SANG PENJAGA (BULLYING BAGIAN 2-TAMAT)
Bagian pertama dapat dibaca disini.
Sepulang kemah, banyak sekali cerita Najma. Salah satunya di bawah ini.
“Kemarin susah sekali mendirikan tenda. Adik kelas yang kusuruh pegang tongkat berkali-kali aku ingatkan. Lha mereka meleng terus, gak konsentrasi. Akhirnya aku marahi.”
“Kenapa gak konsentrasi?”
“Mereka noleh sana sini. Kalau tongkatnya gak jejeg, tendanya bakalan gampang roboh!” Najma ekspresif sekali menceritakan itu.
“Sudah disampaikan?”
“Apanya?”
“Bagian itu…”
“Bagian apa?”
“Bagian bahwa kalau mereka tidak menahan tongkat secara sungguh-sungguh, secara kuat, akan berefek buruk pada kekuatan tenda.”
“Ooh, belum.”
“Nah, itu. Perlu disampaikan, apa alasannya, dan bagaimana cara mengerjakannya. Kasih mereka petunjuk, jadi mereka paham. Jangan cuma bilang: pegang tongkatnya! Itu tidak akan membuat mereka sadar pentingnya tugas mereka, jadi gak sungguh-sungguh.”
“Oooh, iya, iya.”
“Lain kali, kasih penjelasan dulu.”
“Iya, iya. Okeh!”
**
Nah, tadi siang, kembali Najma menceritakan pembullyan yang lain.
“Ada anak kelas tujuh lagi, yang dibully sama kakak kelas sembilan lagi… bla..bla..bla…”
Bahwa sekolah tahu. Bahwa sekolah sudah bertindak. Bahwa pembully sudah diberi hukuman yang lumayan. Situasi ini, membuat miris.
Pertanyaan besarnya adalah: darimana bibit bullying didapat mereka? Bagaimana orang tua mengondisikan mereka dan mengarahkan naluri sok kuasa yang muncul? Tidakkah di rumah bibit-bibit bullying mudah dideteksi? Bagaimana sebenarnya sikap yang tepat dalam menemani tumbuh kembangnya para lelaki baligh yang belum matang ini?
Saya jadi parno. Anak laki-lakiku, apakah juga pernah mengintimidasi teman?
“Hafidz, di kelasmu ada pembully?” Tadi saya menanyai Hafidz saat menemani di dapur, mengoreng telur mata sapi.
“Ada.”
“Siapa yang dibully?”
“Fulan.”
“Sama siapa?”
“Fulanah.”
“Lho. Kok laki-laki dibully perempuan?”
“Iya.”
“Diapakan?” Saya penasaran.
“Didorong dan ditendang.” Widiw, macho banget!
“Kakak tahu darimana?”
“Dari ustadzah, di kelas.”
“Gimana ustadzah bilangnya?”
“Gini, katanya. Nak, kalian jangan membully, ya. Ustadzah sudah masukkan catatan merah yang membully. Terus, Fulan bisik-bisik ke aku.”
“Bisik-bisik apa?”
“Katanya: aku tebak, yang masuk catatan merah, si Fulanah. Soalnya dia dorong dan tendang aku! Gitu katanya.”
“Oooh, begitu. Kakak pernah bully teman-teman?”
“Gak.”
“Jangan ya.” Dia mengangguk.
“Sama teman harus saling bantu. Terutama teman perempuan. Jangan diganggu. Jaga mereka. Kalau mereka yang ganggu, menjauh. “
“Iya.”
"Kalau ada teman yang membully, ingatkan. Laporkan juga sama ustadzahmu."
"Iya."
Lalu dia mengaduk mie, menaruh telur mata sapi, dan menuju ruang tengah. Pembicaraan seputar bagaimana sikap lelaki terhadap perempuan, beberapa kali dilakukan sejak dia TK.
Bahwa namanya Hafidz, dan maknanya : penjaga. Sebagai penjaga, tidak boleh di aberbuat dzolim. Sebagai penjaga, dia adalah pelindung, pengayom, penebar kasih sayang.
Semoga bisa menjadi penjaga kemuliaan agamanya, penjaga perempuan-perempuan di bawah tanggung jawabnya: saya sebagai ibunya, kakak-kakak perempuannya, dan anak isterinya kelak.
Semoga Allah Subhanahu waTa’ala menuntunnya selalu.
ABaTa, Selasa 09 Oktober 2018, 22.46 WIB
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia
Sepulang kemah, banyak sekali cerita Najma. Salah satunya di bawah ini.
“Kemarin susah sekali mendirikan tenda. Adik kelas yang kusuruh pegang tongkat berkali-kali aku ingatkan. Lha mereka meleng terus, gak konsentrasi. Akhirnya aku marahi.”
“Kenapa gak konsentrasi?”
“Mereka noleh sana sini. Kalau tongkatnya gak jejeg, tendanya bakalan gampang roboh!” Najma ekspresif sekali menceritakan itu.
“Sudah disampaikan?”
“Apanya?”
“Bagian itu…”
“Bagian apa?”
“Bagian bahwa kalau mereka tidak menahan tongkat secara sungguh-sungguh, secara kuat, akan berefek buruk pada kekuatan tenda.”
“Ooh, belum.”
“Nah, itu. Perlu disampaikan, apa alasannya, dan bagaimana cara mengerjakannya. Kasih mereka petunjuk, jadi mereka paham. Jangan cuma bilang: pegang tongkatnya! Itu tidak akan membuat mereka sadar pentingnya tugas mereka, jadi gak sungguh-sungguh.”
“Oooh, iya, iya.”
“Lain kali, kasih penjelasan dulu.”
“Iya, iya. Okeh!”
**
Nah, tadi siang, kembali Najma menceritakan pembullyan yang lain.
“Ada anak kelas tujuh lagi, yang dibully sama kakak kelas sembilan lagi… bla..bla..bla…”
Bahwa sekolah tahu. Bahwa sekolah sudah bertindak. Bahwa pembully sudah diberi hukuman yang lumayan. Situasi ini, membuat miris.
Pertanyaan besarnya adalah: darimana bibit bullying didapat mereka? Bagaimana orang tua mengondisikan mereka dan mengarahkan naluri sok kuasa yang muncul? Tidakkah di rumah bibit-bibit bullying mudah dideteksi? Bagaimana sebenarnya sikap yang tepat dalam menemani tumbuh kembangnya para lelaki baligh yang belum matang ini?
Saya jadi parno. Anak laki-lakiku, apakah juga pernah mengintimidasi teman?
“Hafidz, di kelasmu ada pembully?” Tadi saya menanyai Hafidz saat menemani di dapur, mengoreng telur mata sapi.
“Ada.”
“Siapa yang dibully?”
“Fulan.”
“Sama siapa?”
“Fulanah.”
“Lho. Kok laki-laki dibully perempuan?”
“Iya.”
“Diapakan?” Saya penasaran.
“Didorong dan ditendang.” Widiw, macho banget!
“Kakak tahu darimana?”
“Dari ustadzah, di kelas.”
“Gimana ustadzah bilangnya?”
“Gini, katanya. Nak, kalian jangan membully, ya. Ustadzah sudah masukkan catatan merah yang membully. Terus, Fulan bisik-bisik ke aku.”
“Bisik-bisik apa?”
“Katanya: aku tebak, yang masuk catatan merah, si Fulanah. Soalnya dia dorong dan tendang aku! Gitu katanya.”
“Oooh, begitu. Kakak pernah bully teman-teman?”
“Gak.”
“Jangan ya.” Dia mengangguk.
“Sama teman harus saling bantu. Terutama teman perempuan. Jangan diganggu. Jaga mereka. Kalau mereka yang ganggu, menjauh. “
“Iya.”
"Kalau ada teman yang membully, ingatkan. Laporkan juga sama ustadzahmu."
"Iya."
Lalu dia mengaduk mie, menaruh telur mata sapi, dan menuju ruang tengah. Pembicaraan seputar bagaimana sikap lelaki terhadap perempuan, beberapa kali dilakukan sejak dia TK.
Bahwa namanya Hafidz, dan maknanya : penjaga. Sebagai penjaga, tidak boleh di aberbuat dzolim. Sebagai penjaga, dia adalah pelindung, pengayom, penebar kasih sayang.
Semoga bisa menjadi penjaga kemuliaan agamanya, penjaga perempuan-perempuan di bawah tanggung jawabnya: saya sebagai ibunya, kakak-kakak perempuannya, dan anak isterinya kelak.
Semoga Allah Subhanahu waTa’ala menuntunnya selalu.
ABaTa, Selasa 09 Oktober 2018, 22.46 WIB
Ibu Guru Umi, menulis agar bahagia
Tidak ada komentar: