DAYCARE? YUUKS...

Rabu, Desember 27, 2017


Dulu, saya masih bisa titipkan anak pertama saya ke kakek neneknya. Nabila, anak pertama. Lalu, yang kedua, sampai keempat, saya titipkan di daycare. Iya, daycare, milik kami sendiri. Daycare ini, kemudian hari, menjadi alternatif penitipan anak bagi ayah-bunda yang tidak bisa menitipkan anak pada kerabat atau kesulitan mendapatkan pengasuh ke rumah. Eh, tidak selalu alasan menitipkan anak sebab dua hal tersebut. Kadangkala, ada orang tua yang lebih suka menitipkan di daycare daripada memanggil pengasuh ke rumah. Alasannya, di daycare bisa belajar sosialisasi, dan mendapat pengkondisian tertentu.
Tulisan ini sebagai tanggapan atas tulisan mak April Hamsa yang diposting dI web emak-emak blogger yang keren. Cari disini ya.

SUKA DUKA

Mengelola penitipan anak atau day care itu seru. Eh, bukan begitu. Kurang pas. Diulang dulu, begini.
Mengelola penitipan anak atau day care itu suweeeeruuuu. Beneran. Dukanya banyak, sukanya apalagi.
Didirikan tahun 2004, namanya Babyclass ABaTa, ketika saya sedang santai, alias menganggur. Bayi pertama adalah putera bungsu sahabat, namanya Abin, plus anak saya sendiri, Najma.
Dua bayi itu tumbuh bersama, sekolah bersama hingga taman kanak-kanak. Mereka seperti kakak adik, akur dan lengket. Abin masuk SD lebih dahulu, di usia 6 tahun. Saya menahan Najma agar tuntas menjelang 7 tahun. Setelah berpisah, selama beberapa tahun, mereka saling menelepon. Apa yang dibicarakan? Aktivitas masing-masing. Dalam sehari, bisa dua tiga kali bergantian menelepon.

Selain mereka, ada anak-anak lain yang silih berganti datang. Kini, Daycare kami menerima maksimal 30 batita, tidak bisa lebih. Sebab ruangan terbatas.
Usia yang diterima adalah mulai 1 bulan hingga menjelang 4 tahun. Jika sudah 4 tahun atau lebih, kami sarankan masuk kelompok bermain juga. Variasi kegiatannya lebih banyak dan membutuhkan alat main yang (sebagian) berbeda.

Menitipkan anak dibawah tiga tahun di daycare bukan perkara sederhana.
Pertama, lingkungan daycare bukan lingkungan rumah sendiri. Bagi anak, ini bsa menjadi masalah besar, apalagi jika kebetulan mereka masuk dalam tipikal anak yang sulit atau lambat adaptasi.

Kedua, di daycare, banyak teman. Teman baru, dan masih asing. Beberapa orang tua menitipkan anaknya dengan pesan khusus: “Di rumah dia hanya sama kami, orang tuanya. Saya khawatir dia sulit berbagi mainan atau mau menang sendiri.”

Ketiga, gaya pengasuhan di daycare bisa jadi sangat berbeda dengan di rumah. Di rumah dia bisa seenaknya, di day care dia dikenalkan dengan aturan-aturan sederhana. Di rumah, jika bersama eyang, dia cenderung dimanja dan dituruti semua keinginannya. Di daycare, para pengasuh memberi batasan-batasan yang sifatnya mendidik. Misalnya, masalah makanan. Kami sangat menyarankan orang tua untuk tidak membawakan makanan ringan ber-msg. Lebih baik jika bekal kudapan berupa buah, atau susu.

Banyak kejadian lucu hari-hari permulaan adaptasi para batita. Ilham, misalnya. Sekarang dia sudah kelas tujuh di SMPIT. Bergabung di daycare kami sejak usia sekitar satu tahun lebih, hingga TK B.
Selama beberapa pekan saat itu, akan tampak pemandangan ini: cowok kecil, berjaket, kaos kaki dan sepatu. Helm masih di kepala. Duduk menangis di dekat ayunan selama hampir satu jam (kadang lebih!). Memeluk tasnya, menangis tersedu-sedu. Dia menolak masuk ruangan. Menolak disentuh. Menolak diajak bicara. Jika ditanya, jawaban hanya gelengan atau anggukan saja. Setelah melewati masa sulitnya itu, keadaan berubah. Ilham tidak mau segera pulang saat dijemput!
Ayah Ibu Ilham termasuk tatag alias tabah. Orang tua model begini sangat membantu Ananda dalam melewati masa sulit adaptasi.

Pernah juga ada ibu yang perasa, sedih ketika menitipkan anaknya. Berkali-kali mengirim pesan pendek, cemas, dan rindu. Anaknya? Nyetrum, lah. Dia rewel, gelisah, dan menangis terus-terusan. Atau bete, dan mudah emosi.
Tidak semua bayi yang dititipkan berdrama begitu. Banyak juga yang santai. Bahkan ada yang langsung lari dan menyuruh ayah ibunya cepat pulang. Dia sendiri sibuk memainkan ini itu, mendekati teman-teman barunya, bahkan menyeret satu dua teman baru agar mau bermain bersama.

AGAR NYAMAN DAN YAKIN

Pernah mendengar daycare yang memberikan obat tidur pada batita-batita di jam tertentu? Saya tidak tahu, benarkah ada daycare demikian. Semoga tidak. Jika ada, ya Allah, tega sekali.
Daycare kini bertebaran di mana-mana. Kebutuhan para ibu yang memilih bekerja, dan sulit mendapatkan pengasuh di rumah, membuat minat terhadap daycare meningkat.
Beberapa catatan perlu diperhatikan para Bunda yang hendak menitipkan putera puterinya di daycare.

Pertama, kenali gaya pengasuhannya. Di ABaTa, para orang tua yang hendak bergabung, diberi kesempatan sit in selama satu dua hari, kadang hingga sepekan. Mereka boleh stay selama beberapa waktu setiap hari (satu hingga tiga jam, misalnya). Tujuannya untuk memberi kebebasan bagi calon wali murid untuk menyelami suasana pengasuhan kami. Juga mengenalkan suasana baru pada sang baby. Jika merasa cocok, monggo teruskan dengan mendaftar. Jika tidak, ya tidak masalah. Persoalan pengasuhan ini persoalan selera dan kenyamanan. Juga kepercayaan. Akan lebih baik jika orang tua melepas pengasuhan putera puterinya dengan diiringi rasa percaya dan aman.

Kedua, kenali sistemnya. Lakukan diskusi kecil, ringan, namun efektif untuk mengenali sistem lembaga daycare. Kenali visi pengasuhnya, kenali gaya berkomunikasi dengan sesama pengasuh dan anak-anak asuhannya. Jajaki bagaimana mereka menangani masalah, komplain dan ketidakpuasan customer. Kenali visi kepala sekolah atau pimpinannya. Saya masih percaya bahwa visi pimpinan akan berpengaruh kuat pada kultur kerja lembaga.

Ketiga, cermati progamnya. Terutama program unggulan atau rutin. Apa kelebihannya, dan apa kekurangannya. Sebab tak ada lembaga daycare yang seratus persen sempurna. Amati, apakah program-program itu sejalan dengan idealisme pengasuhan kita. Misal, jika kita suka membaca, tanyakan apakah ada program membacakan buku setiap hari? Kapan? Bagaimana caranya? Berapa jumlah koleksi bukunya? Begitu juga dengan program-program lainnya.

Nah, jika sudah memutuskan bergabung, perlu lakukan hal-hal ini:
Pertama, komunikasikan kebiasaan-kebiasaan si kecil di rumah. Jam berapa tidur, minum susu berapa kali, jika bete, kurang nyaman, harus dibagaimanakan. Bagaimana mengatasi kerewelannya. Jika menemukan kejanggalan sepulang dari daycare, segera sampaikan pada pengasuh agar segera ada kejelasan.
Kedua, kooperatiflah. Kadang-kadang ada gaya pengasuhan yang berbeda antara di rumah dan daycare. Misal, sebab si kecil cucu pertama, dan di rumah tinggal bersama eyang, dia cenderung dimanja. Dituruti segala sesuatunya. Perbedaan ini bisa jadi akan menjadi hambatan bagi si kecil untuk beradaptasi. Sebab di daycare dia dikondisikan dalam lingkungan sosial yang heterogen. Tidak bisa lagi menang sendiri, belajar berbagi, bersabar menunggu giliran dll.
Poin kedua ini, di ABaTa, sering menjadi pesoalan pelik. Misal, kami meminta anak-anak usia satu setengah tahun sudah tidak lagi memakai popok . Mereka diberi toilet training. Di daycare, toilet training sukses. Libur sehari dua hari, kembali masuk, jebol lagi. Usut punya usut, ternyata selama di rumah dia masih pakai popok!

Menitipkan anak di daycare bisa menjadi alternatif jika kakek nenek, kerabat, tidak bisa membantu. Dengan komunikasi yang intens, kecemasan orang tua bisa diminimalisir.

Btw, mau titip di ABaTa? Yuuks.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.