CILUUUKK...BAAA!

Rabu, Oktober 19, 2016


Setiap kali saya melewati kelas, ada desahan lega. Legaaa sekali! Mereka, yang di dalam kelas itu, seolah baru terbebas dari mara bahaya. Mara bahaya yang dibawa pengawas ujian yang pendek, kecil, yang sebenarnya rajin tersenyum Ini monster sumeh, sakjane.
I am unexpected one; the frightening person.  Supaya komplit, saya perlu tertawa ala penjahat dalam film-film itu. Huahahahaha...
Ini hari kedua. Jam pertama hingga ketiga, kelas sepuluh. Masuk ruang 33, program pemasaran.  Mereka santai saja melihat saya. Saya tahu sebabnya: saya tidak mengajar mereka. Sebab itu, mereka tidak tahu bagaimana killernya saya saat mengawas ulangan. Amaan. Setidaknya, desah nafas tertahan tidak saya dengar. Desah nafas yang bikin saya patah hati karena merasa tidak dikehendaki. Hiks. 
“This is my rule: no cheating, no giving answer, no asking for answer. Just do it by yourself,” kata saya, setelah membagikan lembar jawaban dan soal. Mereka paham? Sebagian besar tidak. Oleh sebab itu. terjemahannya  ada di bawah ini.
Mereka senyum-senyum, menyadari ‘gak iso obah’. Mata pelajaran matematika. Saya berkeliling. Wah, luar biasa. Banyak kertas masih bersih, baru ada soalnya saja. Tak saya beri kesempatan mereka berdiskusi.
“Sesama orang yang tidak paham, dilarang saling memberitahu.”
Hihihi. Mereka saling memandang dan tertawa.
“Yang sudah, silakan kumpulkan.”
“Walaaaah buuu, tidak bisa jawab,” ada yang nyeletuk.
“Belum selesai, Bu,” yang lain menimpali.
“Maksudnya  sudah itu kan belum tentu sudah selesai. Bisa : sudah bingung, sudah gak tahu jawabannya, sudah menyerah, sudah pusing...,” kata saya, asli ngawur.
Wahaha. Mereka tertawa lagi. Memandangi kertas. Menunduk. Menekuri soal. Geleng-geleng. Berdesah, seperti orang terkena beban beraaaaat sekali. Atau  orang punya hutang yang tidak tahu bagaimana cara membayarnya.
Ada yang bertukar kode, seperti memberi tahu rumus.
“Kalau sudah ngerpek rumus, emang bisa mengerjakan?” goda saya.
Wahaha. Mereka tertawa lagi.
“Yang penting dihitung,” kata salah satu siswa. Dia asyik mengerjakan, mencoret-coret kertasnya.
“Bisa?” tanya saya.
Mboten, bu,” dia mejawab malu-malu. Ya, mendinglah. Dia kelihatan sangat keras dalam berpikir. Serius begitu.
 Sesekali, ada saja yang usaha. Usaha untuk berdiskusi, maksudnya. Lagaknya macam-macam. Menutupi wajah, menunduk sambil kedip-kedip. Idih.
Sesi pertama, aman. Suasana begitu terkendali.
Jam berikutnya, berganti mata pelajaran. Seni budaya, kalau tidak salah.  Saya berkeliling sesekali. Sebenarnya, ada aturan pengawas tidak boleh berkeliling. Ini aturan yang nggak banget. Katanya membuat siswa pecah konsentrasi. Ini juga alasan yang tidak logis. Menurut saya, ada unsur ‘modus’ di dalamnya. Jika pengawas harus anteng di tempatnya duduk, maka jelas semua akan konsentrasi. Peserta konsentrasi menyontek, pengawas konsentrasi mengantuk. Hmm.
Di belakang sana, ada satu siswi yang menunduk terus, menjawab soal dengan cepat. Mencurigakan. Saya sudah kenal berbagai gaya menunduk, terutama menunduk untuk menyontek.
Saya berdiri mendekat. Tangannya berhenti menulis, ia memandang saya sambil tersenyum.
“Bisa?” tanya saya.
Diawur, Bu,” lagaknya malu-malu. Saya tidak kemana-mana. Berdiri saja di dekatnya. Ia benar-benar berhenti menulis. Diam saja, diiiaaaaam saja. Mungkin dia lapar...
Merapat ke mejanya, saya menengok kertas jawabannya.
“Coba lihat,” saya tersenyum.
Tangannya menempel kuat pada kertas jawabannya.
“Jangan Bu, saya jawabnya ngawur kok,” katanya, masih berlagak malu-malu.
Saya menarik kertasnya pelan-pelan. Dia mempertahankan kuat-kuat.
“Gak papa, saya mau lihat jawabanmu saja,” saya tersenyum lagi. Dia juga tersenyum. Haha, guru dan murid bersandiwara.
Akhirnya, tentu saja karena saya punya otoritas yang besarnya melebihi otoritasnya, kertas itu bergeser.


Ciluuuuuk, baaa! Ada kertas lain, penuh catatan di bawahnya.
Dia diam ketika saya ambil pelan-pelan kertas itu. Kepalanya menunduk. Tidak ada lagi lagak malu-malunya.
Hari lain, saya mengawas di kelas lain. Saat soal dibagi, alas menulis peserta bersih semua. Tak ada kertas apa pun di atas meja mereka.
Ketika berkeliling, menit-menit berikutnya, alas-alas itu tiba-tiba menebal. Di bawah lembar jawaban atau soal, berlapisi-lapis kertas terselip.
Saya berdiri di antara dua meja. Sebelah kiri, menutupi lembar jawabannya sedemikian rupa. Sikunya menempel di kertas seolah takut lepas.
Saya pura-pura mengintip lembar jawabannya. 
Ciluuuk, baaaa!
“Ada kartu pesertamu di bawah lembar jawaban. Tidak mengganjal?” saya sok perhatian. Modus banget.
Dia mengambil kartu yang terselip itu, dengan siku tetap menempel pada kertas. Saya menarik kertasnya, menyisihkan satu  lembar lain yang berisi catatan kecil-kecil. Mengambilnya sambil tersenyum. Uh, kejamnya saya ya!
“Hanya boleh ada lembar jawaban di alas menulis kalian. Silahkan simpan kertas-kertas lain di tepi meja. Atau saya yang akan mengambilnya,” kata saya.
Pasti anak-anak berpikir, bu guru ini killer dan menyebalkan. Huh!
Siswi di depan saya menunduk saja, seperti pura-pura tidak mendengar. Jelas-jelas di alasnya ada lebih dari dua lembar kertas.
          Jadi, mari eksekusi. Saya  meminta alasnya, mengambil kertas  lain selain lembar jawaban.

          Ciluuuk, baaa! Ada empat lembar sontekan! Oohhh, banyaknye!
          “Judul bidang studi yang tertulis agama, kenapa isinya tentang bank?” saya bertanya.
          “Itu Bu, dibuat waktu ulangan yang dulu,” dia menjawab tanpa sungkan. Wah, jadi ini koleksi sontekan? Saya surprais, tapi gak mau  bilang ‘wow’ apalagi kudu salto. Ogah.
          So, begitulah. Menghilangkan kebiasaan buruk ini di kalangan siswa sama sekali tidak mudah. Susyeeeee! Kami, para guru, mendiskusikan ini di group. Rupa-rupa sontekan didapat. Ada buku yang difotocopy mengecil, dan jadi buku saku.
          Itu termasuk modus jadul, sebenarnya.
          Satu ibu guru menceritakan bahwa dihari sebelumnya, ada siswi yang membawa hape dan menyembunyikannya di...be**!
          Aduh, kok ya kepikir menyimpan di situ. Cerita itu disambut tawa dan lelucon bapak ibu guru. Jadi ingat group wa saya, yang isinya para instruktur nasional. Ada satu bapak yang gaya tawanya khas.
          Mungkin, kalau saya share cerita siswi menyembunyikan hape di be** saat ujian, dia akan tertawa keras-keras.
          Tawanya begini: Bhehahahahahahahaha.... Eh.

10 komentar:

  1. Bwahahaha saya ketawa baca tulisan ini dari awal sampai akhir mbak. Semangat ya ibu guru. :)

    BalasHapus
  2. Hehehehe.. makasih sudah mampir. Ganbatteeee!

    BalasHapus
  3. Mau nyari emot ngasih jempol.. Eh ga ada.. Hehe.. Sukses Bu... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nyari jempolnya dimana? hehehe. Terima kasih sudah mampir yaa..

      Hapus
  4. Waduh, bu guru Umi dikenal killer? Gak nyangka saya. Lha wong gaya nulisnya aja kocak gini kok :D
    Coba deh, Bu, anak2 suruh sering baca-baca blog ini. Biar mereka lebih mengenal bu guru Umi ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. kalau pas ngajar sih santai Mak. Kalau pas ulangan strict bangte, supaya mereka belajar bener2

      Hapus
  5. bu guruuuu...hahaha seneng deh baca postingan2nya bu guru soal sekolah begini. Remind me of my teenager life, waktu masih sekolah SMP SMA. Seru ya cerita soal contek mencontek begini, pada nemuuu aja aneka ragam cara buat bikin contekan paling oke sedunia. Duh naro di b*ha? Ulalaaaa....apa gak risih kalo hapenya pas getar ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. 'Ulalaaaa....apa gak risih kalo hapenya pas getar ya?'
      Wahahaha...iya, hihi...itu juga yang saya pikirkan.
      Kalau pas lagi ngawas, pinter2an sama anak-anak.. Mendadak pura-pura jadi detektif Conan qiqiqiqi.

      Hapus
  6. Assalamualaikum Ummi...Wah ini cerita aku banget, paling tidak diharapkan mengawas ujian. Prinsip saya terserah mau diisi dengan cara apapun atau bahkan tidak usah diisi asalkan jangan mencontek ke teman atau ke buku. Pernah saking pasrahnya tidak bisa menyontek, salah satu muridku memilih jawaban dengan dikocok seperti arisan! haha. btw salam kenal ya #KEB

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alaikumussalam warahmah.. senang bertemu ibu guru juga..hehe. Bu guru killer juga rupanya? Kita harus menabahkan hati ya, sebab menjadi orang yang paling tidak diharapkan..wahahaha. salam kenal kembali. Terima kasih sudah mampir.

      Hapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.