BERAT BADAN DAN NYANYIAN NAJMA

Selasa, Februari 07, 2017
           
Najma cuwantik..;)

              Berat badan saya seputar 48 – 49, dengan tinggi badan mentok di 150 cm kurang dikit. Dikiiit, kok. Bisa dipermak dengan menambah tinggi sepatu barang dua sentimeter.
                Kenapa ujug-ujug cerita tentang berat badan?
                Sebab pertama, sebagai tanggapan atas tulisan disini
                Sebab kedua, beberapa group wa alumni, jika singgung berat badan, heboh. Ada yang memberi julukan The Big, bagi kelompok yang mengembang dengan sukses. Makmur, bahagia, dan subur.
                Isu berat badan menjadi bahan diskusi asyik. Kadang disertai dengan mengunggah foto diri untuk membuktikan kebenaran fakta ‘ I am getting bigger’. Biasanya saya hanya mengamati saja. Bukan apa-apa. Saya termasuk yang tidak punya prestasi mengembang sebagaimana teman-teman.
                Boro-boro mengembang, saya bahkan mudah sekali turun bobot. Pernah sepekan, menurun 1, 4 kg. Penyebabnya? Diare! Hehehe. Tidak elit, bukan? Masalahnya, saat diare, saya tengah berobat akibat sakit. Dan setiap kali kontrol ke dokter, berat badan saya tidak boleh turun. Harus stabil. Lebih baik lagi jika naik.
                Begini kata perawat yang mencatat perkembangan medis saya:
                “Kok berat badannya turun, Bu? Dinaikkan, ya,” katanya.
                Tiba-tiba saya merasa serupa balita di posyandu! Periksa, timbang. Tinggal ditambahi grafiknya saja.
                Kecilnya badan saya, mungkin memang dianggap prestasi. Tapi kadang, itu menjadi bahan lelucon juga.
               Misalnya, ketika menjahitkan kain ke tetangga, Saya hendak membuat rok. Bu Rima, sebut saja begitu, mulai mengukur badan saya. Begitu tiba lingkar pinggang, dia melongo. Kemudian meledak tawa.
             "Ini benar cuma segini??" katanya, sambil memelototi angka di meterannya, yang berkisar enam puluhan sentimeter.  Dia terkekeh geli, sambil membandingkan dengan badannya sendiri.
            "Kok bisa kecil, sih?" masih sambil tergelak-gelak. Entah apanya yang lucu. Saya nginyem sendiri. Tidak merasa tersanjung sedikitpun dengan kata-katanya.
              Syukurlah, alhamdulillah, ada perbaikan keturunan pada anak-anak.
                Nabila,  yang pertama, tinggi menjulang 160-an cm, kelas dua SMA. Anak saya kedua, kelas enam SD, tingginya sudah melampaui saya. Berat badannya 51 kg. Bongsor, montok.
                Suatu waktu, kami berkumpul berenam di ruang tamu. Najma tengkurap di depan saya dan Ayah. Zahra juga tengkurap di sebelah lainnya.
                “Naj, bokongmu gede banget!” goda Ayah.
                “Bunda juga!” katanya cuek. Adik-adiknya tertawa.
                “Kamu belum haid, kelas enam,  sudah sebesar ini. Ntar kalau haid, tambah tinggi tambah besar juga, ya,” kata saya sambil menepuk-nepuk pahanya.
                “Baguslah. Timbang Bunda, sudah haid gak gede-gede, “ Najam melirik saya kenes.
                Ayah, Nabila, Zahra dan Hafidz tergelak-gelak. Ayah pakai acara tambahan; melirik penuh geli pada saya. Saya? Keqi berat, lah. Tapi seperti halnya emak-emak sejati, bukan saya namanya jika tak bisa memutar otak dengan cepat. Mencari cara ‘ngeles’ dengan cantik. Kalau perlu, sekaligus menyeret satu dua orang agar senasib.
                “Gak papaaaaa.... Kecil-kecil gini, Ayah kepincut berat sama Bunda. Tanya Ayah tuuuh,” saya mulai melempar umpan.
                “Iya lah, Ayah mau sama Bunda. Sebab Ayah begini... Begini nih..,” Najma bergerak sedikit. Dia juga berhenti berbicara sejenak. Lagaknya memberi efek penasaran. Maka kami tak ada yang bersuara, menunggu. Terhipnotis dalam diam, memandangnya,  hingga mulut Najma kembali membuka.
                “Begini : ‘...sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama ku sibuk sendiri...’.” Najma bernyanyi dengan suara rendah tapi berat.
                Meledaklah tawa semuanya. Terpingkal-pingkal. Geli bercampur terkejut. Tak mengira Najma akan bersenandung dengan cara begitu menghayati, begitu  sendu, tapi matanya berpendar begitu jenaka. Jail bin usil.
                Ayahnya tergelak-gelak, gembira tiada tara. Sembari mata hitamnya mengerling pada saya. Zahra terkekeh-kekeh bersama Hafidz. Nabila terguling-guling sambil menunjuk-nunjuk saya.
                Saya? Sekian detik, mati gaya. Itu hantaman balik tak terduga. Otak saya macet, kehilangan kata-kata. Bagaimana cara membalasnya? Bagaimana menutupi gaya yang nyangkut di lorong keqi?
                Cengar-cengir gak jelas, itu cara saya bereaksi. Gak jelas,  campur aduk antara takjub, geli, lucu, keqi, malu. Juga sebal. Cerdas nian dia mendeskripsikan lewat lagu. Dahsyat pukulannya. Telak! Skak mat!
                Begitulah. Saya diam saja, senyum-senyum. Biarkanlah mereka, orang-orang yang saya cintai, berguling-guling tertawa. Biarkanlah mereka menikmati indahnya pemandangan wajah saya yang sedang pura-pura tersipu.
                Jadi, jika di kalangan teman-teman langsingnya saya menjadi bahan pertanyaan ‘kok bisa?’; maka di hadapan anak-anak dan suami, ceritanya jadi lain. Kejadian itu membuat saya penasaran juga. Saya googling  di tab,  mencari lirik lagu itu. Ingin tahu isi lagu seluruhnya.  
               "Siapa yang search lagu ini?" Najma bertanya sambil menunjukkan tab. 
               "Bunda ya? Wehehehehe.... Penasaran, ya? Wahahaha," Najma tergelak-gelak kembali. 
                Malangnya saya. Skornya jadi telak, 3 - 0!

6 komentar:

  1. Hahaha.. saya ikut tertawa baca ini.. apalagi baca jawaban Najma... :D

    BalasHapus
  2. Wuahhhh beruntung nya dirimu mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. TErgantung sudut pandangan, Mak. Bagi anak-anak, kecilnya saya itu menggelikan..hehehe

      Hapus
  3. saya juga kecil Mbak :D

    huahahahh, kayaknya Najma ini ikut bakat usil Uminya yaah, xiixixix
    makasih ya Mbak tanggapannya^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... usil itu bakat terpendam emaknya..

      Hapus
  4. Kayak adikku tuh, anaknya 8 tapi tetap langsing. Btw, itu lagunya siapa sih?

    BalasHapus

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.