RAMADHAN KAREEM: JEJAK KEMARIN

Rabu, Agustus 01, 2018
Sekarang masuk bulan Dzulhijjah. Sudah berlalu Syawal, juga Ramadhan. Etapi, mak Ade Delina menuliskan tentang Ramadhan di sini. Saya jadi ingin menuliskan tentang Ramadhan. Biar jadi kenang-kenangan bagi anak-anak.
Yuk, let's gooooo....


Hafidz di pangkuan Ayah

"Malam ini kah?" Hafidz bertanya sambil memandang langit. Kami berjalan beriringan. Hafid di depan, saya dan lainnya di belakangnya. MAsing-masing kami memegang perlengkapan itikaf. Bantal, air mineral, mushaf, mukenah. Juga satu dua toples camilan.
Ini malam kesekian. Langit terang, bintang-bintang melangit gembira. Angin semilir. Ada suasana khas Ramadhan yang tidak bisa digambarkan, yang membuat rindu Ramadhan tak pernah berhenti.
**
Ramadhan tahun ini, kami itikaf di masjid kompleks. Masjid yang mendekati sempurna setelah direhab selama sekitar tiga tahun. Megah, indah, dan nyaman. Bagian dalam ber-ac.
"Enak di sini, sepi. kalau di masjid Agung terlalu ramai," kata Najma. Berbeda dengan tahun lalu, anak-anak ternyata memilih suasana yang hening. Selama beberapa tahun kami itikaf di masjid Agung, depan alun-alun. Banyak keluarga yang datang berombongan juga. Selasar atas menjadi tempat favorit.
Anak-anak berjumpa dengan beberapa teman-temannya.
Hafidz selalu bersemangat, sebab ada Billy, sahabat dekatnya. Najma dan Zahra juga sama.
Nabila bersama dengan teman-teman SDIT. Momen itikaf seperti menjadi ajang reuni.

Malam itu Hafidz bersama kami. Malam sebelum dan sesudahnya, Hafidz memilih itikaf di masjid sekolah. Lagi-lagi, sebab sudah bersepakata dengan Billy. Jam tiga pagi, menjelang sahur, Ayah menjemput. Selalu dalam keadaan tidur.
"Sepertinya mereka main sampai larut, baru tidur menjelang sahur. Tidurnya di teras masjid, meringkuk kedinginan," kata Ayah. Ya Allah, kasihan.

Saya menanyai Hafidz.
"Kenapa tidur di teras masjid?"
"Gak kebagian tempat... Penuh di dalam."
"MEmangnya tidur jam berapa?"
"Gak tahu."
"Main apa saja?"
"Ituu, main lempar sandal. Terus obag delik (petak umpet), terus main lempar-lempar bola..."
"Gak capek?"
Dia menggeleng.
"Gak ngantuk?"
"Kan bisa tidur pas siang...."

Oalah.. Bukan tidur siang itu. Tidur pagi, bangun dhuhur, tidur lagi, bangun ashar, tidur laagiiiii.... Menjelang berbuka baru bangun. Wehehehehe.
Bay de way, biarlah dia menikmati saat-saat indah itikaf dengan caranya, sesuai tahapan usianya. seian menit anteng di dalam masjid, bawa mushafnya, tilawah. Sekian jam, waktunya bermain-main di sekitar masjid. Semoga kelak dia mengenang itikafnya yang seru.

**
"Malam inikah?" Hafidz bertanya lagi.
"Wallahu'alam, tidak ad ayang tahu kapan malam laiatul qadr," jawab saya.
"Sekarang malam dua puluh tujuh, ya? Sebentar lagi Ramadhannya habis."
"Iyaa... tinggal dua malam."
"Berarti tarawihnya kurang dua malam?"
"Iya.Semoga tahun depan Allah pertemukan lagi dengan Ramadhan. Aamiin."
Tiba-tiba Najma menyeletuk:
"Kalau semuanya doa begitu terus menerus, kapan meninggalnya?"
Kami tertawa. Najma selalu punya cara membuat pertanyaan atau pernyataan yang mengejutkan.

Kami berjalan pelan-pelan menuju masjid. Masjid yang megah itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa bapak yang tadarus. Anak-anak menyimpan bantal di ruang sholat wanita. Lalu menuju bagian belakang ruang utama masjid.
Zahra dan Najma mengambil alas Quran, lalu mulai tilawah.

Hafidz bergabung bersama Ayah. Sekian puluh menit, mendekati saya. Tidru di pangkuan. Berguling ke kanan, berguling ke kiri. Sejak pagi tadi badannya hangat. Sebab itu, kami melarangnya itikaf di masjid sekolah. Supaya dia istirahat dari lari-lari atau bermain sepanjang malam.
"Aku bosan," katanya. Saya tertawa. Cuma mengusap kepalanya, lalu lanjut tilawah.
"Bosaaaaan," rengeknya lagi.
"Sama Ayah, gih." Dia menggeleng.
"Main-main di luar, di teras. Lihat langit. Bagus bintangnya."
Dia menggeleng lagi.
"Ke ARJ," bisiknya.
"Tidak dulu. Takutnya sakit. Badan kakak sudah panas."
Dia manyun. Sisa malam itu, bergantian Hafidz ke tempat saya, lalu ke tempat Ayahnya. Waktu sahur, kami pulang. Hafidz naik motor bersama Ayah.

Shubuh kami kembali lagi. Menetap hingga sekitar pukul enam pagi. Hafidz? Tetap ikut. Setelah sholat shubuh, dia mendengkur di pangkuan Ayah.

Ramadhan kareem. Di dalamnya beraneka kemuliaan disematkan.
Bersama anak-anak, mencoba memunguti helai demi helai.
Ramadhan depan semoga bersua kembali. Agar bisa sempurnakan dan perbaiki.

Allah, kabulkanlah pengharapan kami.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.