HIRUK PIKUK PURNAWIYATA

Senin, Mei 07, 2018
“Purnawiyata pakai kebaya?” Saya bertanya pada Nabila sekitar tiga bulan lalu. Di sekolah saya, SMKN 1, purnawiyata itu jadi ajang show… Kebaya aneka warna dan make up seolah ‘wajib’. Mendadak banyak ‘panitia manten’ bertebaran. Ada yang berkebaya simple, ada juga yang ..heboh. Dengan model krah berdiri seperti kipas, sanggul tinggi, dan make up komplit, pakai ‘bling-bling’ segala. Saya jadi ingat pawai budaya… Wehehehe.
“Pakai,” kata Nabila.
“Maunya bagaimana? Coba cari model kebaya yang gak ‘melepet’.” Walau mengangguk, sampai beberapa pekan kemudian, belum ada kelanjutan topik ini. Sampai suatu waktu Bu Fitri, salah satu ‘geng’ di sekolah menunjukkan gambar model kebaya. Saya forward kepada Nabila, dan dia menunjuk salah satunya. Kain brukat dipesan di Bandung, lalu masuk ke penjahit.
“Aku rias di…,” Nabila menyebutkan satu tempat.
“Sama temanku,” tambahnya.
“Make up tipis-tipis saja ya, minta pada periasnya, tidak menor.” Kami juga diskusi masalah jilbab, bahwa jilbabnya menutup dada dan hiasannya sederhana saja. Tidak usah dipilin-pilin, ditumpuk atau ditinggikan seperti menara…



Hari iTU, Sabtu 05 Mei 2018, ada sedikitnya tiga sekolah yang mengadakan purnawiyata atau perpisahan. Pertama, SMAN 1, sekolah Nabila. Lalu SMA 1 dan SMA 3. Juga SMPN 2. Nabila sudah berangkat ke salon sejak shubuh. Acara jam tujuh pagi. Saya membayangkan, shubuh tadi berbondong-bondong pelajar putri menuju salon, lalu antri untuk dimake up. Sementara para siswa (putra) bisa leyeh-leyeh atau mengerjakan yang lain. Mereka Cuma memakain hem, dasi, dan berjas. Begitu saja. Ringkas. Beda jauh dengan siswi putri yang harus persiapan lebih awal dan kostum lebih ribet.

“Kenapa wisuda identik dengan kebaya dan berdandan? Siapa yang memulai itu?” Itu pertanyaan Mas Budi yang tidak bisa saya jawab. Maunya sih ikut cara Ebiet G Ade, tanyakan pada rumput yang bergoyang. Tapi saya malu mau tanya. Malu, nanti kalau dianggap gila, bagaimana?

Saya hadir sekitar pukul delapan pagi. Sudah ada beberapa deret banku yang terisi. Sebagian wisuawan wisudawati belum hadir.
“Bunda sudah di sekolah?”
“Sudah. Nabila dimana?”
“Baru mau berangkat.”

Saya tolah toleh. Mengamati sekeliling. WIsudawati hilir mudik dengan kebayanya. Sebagian besar bergaya kerudung yang simple dan manis. Ada yang seperti panitia pernikahan. Maksud saya, model jilbab dan bajunya serupa hajatan. Para wisudawannya berjas warna gelap, dan tampak gagah. Dewasa dan elegan.

Acara dimulai sekitar pukul sembilan. Saya duduk di deretan orang tua murid kelas IPA. Nabila IPA1. Sebelah saya seorang ibu yang putrinya di IPA 3.
“Rumahnya mana, Bu?” Beliau bertanya.
“Di dekat sini, gubernur Suryo. Ibu?”
Beliau sebutkan satu desa.
“Nama anak saya Sukma. Dia tidak pakai kebaya, tapi baju batik yang dimodel kebaya. Tidak pakai sewa baju, Bu. Mahal. Uangnya untuk ikut tes SBMPTN. Dia ingin kuliah. Nilai UN putri panjenengan bagus?”
“Alhamdulillah, dua ratus sembilan puluhan. Tahun ini kabarnya menurun ya, Bu. Putri Ibu?”
“Dua ratus lima puluhan. Dia nangis seharian di kamar. Malu. Di keluarga besar kami dulu rata-rata tiga ratus dua puluh, atau tiga ratus sepuluhan. Lha kok dia jeblok. Dia malu,” katanya dengan suara bergetar.
“Tahun lalu kan nilainya tidak sejeblok sekarang Bu, jadi kurang pas kalau dibandingkan begitu. Misalnya, dulu nilai tertinggi bisa jadi 370-an, lalu nilai saudara-saudaranya 310-an. Sekarang nilai tertinggi 310-an, putri Ibu 250-an. Kan sudah lumayan.”
“Ngoten, nggeh? Kemarin anak saya ikut tes vokasi, tidak lolos juga. Dia nangis juga seharian di kamar. Saya jadi merasa beban, anak sedih, saya ikut sedih. Dia ingin sekali kuliah. Ingin mengubah nasib, katanya. Keluarga kami belum ada yang kuliah,” suaranya semakin bergetar.
“Saya mikir, kasihan anak saya kalau gagal. Beban di saya sebagai ibunya,” bisiknya. Saya tidak berani memandang wajahnya. Tangan beliau memilin-milin tisu, sesekali diusapkan pada matanya.
“Ibu harus kuat, optimis. Jangan ikut sedih dan nelongso, nanti putri Ibu makin nelongso. Mungkin akan merasa bersalah. Kata seorang teman, kita sebagai Ibu sedang mengantar anak-anak ke gerbang takdirNya. Mereka punya jalan sendiri-sendiri,” kata saya.

Apakah saya tidak cemas? Cemas, dan khawatir. Bagaimanapun saya berharap Nabila bisa masuk PTN tahun ini, dan kuliah. Ikut aktivitas dakwah menjadi mahasiswi yang bagus agamanya, luas pengetahuan, dan dewasa. Saya berharap Allah tuntun dia bertemu orang-orang baik dan sholih yang akan membawa pengaruh baik bagi imannya. Saya berharap Allah menjauhkan dia dari keburukan orang-orang yang buruk agamanya dan buruk akhlaqnya. Saya berharap dia tidak berdekat-dekat apaagi dipengaruhi oleh orang-orang yang memusuhi dakwah dan agama ini.
Banyak sekali harapan saya, ya?

“”Anak-anak kita sedang meniti takdirnya. Bisa jadi jalan kebaikan baginya bukan di PTN,” begitu kira-kira singkatnya nasihat teman saya itu. Puteranya tidak diterima di PTN tahun lalu, kemudian masuk ke pesantren menghafal Al Quran selama setahun. Tahun ini masuk perguruan tinggi swasta di Malang. Dengan berbagai rencana. Dia tampak matang, dewasa, dan bersemangat. Sang Ibu juga tenang dan optimis. Mengantar pada takdir.

“Itu anak saya, yang kerudung hijau,” Ibu tersebut menunjuk barisan wisudawati yang menunggu giliran naik panggung. Nada suaranya begitu bangga. Penuh kasih.
“Dia takut menyusahkan saya, tidak mau sewa baju. Kain jaritnya juga pinjam. Dananya lebih baik untuk tes besok Selasa. Dia mencari kost di dekat tempat tes. Satu kamar dua satu ribu semalam. Dia menginap bertiga dengan temannya,” lanjut sang Ibu. Saya hanya mengangguk-angguk.
“Kalau nanti tesnya tidak lolos, pasti dia sedih… Beban bagi saya,” lirih suara sang Ibu.
“Ibu harus kuat, supaya dia juga kuat.” Dia memandang wajah saya. Lalu tersenyum. Dan mengangguk. Putrinya datang dan mengajak foto bersama. Setelah itu kami tidak bertemu lagi.

Jadi ingat pertemuan dua tahun lalu, dengan salah satu walimurid. Seorang Ibu muda yang cantik. Kami duduk bersebelahan.
Dia menanyakan nama Nabila, lalu mulai bercerita tentanga putranya. Aktivis, katanya. Ikut banyak kegiatan dan anggota OSIS. Sering pulang sore. Nada suara sang Ibu penuh kebanggaan. Bercerita juga dengan menggebu-gebu. Saya mendengarkan sambil (seperti biasa) mengangguk-angguk. Sepanjang obrolan, hampir semuanya tentang anak gantengnya.
Nomor absen Nabila di tengah-tengah. Nomor absen putra Ibu tersebut di urutan awal. Kami duduk di deretan depan, dekat meja guru. Suara walikelas cukup keras terdengar dari tempat kami.

“Ibunya Fulan?” tanya Ibu walikelas. Sang Ibu mengangguk, tersenyum sumringah. Walikelas bergeleng kepala.
“Anak Ibu sering membolos, mengaku ada latihan paskib tapi berbohong…bla..bla…,” panjang lebar Ibu walikelas menyampaikan deretan ‘prestasi’ sang anak. Ibu itu terdiam, wajahnya pias. Saya menunduk saja, tidak tega. Begitu selesai, beliau langsung keluar kelas. Kami tidak sempat bertegur sapa, sekedar ucapkan salam perpisahan. Yang saya dengar di akhir tahun ini, sang anak tetap sering berulah. Mungkin, mungkin saja, suatu waktu takdir membawanya pada kebaikan. Berubah menjadi orang sholih dan mensholihkan. Who knows?

Tugas orangtua adalah mengantar anak-anak pada takdirNya. Dengan usaha terbaik.
Purnawiyata berakhir. Berfoto bersama, berbagi gembira. Mereka akan menuju gerbang takdir masing-masing. Hiruk pikuk
purnawiyata akan menjadi satu episode cerita masa lalu.
Semoga cerita indah, bagi ujung hidup yang juga indah., husnul khatimah.
Allahumma aamiin.

Note:
Itu foto kami bersama Arum dan Ibu. Arum teman akrab yang kerap bermalam di rumah. Semangat belajarnya keren.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.