TSIQOH

Selasa, Juli 31, 2018
Beberapa waktu lalu, mendengar kabar bahwa tahun ini kemungkinan saya tidak di perpus lagi. Ada dua alternatif, yaitu masuk mejadi tim kutikulum menggantikan bu Anna atau menjadi koordinator normatif adaptif menggantikan bu Tri Yulianita.
Informasi ini agak mengejutkan. Sebab beberapa kali waka kurikulum menegaskan bahwa selama setahun ke depan akan tetap di perpustakaan. Sebenarnya, persoalan ditugaskan di mana bukan hal besar. Selama masih bisa mengerjakan, maka amanah itu harus dituntaskan.

Saya menyampaikan kemungkinan itu pada Bu Zumaroh. Dan beliau sama terkejutnya.
“Kalau panjenengan tidak di perpus, saya bagaimana? Masalah pekerjaan-pekerjaan perpus, maksud saya. Selama ini Bu Umi sering turun tangan membantu kerjakan banyak hal. Kita berbagi tugas. Panjenengan juga yang faham bagaimana perpus digital kita,” keluhnya.
Berdasar pengalaman beliau, pada periode sebelumnya, kebanyakan kepala perpus tidak ikut terjun mengurusi perpus. Tidak banyak tahu. Saya jadi ingat salah satu komentar mengenai sepak terjang saya : “Apa Bu Umi tidak bisa hanya diam, tidak ikut cawe-cawe pekerjaan perpus? Biarkan itu dikerjakan oleh yang lain. Bu Umi cukup datang dan memberi instruksi.”

Saya bukan tipikal demikian. Apalagi jika ada kendala-kendala yang menghambat tuntasnya pekerjaan. Ambil contoh masalah pemberian label. Suatu ketika, datang buku paket yang jumlahnya ribuan. Proses pengolahan buku berjalan lambat. Label ditulis tangan satu per satu. Saya bengong. Bengong sebab heran. Penulisan label macam begitu, kapan selesainya? Kapan kelarnya?
‘Kita print saja!” usul saya.
“Tidak bisa, Bu! Bagaimana caranya?” Komentar salah satu staff.
“Bisa. Ada filenya kan? Sini kita coba.”
Saya menggunakan excel. Dan..taraa. Memang bisa! Itu bukan hal besar, sebenarnya. Dengan dicetaknya label, proses pengolahan buku menjadi lebih efisien.

Menjadi pemimpin, menurut hemat saya, bukan berarti hanya main perintah dan main suruh. Pemimpin harus tahu seluruh proses kerja bagian yang dipimpinnya. Saya tidak bisa hanya menonton saja. Ada satu pernyataan dari pendiri SD Al Hikmah yang menginspirasi dan menjadi acuan dalam menuntaskan amanah.
“Kepala sekolah itu, datang paling pagi, pulang paling sore. Dia harus tahu apa yang terjadi mulai dari teras hingga dapur. Dia harus paham kendala apa yang terjadi dan apa solusinya.” Untuk bisa begitu, pemimpin harus menguasai bidangnya. Tidak lucu jika hanya mengandalkan pengetahuan dan kemampuan staffnya saja. Jika memang belum paham, maka belajarlah. Akan aneh jika pemimpin enggan belajar dan tidak mau berproses menguasai. Tidak kapabel.

Kembali pada informasi di atas.
Bu Zumaroh mengaku terganggu. Perasaannya galau dan pikirannya kusut.
“Saya pusing… Sebelah sini terasa berat,” Bu Zumaroh menunjuk kepala bagian belakangnya.
Lanjutan informasi itu ternyata masih ada. Begini dan begitu. Seperti ini dan itu. Jadi ingat hiruk pikuk pemberitaan media saat presiden hendak menentukan jajaran kabinetnya. Spekulasi bertebaran. Lobi-lobi dilakukan. Interpretasi pada proses lobi bermunculan. Para pengamat politik membicarakan berbagai kemungkinan dan resikonya. Semua gerak-gerik nama-nama yang diduga akan mendapat amanah itu diamati. Dalam skup kecil, ternyata terjadi juga.
Saya sendiri sempat menyayangkan perubahan ini. Sebab ketika mendengar bahwa masih ada waktu setahun memegang amanah ini, sudah bermunculan list pekerjaan yang harus saya tuntaskan. Maunya, maunya nih, saya menyerahkan perpus pada pengganti dalam kondisi sistem yang sudah tertata rapi.
Apakah sekarang tidak rapi? Belum. Banyak hal yang perlu dibenahi. Apalagi ada kewajiban akreditasi perpustakaan sekolah oleh perpustakaan nasional. Saya ingin bisa menata berdasar standar baku agar tahun berikutnya bisa mengikuti akreditasi.
Seseorang menyebut harapan saya itu sebagai obsesi. Hm, rasanya kok kurang pas ya. Ini bukan obsesi pribadi. Ini keharusan pemimpin perpustakaan, siapa pun dia.

Kami, saya dan Bu Zumaroh, membahas persoalan ini sekitar tiga hari. Sampai titik tertentu, saya merasa penyikapan kami kurang tepat. Ada yang salah dan berlebihan.
“Kita mencemaskan hal-hal yang belum jelas. Mengkhawatirkan masalah yang belum pasti. Ini cara syetan menghembus-hembuskan was-was. Jadi bete, nih! Kita lupakan masalah ini, nikmati proses sekarang. Urusan diganti, urusan besok. Yuk bersenang-senang bersama. Tuntaskan pekerjaan!”
Bu Zumaroh sepakat, Alhamdulillah. Dan ternyata memang lebih tenang, lebih enjoy, dan lebih bahagia. Kami bisa melakukan banyak hal bersama-sama dengan gembira.

Saya ingat taujih salah seorang ustadz. Tentang penerimaan amanah. Seorang jundi dakwah, harus siap dengan berbagai tugas. Tugas besar atau tugas kecil, berada di level pemimpin atau level pekerja, tidak masalah. Yang penting, bagaimana mendidik jiwa untuk amanah. Tuntaskan tugas dengan lapang dada, ikhash, dan bersemangat. Sebab tugas adalah peluang berpahala. Amanah adalah wasilah mencari ridho Allah. Jangan sampai semangat tidaknya bergantung pada posisi amanah. Jika di level pimpinan, bersemangat. Jika merasa ada di level biasa atau (dianggap) rendah, berkecil hati dan seenaknya.

Tsiqoh pada takdir Allah. Percaya bahwa selalu ada hikmah dibalik peristiwa. Yang paling mendasar tentang ini adalah, setiap amanah ada pertanggungajwabannya. Ditanya dan dihitung kelak di yaumil akhir.
Bagian ini menakutkan.

Jadi ingat kisah penjaga gerbang di suatu kota yang dihuni kaum muslimin. Penjaga gerbang itu menuntaskan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh.
“Jika aku meninggalkan gerbang lalu terjadi serangan musuh, maka itu kesalahanku,” begitu kurang lebih perkataannya. Yang menjadi titik tekan adalah menghindari sikap meremehkan. Menjadi penjaga gerbang terkesan sepele dan bukan pekerjaan penting. Tapi dia memandang dari sudut yang lain. Dia menitikberatkan pada resiko yang besar jika lalai. Orang-orang di balik gerbang menjadi tanggung jawabnya. Dia tidak berpikir bahwa keadaan aman, dan gerbang bisa ditinggal sejenak.

Jadi, bagaimana dengan tahun ajaran mendatang ? Let will be, will be.
Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, laa hawla wa laa quwwata illa biLlah.

Note:
Ditulis bulan Mei 2018. Menemukan tulisan ini ketika mengintip simpanan tulisan di folder.

Tidak ada komentar:

Ibu Guru Umi. Diberdayakan oleh Blogger.