HANDUK DI KETIAK
Dua tahun lalu, saya belajar menyetir mobil. Kursus. Ada beberapa paket ditawarkan, mulai dari dua kali pertemuan hingga ‘sak puase’.
Sebentar, ini
tulisan semi curcol. Bisa jadi bahan pertimbangan jika ingin ikut kursus
menyetir. Ini juga tanggapan atas tulisan disini.
Saya mendapat
instruktur yang masih muda. Sebut saja namanya Andri. Ganteng, sih. Tapi
juteknya minta ampun. Gak sabaran juga. Sebenarnya, saya sudah diberi tahu
teman yang pernah kursus di tempat yang sama.
“Instruktur itu
marah-marah terus,” katanya, sambil menyebut nama. Dasar saya pelupa level
dewa, nama orang jutek itu lenyap begitu saja.
Dan, ternyata
instruktur saya si jutek tersebut.
Akhirnya saya
belajar juga. Pertemuan awal, saya agak bete. Agak, sebab masih berusaha
menyabarkan diri. Andri sama sekali tidak bersahabat. Cara mengajarnya seperti
memendam kemarahan.
Pertemuan kedua,
saya tidak langsung pulang. Ada instruktur lain yang mengajak mengobrol. Ada
owner lembaga juga. Saya ditanya-tanya bagaimana progress belajar menyetirnya.
Saya menahan kebetean, beberapa kali terdiam, mencari kata-kata yang tepat.
“Saya ambil alih
saja, besok sama saya,” kata instruktur tersebut. Sebut saja, Pak Hasan.
Mungkin saya tampak tertekan. Mungkin wajah saya semi mewek, lelah lahir batin. Wahahaha. Malamnya, owner lembaga itu mohon maaf, dan
meminta saya menyampaikan saran bagi lembaganya jika ada yang perlu diperbaiki.
Maka, kursus
berikutnya, saya lebih nyaman. Pak Hasan bersabar sekali menghadapi saya yang
penakut. Kata-katanya membesarkan hati. Menurut beliau, saya termasuk yang cepat bisa.
Alhamdulillah.
Lepas kursus, belum
berani bawa mobil siang hari. Saya putar-putar jalan di luar kompleks ba’da
shubuh. Pedenya masih sembunyi malu-malu.
Satu pagi, ingin
coba parkir mundur. Ternyataaa... Pesok hadiriiiin! Huaaaa. Mas Budi hanya
senyum-senyum mendapati pintu sebelah kanan beset-beset.
"Ayo, putar-putar kompleks. Pengen tahu gimana Bunda nyetir," kata Mas Budi suatu waktu. Sejujurnya, saya gak pede. Tapi mobil sudah dikeluarkan. Oke lah. The show must go on.
Saya di depan dengan Mas Budi. Anak-anak ikut semua, berkicau dengan riangnya. Tangan saya berkeringat. Grogi. Walau sudah keliling-keliling kompleks dan jalan sekitar rumah, duduk di sebelah Mas Budi jelas berbeda.
Nervous, saya tekan pedal gas pelan-pelan. Mobil melaju, batuk-batuk.
"Hiyaaa... Hiyyaaaaa..," anak-anak ribut juga berekasi atas laju mobil yang bikin mabuk ini. Saya makin grogi. Anak-anak bersorak-sorai, serupa menonton bola saja.
"Duduk!" seru saya. Melirik sekilas, saya lihat anak-anak melonjak-lonjak di belakang kursi supir. Sebab grogi, saya khawatir lonjak-lonjaknya mereka bikin mobil oleng. Hohoho, nervous memang bikin otak jadi ngaco!
"Awasss!" Mas Budi memberi aba-aba ketika saya akan berbelok. Anak-anak, lagi-lagi, ikut berteriak. Nadanya berbeda, tentu saja. Kalau Mas Budi asli nada cemas, anak-anak seperti seru-seruan saja.
Saya melirik mas Budi sekilas. Haduuuh, tangannya berpegangan erat. Keringat besar-besar menetes. Belum pernah saya lihat mas Budi setegang itu. Biasanya cool.
Grogi naik tingkat. Levelnya menjadi-jadi. Kalau digambarkan dalam grafik, titik maksimalnya sudah dilewati, melesat tak tentu arah.
Menjelang berbelok di jalan menuju rumah, saya nyaris menabrak tembok rumah tetangga yang ada di sudut. Mangkel luar biasa dengan tembok itu. Ngapain juga dia mepet-mepet jalan begitu. Mbok minggir dikit. Bikin susah orang yang baru belajar nyetir saja. Huh!
"Gimana, sih? Cara nyetirnya medeni gitu!" komentar Mas Budi dnegan wajah tegang.
Saya nggondok. Keluar dari mobil, pintu saya banting dengan keras. Saya pindah ke pintu sebelah.
"Gantikan nyupir. Aku berhenti!" saya manyun level dewi. Mas Budi tertawa. Menyadari kalimatnya yang bikin down.
"Maaaaaaf... Ayo, nyetir lagi!" rayunya. Gak mempan. Saya kadung takut dan was-was lihat wajah cemasnya itu. Baper, asli.
Dan, setelah itu, saya gak berani lagi nyetir.
"Hahahaha, kalau belajar nyetir, jangan sama suami. Suami mah dimana-mana sama, pasti ngomel-ngoomel kalau ngajarin isterinya nyetir, Lha wong saya juga gitu kok!" kata teman saya, ketika saya ceritakan pengalaman itu.
Sahabat saya di Jakarta (yang sama mungilnya dengan saya) , memberikan tipsnya.
"Pakai handuk di ketiak, Mi. Kalau grogi dan berkeringat, kan suka basah ketiaknya. Nah, pakai itu, jadi tenang," sarannya.
Beberapa waktu lalu, dia wa saya. Menanyakan apakah saya sudah berani membawa mobil sendiri.
"Belum," jawab saya isin-isin.
"Sudah beli handuk? Beli handuk kecil dulu, buat dikempit di ketiak," sarannya, sambil tergelak.
Handuk kecilnya sudah ada sekarang. Nangkring dengan manis di lemari. Tapi belum pernah mampir di ketiak saya. Keberanian itu masih ngumpeeeeet entah dimana.
Hiks.
Saya di depan dengan Mas Budi. Anak-anak ikut semua, berkicau dengan riangnya. Tangan saya berkeringat. Grogi. Walau sudah keliling-keliling kompleks dan jalan sekitar rumah, duduk di sebelah Mas Budi jelas berbeda.
Nervous, saya tekan pedal gas pelan-pelan. Mobil melaju, batuk-batuk.
"Hiyaaa... Hiyyaaaaa..," anak-anak ribut juga berekasi atas laju mobil yang bikin mabuk ini. Saya makin grogi. Anak-anak bersorak-sorai, serupa menonton bola saja.
"Duduk!" seru saya. Melirik sekilas, saya lihat anak-anak melonjak-lonjak di belakang kursi supir. Sebab grogi, saya khawatir lonjak-lonjaknya mereka bikin mobil oleng. Hohoho, nervous memang bikin otak jadi ngaco!
"Awasss!" Mas Budi memberi aba-aba ketika saya akan berbelok. Anak-anak, lagi-lagi, ikut berteriak. Nadanya berbeda, tentu saja. Kalau Mas Budi asli nada cemas, anak-anak seperti seru-seruan saja.
Saya melirik mas Budi sekilas. Haduuuh, tangannya berpegangan erat. Keringat besar-besar menetes. Belum pernah saya lihat mas Budi setegang itu. Biasanya cool.
Grogi naik tingkat. Levelnya menjadi-jadi. Kalau digambarkan dalam grafik, titik maksimalnya sudah dilewati, melesat tak tentu arah.
Menjelang berbelok di jalan menuju rumah, saya nyaris menabrak tembok rumah tetangga yang ada di sudut. Mangkel luar biasa dengan tembok itu. Ngapain juga dia mepet-mepet jalan begitu. Mbok minggir dikit. Bikin susah orang yang baru belajar nyetir saja. Huh!
"Gimana, sih? Cara nyetirnya medeni gitu!" komentar Mas Budi dnegan wajah tegang.
Saya nggondok. Keluar dari mobil, pintu saya banting dengan keras. Saya pindah ke pintu sebelah.
"Gantikan nyupir. Aku berhenti!" saya manyun level dewi. Mas Budi tertawa. Menyadari kalimatnya yang bikin down.
"Maaaaaaf... Ayo, nyetir lagi!" rayunya. Gak mempan. Saya kadung takut dan was-was lihat wajah cemasnya itu. Baper, asli.
Dan, setelah itu, saya gak berani lagi nyetir.
"Hahahaha, kalau belajar nyetir, jangan sama suami. Suami mah dimana-mana sama, pasti ngomel-ngoomel kalau ngajarin isterinya nyetir, Lha wong saya juga gitu kok!" kata teman saya, ketika saya ceritakan pengalaman itu.
Kempitlah handuk di ketiak, agar lega keringatmu mengalir... |
"Pakai handuk di ketiak, Mi. Kalau grogi dan berkeringat, kan suka basah ketiaknya. Nah, pakai itu, jadi tenang," sarannya.
Beberapa waktu lalu, dia wa saya. Menanyakan apakah saya sudah berani membawa mobil sendiri.
"Belum," jawab saya isin-isin.
"Sudah beli handuk? Beli handuk kecil dulu, buat dikempit di ketiak," sarannya, sambil tergelak.
Handuk kecilnya sudah ada sekarang. Nangkring dengan manis di lemari. Tapi belum pernah mampir di ketiak saya. Keberanian itu masih ngumpeeeeet entah dimana.
Hiks.
Situ sih mending mak, aku sampe jatuh di got
BalasHapusHuaaa...piye rasanya? Jangan sampe deh aku masuk got. Ngeri...
HapusHahahha... dimana-mana suami kena black list kalau soal ngajarin berkendara 😂😂😂
BalasHapusBetuuuul... Wajah tegangnya bikin bete. Wehehehe
HapusHuahahahahhaaaa....!!
BalasHapusIdih.. keras amat ketawanya... Hehhee
Hapuspakek rexona mi biar ketiak ga basah jdi ga perlu handuk hehehe
BalasHapus