TELADAN SAJA TIDAK CUKUP

Kamis, Januari 27, 2022

 "Anak saya tidak pernah menyapu, bersih-bersih," curhat seorang Ibu suatu waktu.

"Sibuk, ya Bu?"

"Di kamar terus, depan laptop atau hape. Kadang makan juga harus disuapi," katanya, "Anak Bu Umi, sama?"

"Anak-anak ada tugasnya masing-masing. Yang sering bantu saya masak, Nabila. Adek-adeknya menjemur pakaian, melipat baju, kadang juga bareng-bareng. Mereka bereskan kamarnya masing-masing. "

"Pinter, anak saya tidak mau. Susah." Dia mendesah, dan saya ikut merasakan keresahannya.




Kali lain, ada yang curhat serupa. Oh ya,dialognya tidak persis demikian, kurang lebih seperti itu intinya. 

"Anak sekarang, beda dengan anak dahulu. Anakku gak bisa bantu-bantu aku, gak mau bantu masak, gak terampil. Kalau aku dulu, seusia mereka  sudah disuruh-suruh ke sawah, kirim makan untuk pekerja, jemur padi....  Sekarang aku pontang panting sendiri," omelnya panjang pendek, suatu pagi. 


Yang di bawah ini, beda lagi. Ia bercerita tentang anak gadisnya.

"Saya mengantar anak kembali ke kost. Naik mobil. Saya tidak tega melepas dia naik bis. Kasihan. Selalu saya antar, sampai ke tempat kost. Anak Bu Umi, gimana?"

"Lebih sering naik kereta, Bu. Kadang-kadang saja naik bis. Jarang kami antar, kecuali jika perlu angkut-angkut banyak barang. Dari SMA sudah berani naik bis sendiri, ke Malang, misalnya." Dia manggut-manggut.

 

TAK DAPAT DIWARISKAN

Keterampilan hidup harus dilatih. Tak ada yang langsung jadi atau instan. Ada perjuangan yang harus dilewati hingga keterampilan itu menjadi bagian dari diri, menempel sebagai karakter. Tak bisa makbedunduk muncul begitu saja. 

Pernah melewati perempatan jalan Patimura, ada kejadian menarik perhatian saya di sisi barat dekat lampu merah. Di situ ada seorang bapak  tukang tambal ban. Ia memarkir becak di bawah pohon, bersebelahan dengan kompresor dan peralatan tambal ban. Jika siang hari, biasanya ada tiga anak yang turut bersamanya. Yang paling  kecil kadang tampak tertidur pulas di becak. 

Suatu waktu, saya mendapati bocah lelaki kecil.itu jongkok dan memperhatikan sang bapak menambal ban. Badan membungkuk, kepala menunduk, miring ke kanan ke kiri, melihat tangan bapak yang bergerak-gerak tangkas. Saya, yang berjalan kaki dan sedang berbelok dari timur ke selatan, menikmati pemandangan itu.

 Jadi teringat masa kecil, ketika memperhatikan lampu petromaks dinyalakan. Mulai dari memasang kaos lampu, menuang spirtus (dulu saya menyebutnya demikian), lalu memompa. Kami, saya, kakak dan adik,  sering ikut membantu memompa, walau tidak bisa lama karena belum cukup kuat. Ikut terlibat di dalam proses itu membuat saya tahu bagaimana menyalakan lampu petromaks kala itu.


Itu poinnya. Libatkan, ajarkan. 

Tidak bisa hanya berdiam, membiarkan mengamati tanpa melibatkan, beri kesempatan berproses melakukan. Kemandirian memiliki banyak dimensi dan aspek, kesemuanya perlu latihan; bukan sekadar angan-angan. Orang tua yang sejak kecil ditempa mandiri, tidaklah dapat mewariskan kemandirian dirinya kecuali ia mengondisikan anak-anak  untuk mandiri. Tentu tak bisa pengalaman masa lalunya dijadikan sekadar kisah, lalu buum!, anak-anak terlatih. Tempaan dahulu berjejak pada diri orang tua saja, anak-anak memerlukan tempaannya sendiri agar tercetak kemandirian yang diharapkan. 


Saya melanjutkan dahulu dialog kedua di atas. 

"Panjenengan dulu mengantar makan untuk pekerja, karena ditugaskan, bukan?" tanya saya.

"Iya, anak sekarang gak bisa begitu. Gak peduli dan gak bisa bantu." 

"Karena tidak kita ajari."

Anggaplah demikian. Anak-anak tidak terampil menangani pekerjaan rumah tangga, menurut saya karena tidak ada pengondisian. Tidak ada desain keadaan yang bisa mendorong mereka terikat untuk terlibat. Pun ketika terlibat, mungkin mereka tidak punya visi mengapa itu perlu dilakukan. Untuk apa? Bagaimana standarnya? 

"Begini cara pasang sprai, selipkan ujung sini, tarik sana. Luruskan, licinkan. Jangan awut-awutan." Begitu instruksi pasang seprai seorang ibu untuk anak-anaknya. 

"Kalau kalian biasa mengerjakan dengan standar tinggi, keterampilan kalian juga bagus. Orang dengan keterampilan lebih, akan punya banyak peluang bermanfaat bagi orang lain."

That's it!


TELADAN SAJA TIDAK CUKUP

 Teladan saja tidak cukup, penguatan selanjutnya dengan narasi melalui nasihat sehingga anak-anak mendapatkan konsep secara utuh  tentang mengapa sesuatu perlu dilakukan. Apalagi jika anak-anak beranjak dewasa. Mereka sudah aqil baligh, akalnya telah mampu menerima beban dan dapat berlogika dengan lebih baik. 

Ajak mereka mencari alasan besar mengapa perlu menjadi orang yang terampil memasak, terampil beres-beres, mencuci, menyetrika, dan lain-lain. Dialog secara santai berpeluang membuka  hati sehingga mampu menerima. 
Tetapkan standar, bagaimana cara  mencapai dan apa tolok ukurnya. Memberikan poin-poin itu sangat membantu mereka terlatih membuat parameter  capaian penuntasan tugas. Tidak asal dikerjakan, tidak sekadarnya saja. Ya bolehlah, sekali dua tampak asal-asalan, karena lelah, misalnya. Tapi secara umum, dorong mereka mencapai standar maksimal. The higher, the better. Bukan untuk membebani, tetapi melatih jiwa memaksimalkan proses.  

Jadi, jika anak-anak klewas klewes, tidak peka, tidak peduli, tidak terampil,  tanyakan dulu pada hati nurani: kekeliruan apakah yang sudah dilakukan hingga tercetak sosok demikian?

(Astaghfirullah, cermin mana cermin?)

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.