan Jumat, 9 dan 10 Mei 2018, di Jombang.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.