CILUUUKK...BAAA!
Setiap kali saya melewati kelas, ada desahan lega. Legaaa sekali! Mereka, yang di dalam kelas itu, seolah baru terbebas dari mara bahaya. Mara bahaya yang dibawa pengawas ujian yang pendek, kecil, yang sebenarnya rajin tersenyum Ini monster sumeh, sakjane.
I am unexpected one; the
frightening person. Supaya komplit, saya
perlu tertawa ala penjahat dalam film-film itu. Huahahahaha...
Ini hari kedua. Jam pertama
hingga ketiga, kelas sepuluh. Masuk ruang 33, program pemasaran. Mereka santai saja melihat saya. Saya tahu
sebabnya: saya tidak mengajar mereka. Sebab itu, mereka tidak tahu bagaimana
killernya saya saat mengawas ulangan. Amaan. Setidaknya, desah nafas tertahan
tidak saya dengar. Desah nafas yang bikin saya patah hati karena merasa tidak
dikehendaki. Hiks.
“This is my rule: no cheating,
no giving answer, no asking for answer. Just do it by yourself,” kata saya,
setelah membagikan lembar jawaban dan soal. Mereka paham? Sebagian besar tidak.
Oleh sebab itu. terjemahannya ada di
bawah ini.
Mereka senyum-senyum,
menyadari ‘gak iso obah’. Mata
pelajaran matematika. Saya berkeliling. Wah, luar biasa. Banyak kertas masih
bersih, baru ada soalnya saja. Tak saya beri kesempatan mereka berdiskusi.
“Sesama orang yang tidak
paham, dilarang saling memberitahu.”
Hihihi. Mereka saling
memandang dan tertawa.
“Yang sudah, silakan
kumpulkan.”
“Walaaaah buuu, tidak bisa
jawab,” ada yang nyeletuk.
“Belum selesai, Bu,” yang
lain menimpali.
“Maksudnya sudah itu kan belum tentu sudah selesai. Bisa
: sudah bingung, sudah gak tahu jawabannya, sudah menyerah, sudah pusing...,”
kata saya, asli ngawur.
Wahaha. Mereka tertawa lagi.
Memandangi kertas. Menunduk. Menekuri soal. Geleng-geleng. Berdesah, seperti
orang terkena beban beraaaaat sekali. Atau
orang punya hutang yang tidak tahu bagaimana cara membayarnya.
Ada yang bertukar kode,
seperti memberi tahu rumus.
Wahaha. Mereka tertawa lagi.
“Yang penting dihitung,” kata
salah satu siswa. Dia asyik mengerjakan, mencoret-coret kertasnya.
“Bisa?” tanya saya.
“Mboten, bu,” dia mejawab
malu-malu. Ya, mendinglah. Dia kelihatan sangat keras
dalam berpikir. Serius begitu.
Sesekali, ada saja yang usaha. Usaha untuk
berdiskusi, maksudnya. Lagaknya macam-macam. Menutupi wajah, menunduk sambil
kedip-kedip. Idih.
Sesi pertama, aman. Suasana
begitu terkendali.
Jam berikutnya, berganti mata
pelajaran. Seni budaya, kalau tidak salah.
Saya berkeliling sesekali. Sebenarnya, ada aturan pengawas tidak boleh
berkeliling. Ini aturan yang nggak banget. Katanya membuat siswa pecah
konsentrasi. Ini juga alasan yang tidak logis. Menurut saya, ada unsur ‘modus’
di dalamnya. Jika pengawas harus anteng di tempatnya duduk, maka jelas semua
akan konsentrasi. Peserta konsentrasi menyontek, pengawas konsentrasi
mengantuk. Hmm.
Di belakang sana, ada satu
siswi yang menunduk terus, menjawab soal dengan cepat. Mencurigakan. Saya sudah
kenal berbagai gaya menunduk, terutama menunduk untuk menyontek.
Saya berdiri mendekat.
Tangannya berhenti menulis, ia memandang saya sambil tersenyum.
“Bisa?” tanya saya.
“Diawur, Bu,” lagaknya
malu-malu. Saya tidak kemana-mana. Berdiri saja di dekatnya. Ia benar-benar
berhenti menulis. Diam saja, diiiaaaaam saja. Mungkin dia lapar...
Merapat ke mejanya, saya
menengok kertas jawabannya.
“Coba lihat,” saya tersenyum.
Tangannya menempel kuat pada
kertas jawabannya.
“Jangan Bu, saya jawabnya
ngawur kok,” katanya, masih berlagak malu-malu.
Saya menarik kertasnya
pelan-pelan. Dia mempertahankan kuat-kuat.
“Gak papa, saya mau lihat
jawabanmu saja,” saya tersenyum lagi. Dia juga tersenyum. Haha, guru dan murid
bersandiwara.
Akhirnya, tentu saja karena
saya punya otoritas yang besarnya melebihi otoritasnya, kertas itu bergeser.
Ciluuuuuk, baaa! Ada kertas lain, penuh catatan di bawahnya.
Dia diam ketika saya ambil
pelan-pelan kertas itu. Kepalanya menunduk. Tidak ada lagi lagak malu-malunya.
Hari lain, saya mengawas di
kelas lain. Saat soal dibagi, alas menulis peserta bersih semua. Tak ada kertas
apa pun di atas meja mereka.
Ketika berkeliling,
menit-menit berikutnya, alas-alas itu tiba-tiba menebal. Di bawah lembar
jawaban atau soal, berlapisi-lapis kertas terselip.
Saya berdiri di antara dua
meja. Sebelah kiri, menutupi lembar jawabannya sedemikian rupa. Sikunya
menempel di kertas seolah takut lepas.
Saya pura-pura mengintip
lembar jawabannya.
Ciluuuk, baaaa!
Ciluuuk, baaaa!
“Ada kartu pesertamu di bawah
lembar jawaban. Tidak mengganjal?” saya sok perhatian. Modus banget.
Dia mengambil kartu yang
terselip itu, dengan siku tetap menempel pada kertas. Saya menarik kertasnya,
menyisihkan satu lembar lain yang berisi
catatan kecil-kecil. Mengambilnya sambil tersenyum. Uh, kejamnya saya ya!
“Hanya boleh ada lembar jawaban
di alas menulis kalian. Silahkan simpan kertas-kertas lain di tepi meja. Atau
saya yang akan mengambilnya,” kata saya.
Pasti anak-anak berpikir, bu
guru ini killer dan menyebalkan. Huh!
Siswi di depan saya menunduk
saja, seperti pura-pura tidak mendengar. Jelas-jelas di alasnya ada lebih dari
dua lembar kertas.
Jadi, mari
eksekusi. Saya meminta alasnya,
mengambil kertas lain selain lembar
jawaban.
Ciluuuk,
baaa! Ada empat lembar sontekan! Oohhh, banyaknye!
“Judul
bidang studi yang tertulis agama, kenapa isinya tentang bank?” saya bertanya.
“Itu Bu,
dibuat waktu ulangan yang dulu,” dia menjawab tanpa sungkan. Wah, jadi ini
koleksi sontekan? Saya surprais, tapi gak mau
bilang ‘wow’ apalagi kudu salto. Ogah.
So,
begitulah. Menghilangkan kebiasaan buruk ini di kalangan siswa sama sekali
tidak mudah. Susyeeeee! Kami, para guru, mendiskusikan ini di group. Rupa-rupa
sontekan didapat. Ada buku yang difotocopy mengecil, dan jadi buku saku.
Itu
termasuk modus jadul, sebenarnya.
Satu ibu
guru menceritakan bahwa dihari sebelumnya, ada siswi yang membawa hape dan
menyembunyikannya di...be**!
Aduh, kok
ya kepikir menyimpan di situ. Cerita itu disambut tawa dan lelucon bapak ibu
guru. Jadi ingat group wa saya, yang isinya para instruktur nasional. Ada satu
bapak yang gaya tawanya khas.
Mungkin,
kalau saya share cerita siswi menyembunyikan hape di be** saat ujian, dia akan
tertawa keras-keras.
Tawanya
begini: Bhehahahahahahahaha.... Eh.
Bwahahaha saya ketawa baca tulisan ini dari awal sampai akhir mbak. Semangat ya ibu guru. :)
BalasHapusHehehehe.. makasih sudah mampir. Ganbatteeee!
BalasHapusMau nyari emot ngasih jempol.. Eh ga ada.. Hehe.. Sukses Bu... :)
BalasHapusNyari jempolnya dimana? hehehe. Terima kasih sudah mampir yaa..
HapusWaduh, bu guru Umi dikenal killer? Gak nyangka saya. Lha wong gaya nulisnya aja kocak gini kok :D
BalasHapusCoba deh, Bu, anak2 suruh sering baca-baca blog ini. Biar mereka lebih mengenal bu guru Umi ;)
Hahaha.. kalau pas ngajar sih santai Mak. Kalau pas ulangan strict bangte, supaya mereka belajar bener2
Hapusbu guruuuu...hahaha seneng deh baca postingan2nya bu guru soal sekolah begini. Remind me of my teenager life, waktu masih sekolah SMP SMA. Seru ya cerita soal contek mencontek begini, pada nemuuu aja aneka ragam cara buat bikin contekan paling oke sedunia. Duh naro di b*ha? Ulalaaaa....apa gak risih kalo hapenya pas getar ya?
BalasHapus'Ulalaaaa....apa gak risih kalo hapenya pas getar ya?'
HapusWahahaha...iya, hihi...itu juga yang saya pikirkan.
Kalau pas lagi ngawas, pinter2an sama anak-anak.. Mendadak pura-pura jadi detektif Conan qiqiqiqi.
Assalamualaikum Ummi...Wah ini cerita aku banget, paling tidak diharapkan mengawas ujian. Prinsip saya terserah mau diisi dengan cara apapun atau bahkan tidak usah diisi asalkan jangan mencontek ke teman atau ke buku. Pernah saking pasrahnya tidak bisa menyontek, salah satu muridku memilih jawaban dengan dikocok seperti arisan! haha. btw salam kenal ya #KEB
BalasHapusAlaikumussalam warahmah.. senang bertemu ibu guru juga..hehe. Bu guru killer juga rupanya? Kita harus menabahkan hati ya, sebab menjadi orang yang paling tidak diharapkan..wahahaha. salam kenal kembali. Terima kasih sudah mampir.
Hapus