PAHLAWAN BERTOPENG JILID 2
Penonton :
Jokooo…Jokooooo… *gaya fans mode on
Saya : (suara dibuat berat berwibawa) Segera siapkan presentasinya… Jangan
buang-buang waktu.
Joko : Izin menyanyi dulu, boleh Bu?
Saya : (bersedekap, pasang tampang jutek, mulut mengerucut, mata memandang dingin, dan suara lebih tajam) Tidak bisa.
Langsung presentasi!
Joko : (buru-buru simpan gitar dan mengambil penggaris panjang sambil
cengengesan) Ya, Bu.
Apakah itu benar terjadi? Tentu tidak. Joko, walau tengil, tidaklah
segitunya. Itu sih imajinasi saya.
Jadi, siapa yang sebenarnya tengil? Awas kalau tunjuk saya!
So. here they are. Joko and the gank
sudah ada di panggung kelas. Kali ini merekalah lakonnya. Bermain peran sebagai
guru pura-pura.
Teman-temannya sudah menyoraki sejak mereka naik panggung.
Joko tertawa-tawa memandang teman-temannya. Sebaliknya, dua yang lain (sebut
saja Ilham dan Tono) begitu serius. Dari raut wajahnya, saya menebak keduanya
yang berjibaku mencari materi. Keduanya juga berjibaku memahami penjelasan-penjelasan
di dalamnya. Joko? Ah, sepertinya dia memilih menjadi pemain hiburan. Menghibur
dengan senyam-senyum, lirak lirik, sesekali melambai.
Saya
sengaja membiarkan mereka. Duduk manis di kursi siswa, dan memperhatikan sepak
terjangnya.
Ilham yang petama tampil. Dia membawa selembar kertas dan
buku catatan. Secara terpatah-patah, dia mencoba menguraikan materi. Saya senang dengan usaha presentasinya.
Tono
juga sama. Dia melanjutkan penjelasan Ilham sebisanya. Kertas ditangannya dibolak-balik.
Sesekali ia mendekati Ilham dan berbisik-bisik. Mereka berdua kompak. Saling bantu dan dukung.
Saling bertukar kertas dan berdiskusi dengans serius.
Kenapa tidak mendekati Joko? Oh,
jangan. Ibarat kata, mendekati Joko sama dengan mendekati hutan rimba. Segala
pertanyaan akan mentok atau blusukan ke belantara kebingungan. Gelap!
Lihat
saja. Ia asyik duduk menunggu giliran bicara. Garuk-garuk kepala. Tertawa ke
temannya yang ada di belakang. Melambai, melirik, senyum ditahan. Teman-temannya tentu saja sibuk juga. Sibuk menggoda
dengan komentar-komentar lucu. Sesekali bertepuk tangan.
Lalu,
tibalah saat dia menjadi bapak guru.
Teman-teman
sekelas anteng. Dia malu-malu menulis di papan, lalu mendeskripsikan maksud tulisannya
itu.
Apakah kami paham? Tidaaaaaaak.
Dia
cengengesan. Berusaha menjelaskan lagi. Kami paham? Tentu tidaaaaaaaak.
Joko
membolak-balik kertas. Garuk-garuk kepala. Senyum-senyum lagi. Ilham dan Tono
sesekali membantu, tapi sia-sia. Joko mentok, gagal total memahamkan sebab dia
sendiri gagal paham.
“Terangkan dengan gamblang. Teman-temanmu gak ngerti,” kata
saya. Macak galak lagi, tentunya. Melihat senyumnya yang tengil, saya gemas.
Walaupun, sebenarnya, sisi lain saya kasihan. Bertahun-tahun mengajar, saya
paham lagak anak-anak ‘kurang perhatian’ ini. Senyum tengil mereka adalah
mekanisme pertahanan terhadap ancaman omelan guru. Itu gaya mereka
mempertahankan gengsi. Sebab menunduk atau menampakkan takut, bagi mereka
mungkin tabu.
Kalau
sudah begini, saya harus memamerkan otoritas sebagai guru. Ini bukan
persoalan gengsi, bukan masalah siapa menang atas siapa, atau siapa berkuasa
atas siapa. Ini masalah mental tanggung jawab. Persoalan kepatutan membawa
diri. Mereka harus belajar banyak tentang itu.
Joko
mencoba mengulang kembali. Lagi-lagi ia gagal.
Akhirnya
mereka bertiga saya suruh duduk.
“Ilham dan
Tono, tugasmu beres,” kata saya. Ilham mengusapkan tangan ke wajahnya, seperti
habis mendapat berkat besar.
“Terima
kasih, Bu,” katanya. Saya suka melihat cara dia berusaha menuntaskan tugasnya.
“Joko,
remidi. Next week, ulangi presentasimu. Siapkan dengan baik.” Joko
cengar-cengir melihat saya.
“Seperti
saya bilang, saya tidak terlalu peduli nilaimu. Saya peduli mental belajarmu.
Joko, kamu anak tunggal. Jauh-jauh ibumu ke Jakarta, tentu dengan harapan
besar. Jangan sia-siakan harapan ibumu. Jadi laki-laki yang bisa diandalkan,
jangan pringisan begitu. Gak pantes,” kata saya. Intonasi bagian ini, saya
lemahkan.
Jujur, saya baper, asli. Membayangkan hidup Joko, jauh dari Ibu. Bertemu maksimal
hanya lima hari dalam setahun, hari raya. Jika dia limbung, seperti layang-layang,
mungkin karena hatinya sering kosong dari ungkapan kasih sayang.
Joko
diam, tertunduk. Senyum tengilnya lenyap. Saya berharap dia bisa berubah. Bukan
untuk saya, tapi untuk kemuliaan dirinya dan masa depannya.
Honestly,
jika berhadapan dengan situasi begini, saya suka mellow. Banyak yang ingin
dilakukan, tapi betapa terbatasnya kemampuan. Huhuhu.
Btw, kenapa pahlawan bertopeng itu di depan kelas? Ternyata, dia punya dua daftar dosa. Pertama, makan-makan saat pelajaran. Saat ibu guru tak melihat, dia asyik memamah biak. Sayang seribu sayang, akhirnya ketahuan.
Kedua, saat ibu guru menjelaskan, dia memakai topengnya. Ibu guru tidak memberi ampun. Jadi, dia diminta berdiri di pintu kelas dengan topengnya. Entah selama beberapa lama.
Kalau saya yang mengajar dia, saya akan minta dia berpose seperti yang biasa Sinchan lakukan sambil berteriak: "Akulah pahlawan bertopeng... Hahahahaha!"
bu guru, tulisannya asik banget ini. Aku suka banget pas bu guru nulis soal perhatian ibu akan Joko. Sedih mbayanginnya...cuma 5 hari dalam setahun, bisa jadi ya bu dia haus kasih sayang banget. Salut sama bu guru umi....coba semua guru perhatian sampai hal mendalam gini ke setiap siswa ya...
BalasHapusTerima kasih, Mba Imelda. Sudah jadi pembaca setia blogku yang termehek-mehek ini. Hehehe. Iya, betul, kasus-kasus anak "kuper' alias kurang perhatian itu seringkali bermula dari keluarga. Makasih banget yaa...
Hapus